SURABAYA | duta.co – Sedikitnya 36 elemen buruh dan mahasiswa Jawa Timur, tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jatim, Senin (13/7/2020) turun ke jalan. Mereka menolak RUU Omnibus Law yang disebut sebagai ‘pengundang bencana’. RUU ini hanya memperhatikan kepentingan oligarki, sekaligus menginjak rakyat kecil.

“Hari ini, kita semua susah. Pandemi Covid-19 telah membawa beberapa perubahan besar, terutama rakyat terkena PHK, dirumahkan tanpa ada kejelasan upah, TIIR tidak dibayarkan, bahkan pemutusan BPJS sepihak oleh perusahaan dengan dalih perusahaan terdampak Covid-19,” demikian disampaikan Jazuli, dari KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Jawa Timur saat turun di depan Gedung Grahadi, Surabaya.

Menurut Jazuli, semakin lama pandemi, semakin kompleks masalah yang dihadapi rakyat. “Salah satunya adalah hak mendapatkan akses kesehatan bagi masyarakat yang terpapar. Hari ini, masyarakat terdampak harus membayar aneka tes, salah satunya rapid test. Ini menjadi beban bagi rakyat saat pandemi,” jelasnya dalam rilis bersama 36 elemen buruh dan mahasiswa.

Dalam kondisi serba terbatas ini, maka, peran pemerintah dan DPR mestinya mengawasi dan mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat. Namun semua itu diabaikan, termasuk oleh DPR RI yang fungsinya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. “DPR RI hari ini telah berubah menjadi Dewan Perwakilan Oligarki, lebih mengutamakan kepentingan segelintir pemodal yang rakus,” tegasnya.

Kerakusan itu, dapat dilihat dari sepak terjang yang lebih mengutamakan pemodal, sehingga sibuk membahas dan mengesahkan RUU yang tidak ada hubungannya dengan pandemi Covid-19, apalagi soal keselamatan dan kesejahteraan rakyat kecil.

“Meski mendapat penolakan dari berbagai elemen rakyat, DPR RI dan pemerintah seakan tutup mata dan telinga, mereka tetap saja melenggang menggelar rapat pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-i9. Ini menyakitkan rakyat kecil,” urainya.

Dalam pandangan buruh, Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU CIKER), adalah alat pernerintah mendapatkan investasi dari pemodal rakus (kapitalisnre global/investasi asing). Ini persis dengan cara kolonial Hindia Belanda. Omnibus Law akan mengulangi watak kolonial, di mana tanpa belas kasihan, mereka mengeruk keuntungan, tidak peduli dengan memeras tenaga kerja, tega memberikan upah murah.

“Tak hanya itu, Omnibus Law juga akan mengembalikan politik agrafia nasional ke zaman kolonial dengan semangat mempermudah pembukaan lahan yang sebesar-besarnya demi kepentingan pemodal, dengan begitu reforma agraria hanya jadi pajangan,” tegasnya.

Ada dua catatan serius kaum buruh terhadap RUU Ciker ini. Pertama, terdapat upaya mereduksi norma pertanggungjawaban hukum korporasi dalam RUU Cipta Kerja. Dihapusnya unsur tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan, ini dikhawatirkan mengaburkan pengoperasian ketentuan tersebut.

Belum lagi pada ketentuan Pasal 49, tidak ada kewajiban tanggung jawab korporasi terhadap kebakaran di areal konsesi. Pada RUU Cikar sendiri diubah hanya sekadar bertanggungjawaban untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran. Secara umum, seluruh kewenangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Kedua, tidak masuk akal, ini terkait adanya ruang partisipasi publik yang dihapus. Partisipasi publik melalui jatur peradilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 UU PPLH 3212009 untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan atau izin usaha melalui Peradilan Administrasi (PTLIN) yang diterbitkan oleh pemerintah juga dihapus.

“Jika RUU ini disahkan, akan banyak ruang hidup rakyat yang dirampas. Belum ada RUU Cikar saja sepanjang kawasan pesisir Selatan Jawa sudah diobral, padahal wilayah itu merupakan kawasan esensial dan sebagai wilayah yang rentan dilanda bencana,” tegas mereka.

Karenanya, elemen buruh dan mahasiswa ini menolak semua kluster Omnibus Law yang merugikan rakyat dan menuntut DPR RI menghentikan pembahasannya. Menuntut tanggung jawab negara atas PHK yang terjadi selama masa pandemi. Menuntut tanggung jawab negara atas banyaknya buruh yang dirumahkan dan tidak mendapatkan gaji,. tidak mendapat THR serta pemutusan BPJS ketenagakerjaan sepihak

“Gratiskan aneka test Covid-19. Penuhi hak-hak tenaga kesehatan upah dan tunjangan sesuai ketentuan Undang-undang. Wujudkan sistem kesehatan nasional yang berbasis rakyat, gratis dan bermutu. Wujudkan pendidikan bervisi kerakyatan, ilmiah, demokratis dan gratis. Batalkan UU Minerba yang akan menghancurkan kehidupan rakyat serta wujudkan Reformasi Agraria, tuntaskan konfliknya,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry