Keterangan foto pks.id

JAKARTA | duta.co – Kabar Pemerintah akan menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan pertalite tahun 2022 sudah terdengar kalangan bawah. Dalih pemerintah, pertalite dan premium disebut tidak ramah lingkungan.

Ketua Majelis Syura PKS Dr Habib Salim Segaf Al-Jufri menyayangkan, pemerintah melakukan pendekatan bisnis ke rakyat dalam sebuah kebijakan. Alih-alih menggunakan relasi rakyat dan pemerintah yang melayani, kebijakan itu lebih kental memaksa rakyat menjadi konsumen dan pemerintah sebagai juragan.

“BBM itu kebutuhan dasar energi seluruh rakyat. Kebutuhan dasar mestinya memakai logika konstitusi, bukan logika bisnis. Pemerintah sebagai juragan ingin mendapatkan keuntungan lebih demi menutupi ketidakmampuan mengelola keuangan negara dan itu dari memaksa rakyat membeli barang dagangannya yang lebih mahal dengan menghapus premium dan pertalite,” ujar Habib Salim Segaf dalam keterangannya, Rabu (29/12/21).

Ia mengungkapkan, memaksa rakyat membeli BBM lebih mahal pada saat proses bangkit dari kesulitan Pandemi adalah tindakan tidak berempati. Ia  juga menyebut jelang pergantian tahun, banyak kebutuhan pokok terkerek naik tak karuan.

Impor Tumbuh Pesat

“Bahan pokok seperti telur, cabai, minyak goreng yang jadi kebutuhan pokok melonjak naik. Kini BBM subsidi akan hilang dan masyarakat terpaksa membeli BBM yang lebih mahal. Rakyat ini sudah susah saat pandemi, mau bangkit perlahan, tapi diberi beban berat. Di mana hati nurani pemerintah,” ujar Habib Salim.

Menurutnya, daya beli masyarakat harus kita jaga dengan tidak menambah beban baru pengeluaran rumah tangga dengan memaksa publik hanya membeli BBM jenis Pertamax yang harganya jauh lebih mahal.

“Pemerintah memakai formulasi UU Cipta Kerja pada penetapan UMP yang berimbas pada kenaikan tak lebih dari 1 persen dengan dalih menyesuaikan pertumbuhan ekonomi yang masih sulit. Tapi logika terbalik memaksa pengeluaran rumah tangga lebih tergerus dengan menghapus premium dan pertalite dengan dalih lingkungan. Rakyat bisa melihat pemerintah kita menjadikan masyarakat sebagai sapi perah menutup defisit neraca keuangan negara,” tuturnya.

Habib Salim juga mencium aroma bisnis pada saat impor BBM justru naik pesat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor minyak dan gas bumi (migas) pada Maret 2021 melonjak 74,74%, menjadi  2,28 miliar dollar AS dari  1,30 miliar dollar AS pada Februari 2021.

“Impor tumbuh pesat pada saat yang sama memaksa publik membeli BBM nonsubsidi demi keuntungan yang lebih besar,” punkas Habib Salim. (net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry