Oleh: Abdul wahid

Pesta demokrasi dalam bentuk pilkada serentak sudah diambang pintu. Di beberapa daerah di Indonesia menggelar “hajat negara” ini. Khusus di Jawa Timur, Hanya Kota Batu yang menyelenggarakan pesta demokrasi (pilkada). Masing-masing kandidat mendapatkan kesempatan diuji oleh rakyat (pemilih). Kalau rakyat memilihnya, berarti dirinya akan menjadi sang penguasa wilayah atau pemimpin.

Bagi rakyat, apakah pilkada ini akan memberikan atau mengantarkannya dalam kehidupan serba berkemakmuran atau berkesejahteraan ataukah ketidakberdayaan atau kenestapaan.

Jika yang diburu hanya kursi, keningratan status, atau kesejahteraan dalam ranah stratifikasi social, politik, dan ekonomi, berarti sosok yang terpilih tidak mengejawentahkan amanat rakyat.

“Pemimpin yang terpilih nanti (di pemilu) harus mau dan mampu membuat lompatan indah yang menentukan dalam menjalankan roda kekuasaan. Kekuasaan yang berhasil direbut, harus diubah menjadi modal dan praksis pelayanan dan pengabdian bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat seluruhnya.”

Kalau seperti itu, mereka yang terpilih berarti hanya sekedar berprinsip bagaimana bisa dapat “kursi” atau duduk manis dengan berbagai kemewahan sebagai elitis gaya baru atau  elitis yang berkelanjutan karena berangkat dari petahana atau elemen dinasti, dan bukan “membaktikan” kinerjanya untuk benar-benar menegakkan demokrasi.

Dalam ranah hstoris, demokrasi pernah menghasilkan konsep civil society yang lahir pada masa aufklarung, sebagai perlawanan atas otoritarianisme. Konsep ini kemudian dikembangkan lanjut oleh De Tocqueville sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara.

Dalam pengembangan yang dilakukan De Tocqueville itu, berarti suatu rezim yang terpilih melalui pilkada atau pesta demokrasi, haruslah mengembangkan kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat berperikehidupan yang terus berubah, yang perubahannya ke ranah kemakmuran.

Langkah utama yang harus dikedepankan dalam pilkada tentu saja ketaatan semua peserta pilkada pada norma yuridis. Semua pihak yang masuk dalam zona ”kompetisi politik” berkewajiban menegakkan rule of game dan bukan menjerumuskan dirinya dalam kancah mempermainkan atau memolitisasi aturan.

Pilkada mempunyai kedudukan yang strategis, khususnya dalam bingkai hukum. Sebagai jembatan mencari kader terbaik bangsa,  kegiatan atau penyelenggaraan pilkada menempati posisi yang sangat diidolakan masyarakat. Secara umum, masyarakat menginginkan pilkada itu dapat berjalan dengan baik. Ukuran yang bisa digunakan adalah tatkala penyelenggaraan pilkada itu sesuai dengan ketentuan  hukum yang berlaku. Hukum yang diindahkan (ditegakkan) guna mengawal pilkada akan menjadikannya sebagai pesta demokrasi yang semakin berkualitas.

Pilkada mestilah berelasi pada kesuksesan pada seseorang untuk merebut kekuasaan. Kekuasaan yang berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan mengandung tanggungjawab besarnya, karena berkaitan dengan amanat menegakkan dan mendistribusikan kepentingan publik.   Inilah yang harus dipahami oleh setiap kandidat yang nantinya terpilih, yang karena terpilihnya ini, dirinya jadi pemegang amanat.

Said Aqiel Siraj (2006) menyebut, kekuasaan memang selalu menyihir, sehingga orang bisa berbuat apa pun demi meraihnya. Sejak Adam dan Hawa masih bertelekan di surga, rasanya kekuasaan sudah menyembul dan tampak bertarik tambang ketika iblis ogah mematuhi perintah Tuhan untuk bersujud. Yang terjadi kemudian adalah penjasadan kekuasaan dalam setiap tapak kehidupan manusia, yang bermetamorfosis dalam rupa yang kian rinci, merata, dan menyimaharaja.

 Tanggungjawab demikian itu tentu saja tidak ringan, artinya tidak setiap orang yang berkemampuan menjadi pemimpin, tidak lantas kemudian bisa menunjukkan kapabilitas kepemimpinannya, bilamana dalam zona kepemimpinanya “sarat” berbagai ragam dan banyak baksilnya.

Cita-cita masyarakat untuk mewujudkan konstruksi kehidupan sejahtera, tidak terbelenggu oleh kemiskinan, buta huruf, malnutrisi (kekurangan gizi),  dan berbagai bentuk penyakit sosial lainnya, dapat dimediasi oleh pemimpn yang bisa, mampu, atau punya kinerja yang terencana dan terimplementatif. Kalau pemimpin terpilihnya hanya diam menyaksikan berbagai bentuk ketidak-adilan sosial, yuridis, dan struktural, nasib rakyat yang sudah mempercayainya, tidak akan pernah berubah.

Bukanlah suatu misi yang tidak mungkin (missin imposible) untuk menyejahterakan masyarakat, jika pemimpin daerah tidak sekedar menyibukkan berebut kue kekuasaan, politik ”dagang sapi”, atau menghabiskan seluruh enerjinya untuk memburu kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi benar-benar menyibukkan diri dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh para pemimpin, bilamana berbagai bentuk kesulitan masyarakat ternyata dijadikan sebagai bagian dari komoditi dan ”umpan-umpan” meraih kemanangan pilkada semata. Kesulitan yang menimpa masyarakat seharusnya dijadikannya sebagai amanat yang menuntut ditegakkan dengan pertaruhan diri dan karier strukuturalnya. Selama masyarakat belum hidup sejahtera, maka pemimpin ini dikategorikan gagal.

Pemimpin yang terpilih nanti (di pemilu) harus mau dan mampu membuat lompatan indah yang menentukan dalam menjalankan roda kekuasaan. Kekuasaan yang berhasil direbut, harus diubah menjadi modal dan praksis pelayanan dan pengabdian bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat seluruhnya. Kekuasaan disertai semangat penghayatan dan asketis. Dengan demikian, pilkada (pemilu) bukan hanya bermanfaat, tapi juga bermartabat. (Thomas Koten, 2009)

Itulah yang membuat setiap elemen rakyat (pemilih) dituntut sikap kritis, cermat dan rasional dalam menggunakan hak pilihnya. Pemilih tidak perlu tergoda dengan gebyar dan euphoria pesta dan aneka janji yang disampaikan kandidat. Pemilih tentu bisa menilai sendiri, bagaimana kandidat yang pantas atau berintegritas dalam meimpin daerahnya.

“Proyek” rakyat atau bangsa yang nanti dijalankan oleh Gubernur, walikota, atau bupati terpilih tidaklah ringan, sehingga rakyat harus benar-benar cerdas dalam menggunakan hak pilihnya. Penggunaan hak pilih bukan asal bisa liberal menggunakan hak pilih, tetapi benar-benar melalui “ijtihad” dengan mempertimbangkan banyak aspek.

Banyak aspek itulah yang akan menentukan seseorang yang terpilih bisa menjalankan peran kepemimpinannya dengan benar, jujur, bertanggungjawab, berkeadilan, tidak suka menzalimi, mendiskriminasi, mendehumanisasikan, dan lain sebagainya. Kalau peran ini bisa dijalankan, tentulah kesejahteraan rakyat yang bakal terwujud, dan bukan nestapa yang terproduksi.

Penulis adalah Wakil Direktur I Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Pengurus AP-HTN-HAN

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry