SURABAYA | duta.co – Selama ini viral sekali pidato Sultan HB X dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI tahun 2015 di Yogyakarta yang berisi pengakuan bahwa Kerajaan Mataram itu bawahan Khilafah Turki Utsmani.

Berikut pernyataan lengkap beliau kala itu : “Pada 1479 Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilaN Kekhalifahan Islam Turki untuk Tanah Jawa dengan menyerahkan bendera Laa Ilaaha Illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka’bah dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil Kekhalifahan Turki.”

Namun pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono X tampil menjadi nara sumber Dialog Kebangsaan di Gedung Negara Grahadi Surabaya pada tanggal 14 Januari 2023, beliau menyatakan tidak punya bukti bahwa Demak dan Mataram merupakan bawahan Turki Utsmaniyah.

Hal itu disampaikan saat Sri Sultan menjawab pertanyaan dari Aktivis NU Jawa Timur, Firman Syah Ali.

Dalam forum yang dihadiri oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tersebut, Sri Sultan memang berdialog dengan para peserta kegiatan Dialog Kebangsaan.

Saat dihubungi media, Firman Syah Ali mengungkapkan rasa syukur karena akhirnya Sri Sultan menjawab apa yang selama ini menjadi uneg-unegnya dan uneg-uneg banyak orang.

“Patut kita syukuri bersama akhirnya ngarso dalem menjawab apa yang selama ini menjadi uneg-uneg kita semua. Pidato kurang masuk akal beliau pada tahun 2015 lalu akhirnya terjawab hari ini di gedung negara Grahadi Jawa Timur” ucap Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP) IKA PMII ini.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa saat Kerajaan Demak Bintoro berdiri pada tahun 1479, Turki sedang dipimpin oleh Sultan Murad II. Sultan Murad II saat itu hanya salah satu Khan yang memimpin sebuah negara kecil, dan di sekitar ottoman banyak khanate khanate lain.

“Secara teknis, Sultan Murad II sendiri kelimpungan menghadapi kepungan khanate-khanate sekitar, kok malah mengurusi Demak non jauh di sana? Coba cek peta politik dunia tahun tersebut,”  lanjut Majelis Pakar IKA PMII Jatim ini.

“Pada tahun 1479 Ottoman masih kesultanan biasa. Ottoman baru menjadi Kekaisaran agak besar pada tahun 1453, saat anak dari Murad II yang bernama Mehmed II berhasil menaklukkan ibukota Romawi Timur serta mengambil gelar Kaisar. Namun Mehmed II waktu itu hanya Kaisar, belum Khalifah. Sebab Khilafah Umat Islam sedunia waktu itu masih Keluarga Abbasiyah yang bertahta di Cairo di bawah protektorat Dinasti Turki Mameluk,” lanjut Pengurus Harian LP Ma’arif NU Jawa Timur ini.

Keluarga Utsmaniyah di Konstantinopel baru menjadi Khalifah Umat Islam Sedunia pada tahun 1517, yaitu saat Kaisar Selim I berhasil menaklukkan Turki Mameluk di Cairo. Dengan takluknya Turki Mameluk kepada Turki Ottoman maka tanah suci Mekkah dan Madinah jatuh ke tangan Ottoman, dan yang jauh lebih penting, Khalifah Umat Islam Sedunia, Al-Mutawakkil III jatuh ke tangan Ottoman.

Nah disinilah peristiwa besar sejarah terjadi, Khalifah terakhir Abbasiyah menyerahkan gelar Khalifah, pedang Rasulullah dan jubah Rasulullah kepada Kaisar Selim III di konstantinopel. Dan beberapa saat setelah penyerahan tersebut, Khalifah terakhir Abbasiyah Al-Mutawakkil III mati secara misterius. Sejak saat itulah kaisar-kaisar Ottoman menyebut dirinya sebagai Khalifah dan khodimul haramain, serta mengesahkan dan melantik sultan-sultan bawahan.

“Kalau Demak berdiri 1479, sedangkan Ottoman menjadi Khilafah pada tahun 1517, maka tidak masuk akal Demak disahkan dan dilantik oleh Ottoman,” lanjut Ketua Umum Indonesia Karate Do (INKADO) Jawa Timur ini.

Lagipula Filolog UIN Syarif Hidayatullah Oman Fathurahman menyatakan bahwa berdasarkan sumber-sumber sejarah primer di arsip turki tidak ada bukti bahwa kerajaan-kerajaan islam nusantara selain Aceh merupakan vazal atau bawahan ottoman.

Kalau hanya terpengaruh kebesaran ottoman sangat mungkin, itupun tentu setelah tahun 1517. Lagipula Demak memakai gelar Sultan baru pada era Raja Ketiga, yaitu Raja Trenggana. Raja Trenggana menggelari dirinya sebagai Sultan setelah mendengar kehebatan Ottoman dari Fatahillah.

“Fatahillah yang menganjurkan agar Panembahan Trenggana menggelari dirinya Sultan. Pemerintahan Trenggana memang bersamaan dengan masa pemerintahan Khalifah Selim I di Turki Ottoman, namun tidak ada bukti bahwa Trenggana merupakan bawahan Turki Ottoman,” tegas tokoh olahraga Jawa Timur ini.

“Pemahaman sejarah seperti ini penting, agar tidak ada upaya pembelokan sejarah yang, ujung-ujungnya menipu bangsa ini untuk menerapkan sistem khilafah. Seakan-akan bangsa ini harus menjalankan sistem khilafah, salah besar,” pungkasnya. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry