Ketua Aliansi Kebangsaan dan Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Pontjo Sutowo.

JAKARTA  – Dalam rangka 75 tahun Indonesia Merdeka. Kita harus menyadari bahwa bangsa Indonesia lahir setelah adanya konsensus politik dari para pendiri bangsa (founding fathers) yang berasal dari berbagai etnik, budaya dan agama. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa (multietnik). Lebih dari 500 suku bangsa, dengan budaya yang berbeda (multikultur), memakai bahasa daerah yang berbeda (lebih dari 700 bahasa daerah), agama dan kepercayaan yang beraneka ragam, bahkan banyak tinggalan budaya artefak tersebar di seluruh daerah: baik yang berada di atas dan di bawah tanah, bahkan di lautan. Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan dan Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Pontjo Sutowo melalui rilis yang diterima redaksi.

Kekayaan budaya tersebut sangatlah luar biasa dan merupakan landasan dasar pemersatu di antara bangsa-bangsa dan pembentuk NKRI. Bahkan artefak ataupun benda-benda arkeologis dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi, rekonstruksi peristiwa di masa lampau. “Untuk itu, harus dikelola, dilestarikan dan dikembangkan sebagai dasar membangun karakter bangsa, kebanggaan nasional, sumber pengetahuan dan sumber inspirasi serta kreativitas masyarakat untuk kemandirian ekonomi dan identitas nasional (kedaulatan ipoleksosbudhankam). Ini semua menjadi salah satu dasar dalam Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbuddiknas) yang telah disampaikan kepada Komisi X DPR RI,” tutur Pontjo .

Pontjo Sutowo yang juga Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti mengatakan bahwa Keindonesiaan merupakan suatu perjalanan yang sangat dinamis dan sudah melalui berbagai tahapan, yang awalnya menjadikannya kenyataan politik, menjadikannya kenyataan hukum dan sekarang sedang bergulat untuk meneguhkan Indonesia ini sebagai kenyataan kultural. Dari sini terbentuklah nilai-nilai keindonesiaan: nasionalisme, persatuan, bernalar, kedaulatan nasional, kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, kebebasan, kerakyatan, negara maritime dan kedirgantaraan. Inilah unsur pembentuk impian Indonesia.

“Mengapa nilai keindonesiaan perlu terus dikurikulumkan? Karena ia merupakan sistem nilai dan budaya yang universal, diterima, digali dan dihayati oleh bangsa Indonesia. Itulah cara hidup kita. Itulah hidupnya-matinya Indonesia. Nilai keindonesiaan begitu mendesak untuk diaktualkan dan direaktualisasikan karena kita berada dalam perang global dan dalam pusaran perubahan sehingga terjadi internasionalisasi dan globalisasi,” ujarnya.

Dijelaskannya, internasionalisasi berarti suatu dunia tanpa batas dan penerapan peradaban industrial Barat. Globalisasi membenarkan, rakyat dari seluruh bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam kemajuan teknologi-teknologi baru. Mereka bebas memanfaatkan kemampuan teknologis tersebut di manapun dan kapanpun.

Penanaman nilai keindonesian pada hakikatnya merupakan pembentukan karakter individu. Generasi muda diharapkan mampu mengapresiasi kearifan budaya lokal dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks. Ketika Inggris dapat mengalahkan Napoleon, timbul pendapat umum bahwa  “The battle of Waterloo was won on the playing fields of Eaton”, seperti sering diungkapkan oleh Daoed Joesoef.  Eaton adalah sekolah di Inggris yang banyak melahirkan perwira-perwira yang berkarakter dan berjiwa pemimpin. Jadi sesungguhnya penanaman karakter harus sejak dini, bukan diujung saja, dan bukan ketika sudah di akademi militer. Semua ini menunjuk betapa pentingnya pendidikan karakter melalui sistem nilai tertentu oleh suatu bangsa bagi warga negaranya.

Memasuki abad 21 ini, agar generasi muda tidak kehilangan cara untuk memahami jati diri bangsanya maka dirasa perlu untuk membangunkan generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai luhur budaya warisan nenek moyang. Karenanya, globalisasi dan neoliberalisme tidak boleh menghanguskan itu semua.

Berdasarkan hasil pendidikan di beberapa tempat, penanaman nilai keindonesiaan bagi warga negara harus lebih efektif jika kita ingin Indonesia tak makin tertinggal. Salah satu caranya dengan mengefektifkan sistem pendidikan nasional (SPN) yang berperan penting dalam penanaman nilai keindonesian kepada peserta didik. SPN meliputi pendidikan formal (sekolah), pelatihan nonformal (kursus atau pelatihan) dan pendidikan informal (keluarga). Pendidikan menjadi salah satu upaya paling strategis untuk membentuk jiwa bangsa dan nilai keindonesiaan baik secara formal, informal, maupun nonformal. Ketiganya harus berjalan bersamaan dan terintegrasi. Sebab ini soal genting di masa penting.

Menurut Pontjo, Daoed Joesoef salah satu tokoh pendidikan nasional pernah mengatakan bahwa “sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari. Jangan menanti apapun dari masa depan, karena kita sendirilah yang harus menyiapkannya.

“Dengan begitu, pendidikan kita memerlukan usaha revitalisasi agar ia menjadi alat pemenangan sebuah negara-bangsa di zaman global dan era perang modern. Memenangkan pendidikan via revitalisasi adalah memastikan kedaulatan masa kini, kemakmuran bersama dan kemartabatan kebangsaan-kemanusiaan sekarang dan masa depan,” ujarnya tegas.

Yudi Haryono, Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menambahkan bahwa revitalisasi yang dilakukan bukan sembarang revitalisasi, melainkan harus revitalisasi pendidikan berbasis Pancasila dan Konstitusi, dengan semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhineka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba) dan berwawasan Nusantara serta berwawasan kebangsaan. Mengapa harus demikian? Sebab Pancasila merupakan kode genetik dan cetakan dasar bangsa Indonesia. Dengan basis tersebut serta hadirnya warga negara unggul yang terkelola, berwatak memimpin dan punya setrilyun kejeniusan maka usaha revitalisasi ini akan ditempuh demi, dari, oleh, dan untuk Indonesia Raya.

Sementara itu Bambang Pharmasetiawan selaku Wakil Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menyoroti soal Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan tentang inklusi yang ada dalam naskah akademik tersebut. Pendidikan jarak jauh (PJJ) bukan metode baru dalam sistem pendidikan. Dalam bahasa Inggris disebut distance education. Metoda ini merupakan pendidikan formal berbasis media yang peserta didik dan instrukturnya berada di lokasi terpisah (baik karena antar daerah, antar pulau, maupun karena wabah virus seperti Corona yang mewajibkan social distancing dan karantina bahkan isolasi) sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya dan berbagai sumber daya yang diperlukan di dalamnya. Namun harus difahami bahwa PJJ bukan memindahkan mentah-mentah pembelajaran tatap muka menjadi daring, disinilah kreatifitas dan kemampuan guru-guru dituntut. Keberhasilan PJJ bergantung pada materi yang berkualitas yang disajikan dengan efektif, efisien, dan menarik. Untuk itu diperlukan perangkat keras dan perangkat lunak dan kemampuan guru dalam menguasai platform dan media dijital, baik yg sinkronous maupun yang asinkronous. Selain itu jaminan internet yang memadai. Musibah pandemi Covid 19 dapat dijadikan momentum untuk mempercepat dan memasyarakatkan PJJ sebagai sarana untuk menjangkau daerah-daerah 3T dan daerah yang masih kekurangan guru. Inilah bukti negara hadir dalam pendidikan nasional.

Demikian halnya juga untuk pendidikan inklusi. Pendidikan inklusif merupakan sistim penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya yang disatukan dengan tanpa mempertimbangkan keterbatasan masing-masing. Bisa juga bermakna penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan dan terbuka bagi anak berkelainan, apapun kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan terpadu bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, khususnya bagi anak penyandang disabilitas yang diselenggarakan di sekolah formal. Penggunaan kurikulum dalam pendidikan inklusif juga harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa, baik siswa reguler maupun siswa berkebutuhan khusus.

Pendidikan ini bertujuan untuk emansipasi dan maksimalisasi; memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus agar bisa menikmati kebudayaan dan pendidikan. Secara filosofis, pendidikan inklusif hampir sama dengan falsafah bangsa ini, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti meniadakan perbedaan dan menjadikan satu kesatuan dalam berbagai keberagaman. Hal ini berarti bahwa bangsa ini sejak dulu telah memahami dan menerapkan adanya nilai kesatuan dalam berbagai perbedaan. Karena itulah sudah selayaknya pemerintah memberikan subsidi yang layak untuk sekolah-sekolah inklusi ini mengingat pendidikan inklusi adalah nir-laba bahkan cenderung bersifat sosial. rls

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry