Suparto Wijoyo, Akademisi Asal Lamongan dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (dok/duta.co)

Tanggal 9 Desember 2020 hari Rabu Wage  besuk merupakan wahana demokrasi yang sangat penting untuk rotasi kepemimpinan yang elegan. Masa kampanye telah berlalu dan saat memilih telah tiba. Sebagai wong ndeso yang berasal dari Lamongan, dalam pekan ini saya berkali harus bersilaturahmi sambang konco-konco dari berbagai dusun-dusun.

Pada saat itulah saya menyaksikan lahan gundul sekaligus hujan deras yang tumpah di sawah ladang serta tambak-tambak di kampung halaman. Hujan ini menjadi kian  menyegarkan usai masa kemarau.  Pematang sawah, galengan tambak, batas-batas kebun terjamah air hujan yang menghasilkan “gerojogan gelombang” dari areal Lamongan wilayah selatan dan gemuruh “festival air” dari arah Lamongan utara, memanunggalkan diri dalam “senggama air hujan” di wilayah branglor.

Apabila nanti musim penghujan benar-benar tiba seperti yang sudah-sudah, pastilah kita menyaksikan sawah yang merawa, Itulah Bonorowo. Tlatah wilayah tempat tinggal orang tua, sanak saudara dan handai taulan di Lamongan. Bonorowo merupakan atribut filologis yang “memenuhi kosa kata” dari setiap bibir leluhur pedalaman yang kerap “berselimut dinginnya hujan, membanjirnya perairan”.

Lamongan sisi rel kereta api ke utara sampai pada tanggul Bengawan Solo ke selatan adalah jelajah geografis nomenklatur bonorowo yang memberikan indikator-indikator lahan basah, tanah berawa-rawa. Pada lingkup ini ingatan saya langsung tertuju kepada Konvensi Ramsar, sebuah kesepakatan internasional mengenai perlindungan lahan basah yang kini mengimpun komitmen 163 negara yang berjanji melindungi 2.062 situs Ramsar dengan luas 197.258.541 hektar di seluruh dunia.

Melalui Konvensi Ramsar berarti setiap lahan basah akan terlindungi  sebagai kawasan berair,  rawa, dengan air yang mengalir atau diam, tawar, payau, atau asin. Bonorowo itu dikonsepkan sebagai kawasan penting sebagai penyangga kehidupan dengan padi yang subur (kang sarwo tinandur).

Tentu saja bonorowo dalam kancah arena “bermusyawarahnya air hujan” di Lamongan itu bukanlah tempat yang terlindungi seperti termuat di Strategic Framework and Guidelines For The Future Development Of The List Of Wetlands Of International Importance dari   the Ramsar Handbooks for the Wise Use of Wetlands. Dalam Konvensi Ramsar terdapat sembilan  kriteria yang mencakup  keunikan lahannya,  komunitas spesies dan ekologinya, serta burung air, ikan dan flora lainnya.

Saya memang tidak hendak mencermati bonorowo dalam kerangka hukum lingkungan internasional model Ramsar Convention melainkan sekadar ngudoroso tentang bonorowo pada tataran kosmologi kepemimpinan yang tidak beranjak untuk membebaskan banjir di teritorial bonorowo. Penyebutan bonorowo selaksa doa keabadian bahwa daerah ini musti mengalami banjir yang mentradisi, mengingat bonorowo adalah “cekungan tempat seluruh air hujan di wilayah Lamongan mengikuti musyawarah akbar”, alias kumpul bareng.

Air hujan itu memberikan sapa sekaligus peringatan atas hadirnya karunia Tuhan asal manusia bisa mengelola dengan menjemputnya melalui ilmu planologi-hidrologi. Pasti pembaca  memiliki ingatan tentang  banjir yang pernah hadir di kota-kota metropolitan.

Banjir yang melanda Sulawesi atau Kalimantan saat kemarau kita rasakan beberapa waktu lalu secara  sosial diambil alih oleh riuhnya pemberitaan yang berderet-deret di ruang maya yang menimbulkan “kreasi antarnetizens” soal pemimpin yang harus dipilih. Pilkada musti menjadi areal praktis menyelesaikan problem yang dihadapi.

Banjir, jalan rusak, kemiskinan, pengangguran dan riak sosial di Lamongan bukanlah sebab dari permasalahan perkotaan, melainkan akibat saja dari kekuasaan yang belum total diabdikan. Kemacetan yang sering terjadi di ruas antara Lamongan kota dan Raya Deket,   tata dagang petani, nelayan dan petambak yang belum beranjak kemakmurannya, sungguh seperti tidak berubah pada kurun 15 tahun lalu.

Saksikanlah yang terjadi di areal Paciran sampai Mantup atau kawasan Babat dan banyak wilayah lain yang membutuhkan energi besar para calon  untuk menanganinya. Pantura yang menyedot investor tetapi redup dalam gelombang jalan antara Gresik-Lamongan sisi utara.

Sepandangan mata lihatlah realitas di kampung-kampung yang inovatif tetapi tetap menderita kalau musim kemarau, krisis air dan ditambah sungai-sungai yang mengering, tetapi kalau musim hujan senantiasa  memanen  banjir, ini soal yang serius.

Kondisi ini merupakan korban saja dari pembiaran atas kondisi yang menimpa tata bengawan yang tidak maksimal. Sejatinya sungai-sungai itu adalah sumber kehidupan, dan bukan selalu menjadi yang tertuduh bahwa luapan airnya atau krisis sumber airnya di Lamongan sebagai penyebab masalah.

Kali-kali itu merupakan energi yang wajib  diolah pemimpin yang tahu kondisi daerahnya. Sungai yang meluap waktu hujan deras itu ibarat perut mual yang muntah karena “masuk angin” atau “kekenyangan” akibat erosi yang menggila dan sungai tidak direvitalisasi, tidak dinormalisasi, bahkan tidak dinaturalisasi secara konsisten.

Lamongan harus menampilkan sesuatu yang mengesankan. Jangan selalu terulang krisis pupuk dikala musim tanam, repot memasarkan dikala panen, banjir datang di bonorowo sebagai tradisi dan rebutan air antarpetani kalau musim kemarau, musim waktu menjemput panen. Pada lingkup inilah pemimpin daerah wajib  mengonstruksi kawasan dalam berbagai tipe sesuai topografi  wilayahnya.

Membangun yang berpatokan tata ruang, bukan tata uang. Banjir dan krisis air yang membuat petani berebut pada musim jelang panen adalah contoh pekerjaan rumah yang musti diselesaikan. Pembangunan mutlak berpedoman pada tata ruang yang berlandaskan ekosistem dan kondisi geografis  yang harus ditaati oleh para pemenang konstentasi pilkada ke depan.

Penataan kawasan di manapun membutuhkan keteguhan kepala daerahnya sesuai hukum tata ruang suatu  negara (“recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik”). Menata kawasan harus didasarkan pada kondisi geografis dan nilai sosiologisnya sebagaimana digambarkan John Eade (1997) untuk memproyeksikan sebuah kota yang masuk jaringan “living the global city” model   Peter Hall (1998). Inilah manifes membangun kota pada konteks “cities of tomorrow” sedasar ide Joan Ricart (2013): World’s Greatest Cities.

Atau kita memang hendak terus mementaskan “musyawarah air hujan” dan “rebutan banyu wong bonorowo kalau sudah musim kemarau”. Hal ini harus dipungkasi, dan jangan ada lagi gerakan tahunan yang rutin untuk “menenggelamkan petani-petani desa” atau “bentrok rebutan air sewaktu kemarau”. Siapakah kandidat calon bupati yang tanggap pesan dari kampung halaman ini, itulah yang sejatinya wong bonorowo mengerti untuk memilih sedasar pertimbangan kehendak bebasnya.  Selamat “berkenduri demokrasi”.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry