Direktur LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah, SH, MH

SURABAYA | duta.co – Keputusan Presiden Jokowi, menerapkan pembatasan sosial dalam skala besar dengan disertai dengan pemberian sanksi bagi yang melanggar, untuk menghadapi ganasnya penyebaran Covid-19, dinilai kelewat batas.

Keputusan pemerintah ini mendapat kritik keras dari sejumlah praktisi hukum, termasuk Lembaha Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Pemerintah diminta berhati-hati dalam menggunakan dasar hukum yang digunakan untuk meminimalisir bias tafsir dan penggunaan kewenangan yang lebih tepat sasaran.

“Merujuk kepada regulasi yang tersedia, sudah seharusnya pemerintah mengacu pada UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tidak ada alasan menerapkan keadaan darurat militer dan atau darurat sipil,” demikian disampaikan Direktur LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah, SH, MH kepada duta.co, Senin  (30/3/2020) .

Menurut Wachid, COVID-19 itu adalah bencana penyakit. Ini bukan darurat perang. Maka, penerapan pembatasan sosial meluas harus merujuk pada karantina kesehatan, ini perlu dilakukan guna menghindari sekuritisasi problem kesehatan yang tidak perlu.

“Mengingat pembatasan sosial akan disertai sanksi, ini justru bisa membuat kondisi semakin tidak menentu. Seharusnya pemerintah berpijak pada UU Karantina kesehatan. Titik. Pemerintah belum saatnya menerapkan keadaan darurat militer dan darurat sipil,” jelasnya.

Seperti diberitakan, menghadapi semakin ganasnya Covid-19 Presiden Jokowi memberlakukan kebijakan pembatasan sosial skala besar. Artinya ada pendisiplinan penerapan penjarakan fisik demi mencegah penularan Covid-19 di Indonesia. Presiden juga akan menetapkan status darurat sipil sebagai landasan pemberlakuan dua kebijakan tersebut.

Darurat sipil itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) nomor 23 tahun 1959 (zaman Bung Karno) tentang Keadaan Bahaya. Dalam pasal 3 beleid tersebut disebutkan bahwa keadaan darurat sipil tetap ditangani oleh pejabat sipil yang ditetapkan presiden, dengan dibantu oleh TNI/Polri.

“Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” kata Jokowi dalam rapat terbatas, Senin (30/3/2020) dikutip republika.co.id.

Libatkan Polisi dan TNI

Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menegaskan, penerapan darurat sipil untuk mencegah penyebaran virus corona Covid-19 masih dalam tahap pertimbangan dan belum diputuskan.

Penerapan darurat sipil adalah langkah terakhir yang baru akan digunakan jika penyebaran virus corona Covid-19 semakin masif. “Penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus Covid-19,” kata Fadjroel dalam keterangan tertulisnya.

Fadjroel mengatakan, saat ini pemerintah masih terus mengupayakan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan physical distancing (menjaga jarak aman).

Menurut dia, Presiden Jokowi telah menginstruksikan kebijakan ini dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif agar memutus mata rantai persebaran virus korona atau Covid-19.

“Dalam menjalankan Pembatasan Sosial Berskala Besar, pemerintah akan mengedepankan pendekatan persuasif melalui kolaborasi Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19, Kementerian Perhubungan, Polri/TNI, Pemda dan K/L terkait,” tulisnya. (mky,net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry