Oleh: Eko Suhartoyo MPd*

SEMUA nabi memiliki mukzizatnya masing-masing, dan lewat mukzizat yang dahsyat tersebut, orang diwajibkan beriman dan bertaqwa kepada Alloh SWT (HR. Imam Bukhori). Begitu pula dengan Nabi Muhammad SAW, yang memiliki mukzizat berupa wahyu Al-Qur’an, yang dengan izin Alloh SWT, mukzizat Al-Qur’an tersebut membuat Nabi Muhammad SAW memiliki pengikut paling banyak hingga akhir zaman.

Menurut penulis, yang akhir-akhir ini sangat mengagumi kesholehan KH Baha’uddin Nursalim  melaui kajian-kajiannya, kebanyakan manusia lebih mengingat kedahsyatan mukzizat Nabi Musa AS yang mampu membelah Laut Merah dengan tongkatnya, bahkan sebagian besar manusia menilai fenomena tersebut tentu sangat ganjil. Dan hingga detik ini pun, kajian rasional terbelahnya Laut Merah oleh Nabi Musa AS dengan tongkatnya masih terus digali oleh para ahli. Karena keganjilan makna tersebut, yang memiliki persamaan makna dengan kata ‘aneh’, tentunya adalah keadaan diluar logika manusia.

Sebagai ummat Nabi Muhammad SAW, tentunya kita harus memaksakan diri untuk lebih mengagumi mukzizat Nabi Muhammad SAW agar lebih meningkatkan ketaqwaan kita kepada Alloh SWT. Dengan memakai logika perbandingan antara kehebatan tongkat nabi Musa AS dengan seekor nyamuk, Gus Baha’ mengajak kita lebih bernalar terhadap kekuasaan Alloh SWT menciptakan nyamuk yang berukuran relatif kecil dengan organ tubuh yang sangat kompleks. Di sini kita sama-sama diajak untuk menalar keruwetan organ tubuh seekor nyamuk yang relatif kecil, yang mana hal itu lebih aneh ketimbang kehebatan tongkat Nabi Musa AS dalam membelah Laut Merah. Secara singkat, kedua mukzizat di atas bertujuan satu, yaitu untuk mengakui absolutisme qudroh-nya Alloh SWT. Maka ummat Nabi Muhammad SAW dapat meningkatkan keimanan kepada Alloh SWT cukup melalui penalaran akal (bashiroh) terhadap semua ciptaan Alloh SWT, baik alam semesta beserta isinya: hewan, tumbuhan, dan manusia.

Cara lain untuk meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kepada Alloh SWT adalah dengan mengagumi kemampuan manusia dalam pemerolehan Bahasa pertama. Definisi pemerolehan Bahasa pertama adalah suatu proses pemerolehan suatu Bahasa tanpa kualifikasi pengetahuan tentang Bahasa pada penutur bahasanya. Maknanya adalah pemerolehan Bahasa pertama tersebut diperoleh melaui proses spontanitas yang mana dengan kehebatan otak manusia, Chomsky menyebut dengan istilah Language Acquisition Device (LAD), bahasa tersebut menjadi bahasa pertama manusia. Istilah spontanitas tersebut jika dalam pandangan agama Islam disebut istilah qodrat Alloh SWT kepada setiap manusia. Lebih jauh, Chomsky dengan teori nativistiknya dan hipotesis nurani (innateness hypothesis), beranggapan bahwa pengaruh lingkungan bukan faktor yang paling dominan dalam pemerolehan Bahasa.

Pemerolehan Bahasa pertama, yang diakui atau tidak di dalamnya terkandung berbagai struktur tata Bahasa yang sangat kompleks, tidak cukup diperoleh oleh manusia sejak lahir hanya dengan mengandalkan kemampuan meniru. Pasti ada campur tangan diluar nalar manusia sehingga Bahasa pertama tersebut diperoleh sebelum manusia mulai meniru. Alloh SWT telah menentukan qodrat kepada manusia dari sejak lahir bahwa otak manusia telah ditetapkan secara genetik untuk mampu menerima masukan (input), lalu secara nurani input tersebut dolah sedemikian rupa yang nantinya menghasilkan output berupa ucapan mulai dari yang sederhana hingga yang paling kompleks, terlepas dari lambat atau cepat manusia mampu berbahasa.

Lebih jauh kita dapat menyaksikan disertai kemampuan kita bernalar dalam mengagumi mukzizat Alloh SWT berupa Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yaitu dengan mengamati bagaimana seorang anak yang sejak dilahirkan ternyata mampu memperoleh Bahasa pertamanya, atau istilah lazim disebut dengan Bahasa ibu. Kita semua tentu sepakat bahwa semua anak berbahasa sama dengan Bahasa yang digunakan oleh keluarga masing-masing anak tersebut. Sejak dari lahir, anak-anak memperoleh Bahasa pertama secara alami, spontan, dan secara tidak sadar. Terlebih lagi, pemerolehan Bahasa pertama tersebut dilakukan tanpa adanya target di awal, tidak ada strategi khusus, tidak dilaksanakan di tempat formal, bahkan tidak ada evaluasi dan penilaian akhir seperti lazimnya pendidikan formal. Namun ajaibnya, anak-anak tersebut sukses memperoleh Bahasa pertamanya.

Seperti nasihat dari Gus Baha’ di atas, mari kita menggunakan bashiroh untuk mengakui absolutisme qudroh Alloh SWT terhadap proses pemerolehan Bahasa pertama pada anak. Pertama kali dilahirkan ke dunia ini, Alloh SWT mengendaki dan memberikan kemampuan pada anak untuk mendengar. Mulai dari mendengar suara (kata, frase, kalimat dari pola sederhana hingga tingkat kompleks) serta bunyi. Lalu, pada tahapan berikutnya, anak mulai belajar beraneka ragam kalimat, mulai belajar mengkombinasikan ragam kalimat tadi dipadukan dengan pelbagai pola nada, variasi panjang pendek, serta ragam tingkat kenyaringan suara. Bahkan, anak-anak tidak hanya belajar beraneka kalimat saja, namun mereka juga bisa menggunakannya untuk tujuan berkomunikasi.

Pada akhirnya secara bertahap, anak sudah mampu menggabungkan serta menggunakan antara sistem bunyi, kata, dan makna. Terlebih lagi anak juga belajar untuk meniru semampu mungkin, bahkan sebagaian orang tua menilai inilah fase keajaiban yang pertama tampak. Lebih jauh, terdapat empat fase perkembangan fonetik pada anak. Pertama, bayi bisa menangis dan tersenyum pada awal dilahirkan. Kedua, bayi mulai mengoceh (babbling) dengan bahasa bayi yang kita tentunya belum begitu memahami secara harfiah. Tahap selanjutnya, bayi pada usia berikutnya mulai belajar meniru suku terakhir dari sebuah kata (lallation/echoing). Lalu pada tahap yang keempat, bayi sudah bisa berbicara.

Secara detail, berikut adalah deskripsi singkat tahapan perkembangan anak dari mulai awal dilahirkan hingga pemerolehan Bahasa pertama seorang anak.  Difase tri wulan pertama, bayi sudah bisa mengenai suara manusia. Pada fase ini, secara umum bayi belum memiliki cukup ingatan, ingatannya hanya seputar pada hari -H- saja. Pada tahap ini pula, bayi bisa berkominkasi dengan senyuman, suara yang bersifat spontanitas dan tak terkontrol, dan biasanya lazim disebut dengan istilah mengoceh. Pada fase tri wulan kedua, seiring berkembangnya fisik sang bayi, maka berkembang pula kemampuannya dalam mengenali suara yang asing dan yang tak asing. Bahkan, beberapa bayi juga mampu meniru sepenggal akhir suku kata dari sebuah kata, atau disebut dengan lallation / echoing. Lalu selanjutnya, pada triwulan ke tiga, anak mulai menunjukkan kemampuan bereaksi terhadap stimulus gerak dan suara. Bahkan mampu mengartikulasikan beberapa variasi dan kombinasi suara.

Pada fase satu tahun, anak mulai menunjukkan kemampuan merespon perintah yang sederhana. Lalu, di usia satu tahun setengah, anak sudah mampu menunjuk beberapa benda berdasarkan perintah, serta sudah mampu melakukan berbagai perintah. Bahkan, perbendaharaan katanya sudah banyak yang dirangkai dalam beberapa kata disertai dengan ekspresi gerak tubuh dan sudah menunjukkan makna. Dari sini, dapat kita lihat, dalam waktu kurang dari dua tahun, seorang anak sudah mampu berkomunikasi dengan pemerolehan Bahasa pertama. Bahkan, sang anak sudah mampu menggunakan beberapa kata dan frasa, ditunjukkan dengan peningkatan perbendaharaan kata yang signifikan.

Secara kesimpulan, sebagai ummat Nabi Muhammad SAW, untuk mengagumi mukzizat Alloh SWT, kita tidak perlu melihat dan menunggu hal yang bersifat sim-salabim. Cukuplah kita melihat semua makhluk disekitar kita seperti ilustrasi di atas, semuanya adalah ayat Alloh SWT, semuanya menujukkan sifat absolutisme qudroh-nya Alloh SWT. Cukuplah kita meningkatkan iman kita kepada Alloh SWT dengan mengamati semua ciptaanNya. Janganlah pernah kita kembali menjadi seperti kaum sebelum diturunkannya Al-Qur’an, Naudzubiilah Min Dzalik. Sebaliknya, kita patut bersyukur menjadi ummat Nabi Muhammad SAW yang bergelar Afdholul Ambiya’, Syaiyidul Awwalin Wal Akhir, karena beliau membimbing kita semua hingga akhir zaman dengan Al-Qur’an menjadi iman kepada Alloh SWT dengan cara yang paling sederhana, menggunakan sarana semua ciptaan Alloh SWT untuk menuju iqror terhadap qudroh-nya Alloh SWT.

*Penulis adalah Dosen FKIP Universitas Islam Malang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry