PONTIANAK | duta.co — Doktor Fahruddin Faiz, pakar filsafat UIN Sunan Kalijaga, mengatakan bahwa sains dan agama perlu berkolaborasi untuk menciptakan peradapan baru, tanpa mengasingkan salah satunya.

Demikian sang ustadz Faiz, saat mengisi acara Sinau Filsafat bertema Relasi Agama dan Sains oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) IAIN Pontianak melalui Zoom Meeting pada Kamis (2/9) malam.

Menurut Ustadz Faiz antara ilmu agama dan sains, sama-sama penting, Meski terkadang isi keduanya tidak nyambung. Namun seringkali apa upaya memunculkan gagasan baru untuk mempertemukan keduanya.

“Jadi, agama itu termasuk ayat Qauliyah, dan sains adalah ayat Qauniyah. Namun saat ini umat Islam mengalami problematika, yaitu hanya fokus kepada ayat Qauliyah saja. Akibatnya umat Islam terkesan terbelakang dalam urusan perkembangan sains di zaman modern,” ungkapnya.

Masih menurut Ustadz Faiz, problematika kajian Islam yang pertama ialah Visi Qauliyah. Ini yang membuat umat Islam kalah dengan qauniyah.

Sejak abad ke 14, ketika Dinasti Islam jatuh, Islam hanya melihat aspek nash (qauliyah saja), tradisi literasi berkurang. Akhirnya cara hidup umat Islam terkungkung hanya  pada Ayat Qauliyah. Dari aspek Qauniyah banyak yang kalah dari peradaban barat.

Kedua, dunia Islam mengahadapi problem Dikotomis-Hirarkis. Dikotomis, artinya memilah-milah antara ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan hirarkis meranking-ranking bidang ilmu, sehingga tercipta ilmu yang lebih unggul.

Dengan hal ini menurut Ustad Fahruddin Faiz umat Islam tentu akan fokus ke ilmu yang lebih tinggi, padahal segala ilmu pengetahuan itu perlu di kuasai.

Ketiga, problemnya cara berfikir konservatif. Sebenarnya ini baik karena hanya berpatokan pada muhafadoh alal qodim saja, yaitu menjaga hal yang lama. Tapi sayangnya muhafadoh alal qadim ini tidak berlanjut ke wal ahlu bil jaded. Yaitu tidak mengambil hal yang baru, padahal umat Islam perlu mengembangkan kreatifitas. Kalau saat ini istilahnya wal ijadu fil jadid,” jelas dosen UIN Sunan Kalijaga ini.

Tidak Bertentangan

Problem umat Islam keempat, menurut dosen yang sering mengisi pengajian di Masjid Diponegoro Jogjakarta ini, adalah Catching-up syndrome, yaitu sindrom menyomot, mengambil ilmu begitu saja.

Misalnya ada temuan sains baru, umat Islam langsung mencari ayat dan mencocok cocokan, jika sians tersebut tidak cocok dengan Al-quran, maka, tidak dipakai. “Nah problem yang terakhir adalah kepentingan. Kadang kebenaran itu kalah ketika mengedepankan kepentingan. Teman-teman PMII harus jeli, dan selalu berfikir kritis,” jelasnya.

Problem kajian islam tersebut menurut Ustadz Fahruddin Faiz akan mengimbas kepada dunia sosiokltural, sehingga menurutnya perlu merelasikan Agama dan Sains, seperti meyakini bahwa ilmu dan agama sumber sejati kebenaranya ialah Allah. Jadi hakikatnya tidak bertentangan.

Selanjutnya ilmu sains yang sifatnya material perlu tambahan dimesni sipiritualitas, keduanya perlu dipertautkan karena sama-sama penting. “Saat ini seperti ijtihad di dalam kampus seperti mempertemukan wawasan Islam tentang ekonomi modern. Munculah ilmu Ekonomi Syariah, kemudian pandangan psikologi yang dipertemukan dengan wawasan islam, muncullah Psikologi Islam. Tinggal bagaimana sekarang umat muslim mendalami ilmu-ilmu tersebut,” imbuhnya. (Lap. Siti Maulida)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry