SURABAYA | duta.co – Kalau tidak ada aral melintang, in sya Allah akhir bulan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya bakal memutus gugatan perdata (No 703/Pdt.G/2022/PN.Sby) terkait status tanah milik Ponpes Mahasiswa Roudlotul Banin wal Banat Al Masykuriyah, Surabaya.

“Sedari bulan Juli 2022, sidang perdata berlangsung. Benar-benar menguras tenaga, harta dan pikiran. Ini pelajaran bagi semua orang, agar hati-hati saat teken berkas di notaris,” demikian Dr Lia Istifhama, kuasa hukum masalah tersebut, bersama rekan advokat di bawah naungan Hadi Mulyo Utomo kepada duta.co, Senin (23/1/23).

Tanah perjuangan ini, katanya, tidak boleh hilang, apalagi terampas orang. Menurutnya, HA sebagai pengasuh yang, kini sudah berusia 59 tahun, terus gigih memperjuangkan hak-haknya.

“Saya haqqul yaqin, kebenaran akan menang. Dengan begitu Pesantren Mahasiswa yang berlokasi di Jl Jemur Wonosari Gg. IV No.54, Jemur Wonosari, Wonocolo, Surabaya itu, tetap aman, selamat dari manuver mafia tanah,” terangnya.

Untuk itu, tambah Ning Lia, panggilan akrabnya, ia berkirim surat kepada orang nomer 1 Indonesia Presiden jokowi. Juga kepada Kapolri, dan sebagainya. “Karena perkara ini melibatkan salah satu notaris Sidoarjo, kami juga bersurat ke Kemenkum HAM, Majelis Pengawas Notaris Daerah,” tegasnya.

Tidak hanya itu, selain melibatkan notaris, perkara ini juga melibatkan oknum salah satu Bank BUMN. “Maka Kementerian BUMN juga kami surati, termasuk Bank terkait. Di sini goal atau tujuan kami, sangat jelas, mengawal spirit Presiden Jokowi untuk ‘Lawan Mafia Tanah’. Kasus seperti ini harus mendapat dukungan semua pihak,” tambahnya.

Bagaimana modus operandinya? “Awal mulanya, suami HA, selaku pemilik dan pengasuh PP Roudlotul Banin wal Banat, bermaksud mengajukan pinjaman dana untuk usaha yang hasilnya diperuntukkan sebagai dana pembangunan gedung Ponpes baru,” tegasnya.

Lalu, ada seorang  juniornya bernama Subhan, menawarkan diri mencarikan pemodal. Tidak lama, Subhan mengenalkan dengan Andreas sebagai pemodal. Saat itu, kebutuhan pinjaman sekitar Rp 1 miliar. “Nah, Andreas ini menyetujui dengan syarat jaminan berupa sertipikat bangunan ponpes,” urai Ning Lia.

Tak lama, Andreas mengajak HA dan suami sebagai pemilik sertipikat Ponpes  untuk teken nota perjanjian utang-piutang di depan notaris asal Sidoarjo. “Mereka tahu perjanjian ini utang-piutang, ini juga penjelasan notaris secara lisan saat mereka menandatangani akta perjanjian. Notaris sendiri dengan kalimat gamblang mengatakan: Ini pinjaman 1 tahun sebesar Rp 1 miliar. Ironisnya, yang mereka teken perjanjian jual beli,” tambahnya.

Lucunya lagi, soal liku-liku penyerahan duit Rp 1 miliar. Bagaimana mungkin, duit terkirim melalui Bank atas nama MH, suami HA. Sementara yang bersangkutan tidak pernah buka rekening di bank tersebut. Ada dugaan niatan jahat, sehingga pembuatan rekening tanpa kehadiran yang bersangkutan.

“Usut punya usut, ternyata Subhan pernah meminjam KTP MH (suami HA) terkait rencana peminjaman modal tersebut. KTP inilah yang kemudian dijadikan sarana untuk membuka rekening bersama atas nama Prayogi dan MH. Namun karena MH tidak mengetahui terkait rekening, maka MH tidak pernah mendatangani berkas di bank tersebut, termasuk tidak pernah menandatangani form pembukaan rekening. Itulah sebabnya, pihak Bank juga kita surati, minta pertanggungjawaban, kok bisa?” tegasnya.

Dari sini, imbuhnya, kongkalikong itu terjadi. Rekening itu kemudian menjadi tempat Andreas mengirimkan dana yang disebutnya dalam gugatan, nominal pembelian tanah bangunan. Anehnya, sesaat setelah Andreas mengirimkan dana, uang dalam hitungan hari, sudah habis oleh nama Prayogi.

“Beberapa bulan kemudian, barulah MH dan HA menyadari bahwa ternyata ada dana masuk ke sebuah rekening, dan dana itu dari Andreas kemudian habis oleh Prayogi. Ini modus apalagi?” katanya sambil bertanya.

Modus ini yang menjadi dasar HA dan MH melapor ke Polda Jawa Timur. Namun selang beberapa tahun kemudian, tepatnya 7 tahun setelah kejadian, justru HA yang digugat ke PN Surabaya oleh Andreas. Sedangkan MH telah wafat pada 2020 lalu.

“Kami yakin, kisah seperti ini banyak terjadi di masyarakat. Butuh perjuangan, karena mencari keadilan, memang, tidak mudah. Tapi kami yakin dan optimis, putusan sidang pada 25 Januari 2022 besok, akan menjadi potret terwujudnya ‘Justitiae non est neganda, non differenda’, bahwa keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda,” pungkas Ning Lia.

Sampai berita ini terunggah, duta.co belum berhasil menghubungi Andreas selaku penggugat.(mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry