Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Prof Dr dr Budi Santoso, SpOG (K) (dua dari kanan) menyerahkan kenang-kenangan pada Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Budi Gunadi Sadikin usai diskusi di ajang Raker AIPKI di Surabaya, Kamis (7/7/2022). DUTA/ist

SURABAYA | duta.co – Indonesia sampai saat ini masih mengalami kekurang dokter spesialis serta penyebaran yang masih belum merata. Ini pun harus segera diatasi karena mencetak dokter spesialis tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Kementrian Kesehatan (Kemenkes) mencatat kebutuhan dokter umum dan dokter spesialis di Indonesia masih tinggi. Saat ini lulusan dokter dari beberapa fakultas kedokteran yang ada sebesar 12 ribu per tahun. Dengan standar yang ditetapkan WHO, yakni sebesar 1 dokter banding 1000 penduduk, maka kebutuhan itu bisa dipenuhi selama 14 tahun.

Sehingga perlu terobosan untuk peningkatan jumlah dokter umum dan dokter spesialis. Caranya dengan peningkatan kuota penerimaan mahasiswa FK 10 persen hingga 20 persen, pembukaan FK baru terutama di provinsi yang belum punya FK serta mendorong pembukaan prodi spesialis di FK- FK baik negeri maupun swasta khususnya yg sudah akreditasi A.

Hal itu diungkapkan Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Budi Gunadi Sadikin saat hadir dalam pelantikan ketua dan pengurus serta rapat kerja Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) di Surabaya, Kamis (7/7/2022).

Dikatakan Menkes, untuk bisa memenuhi kebutuhan dokter spesialis misalnya, harus dengan membuka prodi PPDS di semua fakultas kedokteran. “Namun ternyata tidak semua fakultas kedokteran itu boleh membuka PPDS itu. Saya baru tahu dua bulan lalu. Ternyata FK di perguruan tinggi swasta tidak boleh membuka PPDS,” kata Menkes.

Namun, nantinya, Menkes berharap FK yang ada bisa membuka prodi PPDS itu. “FK yang sudah terakreditasi A harus melakukan pembinaan pada fakultas kedokteran lain yang ingin membuka prodi dokter spesialis. Dengan begitu, nantinya jumlah dokter spesialis bisa lebih banyak dan kalau sudah banyak, penyebarannya bisa merata,” jelasnya.

Ini menjadi sebuah kesempatan bagi FK di perguruan tinggi swasta (PTS) untuk bisa membuka prodi PPDS ini. “Kalau ada swasta yang akreditasinya bagus, bisa dibantu. Ada beberapa kolegium yang sudah siap itu nanti kita mulai. Kami terbantu sekali dengan adanya dekan-dekan FK dari seluruh Indonesia yang membuat Academic Health System untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis di Indonesia,” tandasnya.

Ketua AIPKI Prof Dr dr Budi Santoso, SpOG mengaku mendukung kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, terutama masalah peningkatan kuantitas dan kualitas dokter serta pemerataan pendistribusian.

“Salah satu yang kami soroti adalah, apakah syarat untuk membuka prodi PPDS itu sudah cukup atau belum. Kami tidak peduli itu swasta atau negeri. Yang penting syarat memenuhi. Salah satu syaratnya itu adalah pemenuhan sumber daya manusia atau tenaga pendidik dan fasilitas pendukung,” tutur Prof Bus panggilan akrab Prof Budi Santoso.

Dekan FK Universitas Airlangga (Unair) itu menegaskan, jika FK baik di perguruan tinggi negeri atau swasta sudah siap, maka harus mengajukan ke kolegium lalu ke Konsul Kedokteran Indonesia (KKI) lalu ke Kemendikbudristek.

“Selama memenuhi syarat tidak menjadi masalah. Kami selalu mendukung dan kami akan selalu membina,” tandasnya.

Dikatakan Prof Bus, kenapa syarat-syarat itu penting dipenuhi, karena mencetak dokter bukan seperti mencetak SDM lain. Karena mencetak dokter itu harus benar-benar yang berkualitas karena nantinya setelah lulus akan menangani manusia-manusia yang menggantungkan hidup dan matinya di tangan dokter. ril/end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry