Oleh: Kukuh Santoso SPdI MPdI*

PENDIDIKAN merupakan kunci kemajuan. Semakin baik kualitas pendidikan suatu bangsa/masyarakat, maka akan semakin baik pula kualitas kehidupan bangsa/masyarakat tersebut. Fazlurrahman, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin menyatakatan “Setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan pendidikan”. Ungkapan senada dikemukakan oleh Khursid Ahmad yang menyatakan bahwa “All of the problem that confront the Muslim world today the educational problem is the most challenging. The future of the muslim world will depend upon the way it responds to this challenge”, artinya dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini.

Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, masyarakat, maupun bangsa, maka pendidikan harus selalu ditumbuh kembangkan secara sistematis dan visioner. Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut.

Pendidikan Islam dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksi-nya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat.

Secara historis, gagasan pembaruan atau modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, diawali dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan kolonial Belanda dan kehadiran organisasi-organisasi modernis Islam seperti Jami’at al-Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain, Hal ini mengandung pengertian bahwa titik tolak modernisasi pendidikan Islam di Indonesia adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional. Namun pada akhirnya kedua model pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan dan secara bersama terus saling melengkapi seiring dengan perkembangan.

Pendidikan Islam pada masa kini dihadapkan kepada tantangan yang jauh lebih berat dari tantangan yang dihadapi pada masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealitas ummat Islam yang serba kompleks dan multi dimensi setelah mengalami pergeseran nilai akibat kehidupan dan peradaban yang serba modern.

Di Indonesia, dalam masyarakat Jawa khususnya, kehadiran Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. Menambah semangat dalam tantangan pendidikan di negeri ini, yang keduanya memiliki bassic dan kultur yang berbeda dalam mentransformasikan pendidikan, NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis. Namun dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas. Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks Alquran dan Hadits sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.

Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern keimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah. Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.

Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik. Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning. Dan masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan yang lain, yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam memilah masyarakat Islam di Indonesia, menjadi NU dan Muhammadiyyah.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang (Unisma).

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry