Ustad Abdul Somad (UAS). FT/IDNTIMES SULSEL
“Di sini saya mulai berpikir, kenapa media massa begitu semarak memfasilitasi para pembacanya untuk membully UAS, dengan konten yang terlalu jauh mengurusi hak privasi orang lain?”
Oleh: KH Imam Jazuli, Lc, MA*

MARAKNYA pemberitaan media massa tentang perceraian Ustad Abdul Somad (UAS) dan netizen yang terus membullynya, ini menandakan masyarakat kita semakin sakit. Sudah kabur mana batas-batas mengkritik orang yang diperbolehkan, dan mana yang terlarang karena berbuah keburukan.

Hubungan saya dan UAS tidak begitu dekat. Tetapi, UAS adalah adik kelas saat sama-sama menempuh pendidikan di Al-Azhar, Mesir, dan kemudian di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).

Karenanya, pada beberapa ajaran yang prinsipil, saya tidak setuju dengannya, dan saya telah berusaha mengingatkannya lewat tulisan-tulisan saya.

Namun, melihat pemberitaan media massa yang keterlaluan, suka membesar-besarkan persoalan pribadi orang lain, dan netizen yang suka gosip, saya menaruh empati dan simpati pada UAS.

Sebagai sesama manusia, setiap orang punya perasaan yang sama, yaitu ingin mempertahankan kehidupan rumah tangganya. Tetapi, tidak semua orang berhasil.

Pada momen-momen tertentu, perceraian menjadi jalan keluar terbaik bagi mereka untuk dari problem rumah tangga. Agama Islam berbeda dari agama lain, yang melarang perceraian. Islam membolehkan cerai, karena melihat adanya kemungkinan kehidupan rumah tangga harus dihentikan.

Melihat komentar dan kronologi perjuangan kuasa hukum UAS, saya pribadi yakin bahwa UAS telah berusaha mempertahankan kehidupan rumah tangganya sesuai perintah agama. Hanya saja belum ditakdirkan untuk tetap utuh.

Di sini saya mulai berpikir, kenapa media massa begitu semarak memfasilitasi para pembacanya untuk membully UAS, dengan konten yang terlalu jauh mengurusi hak privasi orang lain?

Bukankah kita sepakat bahwa negara tidak boleh intervensi privasi warganya, apalagi cuma media massa? Bukankah seseorang yang sedang menghadapi musibah wajib kita hibur, bukan malah dicaci?!

Apakah kita sudah lupa bahwa di dalam catatan sejarah, Rasulullah saw pun sempat menceraikan beberapa istrinya, seperti Aliyah binta Dzibyan, Umaimah binti Nu’man, dan Amrah binti Yazid. Karenanya, bercerai bukan perkara aib. Nabi Muhammad juga pernah bercerai.

Lebih dari itu, dalam konteks-konteks tertentu, bercerai malah dianjurkan dan diperintahkan. Contohnya, Nabi Ibrahim as pernah berkunjung pada putranya, Nabi Ismail as. Setelah memeriksa siapa istri Nabi Ismail dan merasa tidak cocok dengan menantunya itu, Nabi Ibrahim memerintahkan putranya itu menceraikan istrinya.

Lantas, beranikah kita mengatakan bahwa bercerai itu perkara tercela dalam konteks-konteks tertentu?

Bercerai memang tidak dianjurkan. Namun, pada keadaan dan kondisi tertentu, bercerai dianjurkan. Ibnu Taimiyah mengatakan dengan tegas: “Andaikan bukan karena tuntutan dan keharusan, niscaya thalaq itu haram. Tetapi, Allah membolehkan thalaq sebagai bentuk rahmat kasih-Nya kepada manusia”. Maksudnya, thalaq adalah jalan terakhir untuk keluar dari masalah keluarga.

Dalam kitab, hukum cerai itu banyak; Pertama, haram jika dilakukan saat haid. Kedua, makruh jika tidak ada alasan jelas. Ketiga, wajib jika hakim-hakim dari dua keluarga melihat keharusan cerai. Keempat, sunnah jika perempuannya kurang menjaga kehormatan (Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz 9, hlm. 349).

Tidak ada yang aib dan salah dari perceraian UAS. Tetapi, cara pandang masyarakat dan media tentang perceraian UAS sangat miris.

Tulisan ini bukan semata untuk menyampaikan empati pada UAS, melainkan juga untuk mengoreksi cara pandang masyarakat kita yang semakin tidak sehat. Bukan karena masyarakat tidak mengerti sejarah dan hukum cerai. Membully orang bercerai (janda maupun duda) sudah merupakan perbuatan yang tidak manusiawi. Ikut campur dalam urusan keluarga orang lain, privasi orang lain, merupakan pelanggaran HAM. Setiap orang berhak mempertahankan kehormatan masing-masing.

Para duda dan janda mestinya mendapatkan support, advokasi dan pendampingan, dukungan moril, bahkan dukungan material dan edukasi. Sebab, Kegagalan menjaga hubungan rumah tangga bisa menimpa siapa saja.

Setiap dari kita terancam gagal menjaga hubungan suami-istri. Oleh karena itu, salah satu kegiatan sosial-keagamaan yang wajib kita lakukan adalah advokasi para janda dan duda. Bukan membully dan mencaci mereka. Apalagi mempublikasikan urusan privasi mereka.

Memang dalam beberapa hal, UAS berdakwah dengan konten-konten keras dan buat telinga panas, seperti ada jin kafir di patung salib, hukum kafir para penggemar drama Korea dan musik K-Pop, dan pemikiran-pemikiran radikal lainnya.

Penulis sebagai kakak kelas selama di Mesir maupun di Malaysia, merasa perlu mengkritik pemikiran UAS melalui tulisan. Namun begitu, dalam kasus perceraian ini, penulis lebih melihat aspek empati, simpati, dan terlebih karena fikih Islam pun membolehkan thalaq/cerai.

Penulis tidak ingin masyarakat kita semakin sakit dan sesat pikir dalam melihat para janda dan duda, juga urusan perceraian.(*)

*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015*.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry