Oleh: Ana Rokhmatussa’diyah*

DALAM studi kita, setiap warga negara yang hidup di Negara Republik Indonesia ini diatur menurut hukum yang berlaku. Hukum dinyatakan berlaku sebagai norma yang mengikat setiap sikap dan perilakunya, temasuk anak-anak kita. Mereka dituntut oleh norma hukum untuk menjadi warga yang patuh. Kepatuhannya akan dapat memberikan banyak manfaat baik bagi diri, sesama, masyarakat maupun bangsanya.

Sayangnya, sebagian rakyat Indonesiaa saat ini di beberapa aspek sedang sakit. Mereka terlibat dalam berbagai bentuk pelanggaran norma-norma baik agama, budaya, politik, ekonomi maupun hukum, yang pelakunya masih anak-anak  (remaja).

Terbaca fenomena mengkhawatirkan di kalangan anak kita itu dimana norma-norma yuridis dan etika ini sepertinya tidak  pernah dikenalnya sebagai pelajaran dan pedoman moral yang seharusnya menjadi bagian pijakan fundamental atau asasi dalam kehidupan­nya.

Mengapa anak-anak kita cenderung makin berani memproduksi pelanggaran norma yuridis atau bahkan ada diantaranya yang melakukan kejahatan yang bertipologi serius (exstra ordinary crime)? apakah mereka tidak mendapatkan pendidikan hukum yang benar?

Kita tidak kesulitan membaca kasus belakangan ini, bahwa anak-anak sekarang terbilang pemberani melakukan kejahatan. Barangkali orang tua atau keluarganya tidak pernah memperkirakan sama sekali kalau anaknya yang masih di sekolah memengah atau masih belasan tahun, sudah berani melakukan kejahatan dengan tipe serius.

Terperosoknya anak-anak (remaja) jadi pelanggar hukum itu, tidaklah semata harus menyalahkannya, meski mereka mengerti model kekerasan berasal dari kawan-kawaannya. Karena bisa jadi, apa yang diperbuanya ini berhubungan dengan kondisi tertentu yang membuatnya berperilaku menyimpang.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, aparat dan para pendidik (guru dan orang tua) harus mengampanyekan etika, bahwa yang benar, yang indah dan  yang baik itu menyenangkan, membahagiakan, menentramkan, dan memuaskan manusia. Sebaliknya yang salah, yang jelek, dan yang buruk itu menyengsarakan, menyusahkan, dan bisa menghancurkannya. Berdasarkan dua sisi yang bertolak belakang ini, setiap subyek berbangsa dan bernegara seperti anak-anak adalah bagian dari sumber penentu yang menimbang, menilai, memutuskan untuk memilih yang paling menguntungkan (nilai moral) atau merugikan  banyak orang (dalam pendekatan norma yuridis).

Para pendidik dan aparat berkewajiban terus mengingatkan (mengedukasikan) anak-anak, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu ada kewajiban, hak, dan tanggungjawab sebagaimana yang sudah digariskan oleh norma.  Tanggungjawab itu dapat dipelajari. Setiap orang, termasuk anak dapat melatih, memupuk, mengembangkan tanggungjawab itu dalam dirinya sehingga terbiasa, tahu bertanggungajwab atas segala  perbuatan dan dapat tanggungjawab/mempertanggungjawabkan tugas/amanah yang diberikan kepadanya sebagai sumberdaya strategis bangsa.

Selain itu, mereka juga juga harus menyampaikan, bahwa kehidupan anak-anak dimanapun adalah terikat dengan norma-norma. Tanpa terikat dan berpijak dengan nornma-norma, manusia akan banyak menemui dan dihadapkan dengan berbagai bentuk kesuli­tan yang tidak mudah diatasi. Bahkan bukan tidak mungkin kesulitan-kesulitan yang datangnya bertubi-tubi menyerang kehidupannya dapat menjerumuskan pada kehancuran. Tidak salah kemudian jika ada yang mengkaitkan antara posisi kehancuran suatu bangsa dan negara dengan etika. Artinya, ketika etika tidak lagi ditempatkan sebagai kekuatan utama dan pondasi kehidupan anak-anak, maka hidupnya akan menjadi kehilangan makna, termausk bisa terperosok menjadi bibit-bibit kriminalitas.

Ketika anak-anak dibiasakan memperbincangkan (mendiskusikan) tentang makna, tujuan dan fungsi kehidupannya, maka sulit hal itu untuk melepaskan atau membebaskan dirinya dari perbincangan tentang esensi dan eksistensi norma-norma, sebab di dalam norma-norma itu terkandung nilai-nilai yang menjanjikan manusia pada kese­nangan, kebahagiaan, ketenangan dan keselamatan.

Di dalam norma-norma yang diperbincangkan itu, ada norma yuridis yang memiliki tempat sangat terhormat di tengah-tengah kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Keduanya bukan hanya menjadi simbol kelangsungan dan kejayaan hidup warga bangsa, tetapi juga menentukan bagaimana kehidupan warga bangsa atau rakyat dalam suatu negara dapat terkabul cita-citanya.

Pendapat tersebut menunjukkan, bahwa norma hukum itu mengikat anggota masyarakat supaya dalam kehidupan masyarakat terjadi penghormatan hak yang diakui baik oleh hukum maupun kesepakatan bersama. Aanak-anak yang hidup dalam negara hukum adalah manu­sia yang paling berbahagia, karena pola hidup dan berin­teraksi sosial, budaya, politik, dan aspek-aspek lainnya sudah diatur oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan secara positip terhadap hak-hak asasinya (HAM).

Kebutuhan terhadap kehadiran norma yuridis dinilai sebagai sebagai suatu kebutuhan (fundamental) yang mendesak. dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai kebutuhan fundamental yang harus secepatnya dirumuskan, diajarkan dan disosiali­sasikan bagi rakyat atau warga bangsa Indonesia, yang kebutuhan demikian harus dipahami oleh para pendidik hokum (guru dan orang tua).

Ada pesan dari Franklin D. Roosevelt yang berbunyi: We cannot always build the future for our youth, but we can build our youth for the future.”  yang artinya kita tidak bisa selalu membangun masa depan untuk generasi muda kita, tetapi kita dapat membangun generasi muda kita untuk masa depan

Pernyataan Roosevelt itu penting untuk dijadikan sebagai naseihat atau pesan mulia dalam rangka membimbing atau membentuk (mendidik) generasi muda. Para anak bangsa ini dituntutnya untuk menjadi sumberdaya strategis yang berguna bagi masa depan.

Salah satu cara untuk membentuknya itu adalah tidak meninggalkan anak sendirian dan liberal dalam mempelajari atau mencontoh perkembangan sekarang.  Para pendiidk harus gencar menyampaikan pada anak-anak, atau siapapun yang berhubungan dengan tanggungjawab mendidik dan melindunginya, bahwa masa depannya akan lebih terarah di jalan yang suka menjunjung tunggi kebenaran dan keadilan, jika tidak henti mendapatkan transformasi edukatif yuridis.

* Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, penulis sejumlah buku, dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry