Agus Aan Adriansyah, S.KM., M.Kes – Dosen S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat

DESA memiliki hak dan kewajiban sekaligus wewenang untuk pengembangan dan pembangunan masyarakat desa. Hal ini tertuang pada Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa ditetapkan.

Dengan ini, desa memiliki otonomi untuk dapat merencanakan dan mengatur tatanan desa yang salah satunya meningkatkan kesehatan pada masyarakat.

Dalam peningkatan kesehatan, pemerintah desa mendapatkan alokasi dana yang didapatkan bersumber dari APBN, dimana diatur pada Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2014.

Pemerintah desa dapat melaksanakan tuntutan salah satunya untuk meningkatkan kesehatan pada masyarakat sesuai ketentuan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah dan Transmigrasi RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa.

Peningkatan kesehatan selalu diupayakan dengan baik untuk mencapai target yang ditetapkan. Dilihat dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), terjadi peningkatan IPKM Provinsi Jawa Timur, yaitu 0,5411 pada tahun 2013 menjadi 0,6302 pada tahun 2018 (Tjandrarini et al., 2019).

Hal ini menunjukkan adanya kondisi yang lebih baik secara umum dari nilai IPKM provinsi Jawa Timur pada tahun 2018 jika dibandingkan tahun 2013. Dapat terlihat dari sini, bahwa masalah kesehatan sangat memerlukan perhatian utama dalam melakukan intervensi. Sehingga, otonomi desa menuntut dan mengatur tatanan desa yang harus disertai perubahan dalam elemen penggerak desa terutama pada sumber daya manusia.

Masalah kesehatan yang dihadapi saat ini lebih ditekankan pada kesehatan gizi pada ibu maupun anak, masalah kesehatan ibu dan anak, penyakit tidak menular dan juga partisipasi desa serta partisipasi masyarakat setempat yang lebih diharapkan.

Sebagai contoh, Posyandu adalah salah satu Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM). Dengan memberdayakan masyarakat, dapat memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan secara dasar (Kemenkes RI, 2012).

Tetapi, masyarakat juga harus menjaga lingkungan karena derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor genetika (H.L. Blum)

Perencanaan merupakan dasar untuk melaksanakan program intervensi kepada masyarakat yang disusun sesuai dengan bukti/data yang terdapat pada kondisi desa. Dalam mendukung perencanaan yang terintegrasi untuk program intervensi yang tepat sasaran, harus didukung dengan aplikasi fungsi manajemen dalam pemerintah desa, apabila pengolahan data kegiatan yang belum optimal.

Perencanaan Berbasis Bukti (PBB) merupakan salah satu pendekatan lintas sektor yang digunakan untuk membantu proses perencanaan dan penganggaran dalam kesehatan. Indikator PBB (PKMK, 2013), yakni memprioritaskan intervensi yang telah terbukti efektif (mengurangi angka kematian dan menurunkan angka infeksi), mengidentifikasi hambatan pada daerah masing-masing, dan membuat strategi pelayanan kesehatan serta memperkirakan biaya dan dampak yang dapat di harapkan dari strategi yang dibuat.

Aplikasi Perencanaan Berbasis Bukti ini menggunakan analisa equity dan analisa scaling up (bukti lokal dan global kondisi kesehatan serta pendekatan pemecahan masalah yang sistematis). Pada dasarnya PBB dapat diaplikasikan pada berbagai bidang, namun yang pertama mulai digunakan pada bidang kesehatan. Bottlenecks (sumbatan) adalah data yang digunakan untuk mengaplikasikan PBB yakni data demand (kualitas pelayanan dan pemakaian berkelanjutan) dan supply (sumber daya manusia, peralatan dan obat-obatan, maupun akses) (UNICEF, 2010).

Dalam musyawarah dusun telah melibatkan masyarakat untuk perencanaan desa, akan tetapi pembuatan perencanaan desa jangka menengah hanya menyesuaikan kebutuhan masyarakat tanpa ada data pendukung dan belum dilakukan pembuatan dokumen planning of action (POA).

Hal ini yang mengakibatkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tidak merata pencapaiannya dan cukup sulit untuk dievaluasi. Ini karena indikator pencapaian sebagian besar belum di tuliskan dalam laporan (Firdausi, et al., 2017).

Dengan Perencanaan Berbasis Bukti (PBB) pada tingkat desa, akan didapatkan tatanan pemerintah Desa yang lebih profesional, bertanggung jawab, lebih terbuka dalam perencanaan desa serta lebih efektif dan efesien sesuai yang ditetapkan oleh Undang-Undang No 6 Tahun 2014.

 Namun, tata pengelolaan yang semakin banyak, seringkali tidak disesuaikan dengan sumber daya manusia yang kompeten dan penyediaan data yang tidak informatif. Sehingga, implementasi perencanaan basis bukti tidak terkelola dengan optimal, baik tentang kondisi desa yang seharusnya perlu menghidupkan kemampuan SDM yang telatih dan kompetitif melalui pendampingan serta sosialisasi terkait perencanaan berbasis bukti.

Karena itu, perlu adanya perbaikan fasilitas desa seperti pengoperasian komputer untuk penyediaan data/bukti dalam perencanaan berbasis bukti tersebut khususnya dalam aspek yang dituju yakni kesehatan masyarakat. *

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry