MALANG | duta.co – Surat Edaran (SE) Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid mendapat respon kontroversial. Lantaran menganalogikan suara azan dengan gonggongan anjing. Bagaimana sesungguhnya persoalan ini harus didudukkan secara proporsional sehingga tidak menambah kegaduhan di negeri ini ?

Menurut Guru Besar bidang Sosiologi Agama, yang juga Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof Dr HM Zainuddin MA, bahwa SE tersebut sesungguhnya hendak meneguhkan kembali peran kementerian agama. Dimana wewenangnya menggarap pembinaan umat beragama untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk.

“Nah tentu kementerian agama memiliki tanggung jawab khusus dalam mensukseskan dua program besar yaitu, revolusi mental dan moderasi beragama,” ungkap Prof Zainuddin.

Lebih lanjut, Rektor UIN Malang menyatakan ini tengah berlangsung dilakukan melalui program pelatihan moderasi beragama di satker-satker kementerian agama dan pendirian Rumah Moderasi Beragama (RMB) di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).

Jika kemudian diterbitkan SE untuk mengatur penggunaan pengeras suara di masjid, ini sesungguhnya merupakan salah satu saja dari implementasi mewujudkan misi ketertiban dan ketenangan dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara objektif, memang penggunaan pengeras suara di masjid atau mushalla selama ini memang beragam. Ada yang melebihi waktu dan menimbulkan kegaduhan, ada yang memang proporsional. Toh hal ini juga sudah sejalan dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang dilaksanakan pada Tahun 2021 yang lalu. Substansinya juga sudah dikomunikasikan dengan Majelis Ulama Indonesia serta didiskusikan dengan para tokoh agama, yang merupakan bagian dari upaya mewujudkan kemaslahatan dalam penyelenggaraan aktivitas ibadah.

Siapapun dari kalangan muslim paham bahwa azan merupakan tanda waktu masuk  shalat dan menyeru sesama umat Islam untuk melaksanakan shalat, baik berjamaah maupun sendiri-sendiri. Dan inilah substansinya, mungkin jika ditambah fungsi lain, syiar.

Namun, bahwa seruan dan peringatan itu memiliki aturan yang berkaitan dengan kehidupan sosial di sekitarnya. Maka jika kemudian azan maupun puji-pujian dikumandangkan secara proposional, kontekstual dan toleran, maka akan menjadi bijaksana dan menyejukkan.

Terkait dengan anggapan bahwa Menag telah membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing itu terlalu jauh memaknainya. Dalam pandangan Prof Zainuddin hal tersebut terkesan mengada-ada, jauh dari makna substantif itu. Karena, di saat awal usai diamanahi oleh Presiden di istana, bahwa beliau sudah berkomitmen untuk melakukan tiga program penting yaitu akan menempatkan agama sebagai inspirasi bukan aspirasi, tidak menjadikan agama sebagai alat politik (depolitisasi agama).

Kedua, akan memelihara persaudaraan multi aspek yaitu: ukhuwwah islamiyyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan ukhuwwah basyariyyah; ketiga, akan memajukan pendidikan agama dan pondok pesantren.

Ketiga, memajukan pendidikan agama. Orientasi pendidikan agama tidak cukup hanya menyangkut hal-hal luar seperti upacara, ritus, simbol-simbol dan sederet kesalehan ritual-formalistik lainnya. Termasuk bagaimana menjadikan institusi agama (masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya) sebagai paranata sosial yang memiliki fungsi harmonisme.

Sebelum menutup pernyataannya, Rektor UIN Malang menyampaikan, institusi dan pendidikan agama tidak bisa disamakan dengan segi-segi formal itu, meski itu juga merupakan bagian penting dalam agama. Namun pesan-pesan materi pendidikan agama harus mencerminkan sifat toleran, inklusif, dan humanis.

“Inilah saya kira tiga pesan penting Menteri Agama yang hendak dan sedang dilakukan. Wallahu a’lam bis-shawab,” pungkasnya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry