Oleh Bambang Ariyanto, S.H, M.H

 Brazil merupakan salah satu contoh negara bagaimana Presiden yang berkuasa ingin menunjukkan kekuasaanya tanpa berkolaborasi dengan legislatif. Dalam catatan sejarah, Presiden ke-32 Brazil Fernando Affonso Collor De Mello merupakan presiden yang mengeluarkan 36 Perppu pada 15 hari pertama menjabat.

DALAM sejarah pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), selalu menimbulkan polemik. Perdebatan selalu muncul berkaitan apakah Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden sudah memenuhi syarat-syarat sebagai kegentingan memaksa, sebagaimana diatur di Pasal 22 UUD 1945. Kritik mengenai pembentukan Perppu lalu berlanjut pada subtansi materi Perppu.

Hal inilah yang terjadi ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Syarat Perppu

Pasal 1 angka 4 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam halihwal kegentingan memaksa. Pasal 22 UUD 1945 memang tidak menjelaskan secara detail apa itu kegentingan yang memaksa. Penjelasan ini justru tertuang dalam Putusan MK No 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005. MK berpendapat bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa itu tidak harus disamakan dengan keadaaan bahaya seperti darurat sipil, darurat militer, atau keadaan perang. Perihal kegentingan yang memaksa itu merupakan hak subyektif Presiden untuk menentukannya. Sedangkan untuk penilaian obyektifnya dilakukan oleh DPR melalui persetujuannya untuk ditetapkan menjadi  UU.

Meski begitu MK juga memberikan pertimbangan lagi mengenai kegentingan yang memaksa pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Dalam putusannya, MK menyatakan ada tiga syarat parameter “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden, antara lain : (a) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikanmasalahhukumsecaracepatberdasarkanundang-undang.; (b) Undang-undang yang dibutuhkantersebutbelumadasehinggaterjadikekosonganhukum, atauadaundang-undangtetapitidakmemadai; (c) Kekosonganhukumtersebuttidakdapatdiatasidengancaramembuatundang-undangsecaraprosedurbiasakarenaakanmemerlukanwaktu yang cukup lama sedangkankeadaan yang mendesaktersebutperlukepastianuntukdiselesaikan.

Ketiga parameter ini secara umum sudah memberikan gambaran mengenai syarat-syarat penerbitan Perppu. Meski begitu, syarat ini masih mengundang tafsir yang cukup luas bagi siapapun. Apalagi DPR sebagai pihak yang memberikan persetujuan hanya pada posisi menyetujui atau tidak menyetujui Perppu. DPR tidak bisa melakukan perubahan terhadap materi Perppu (Pasal 53 ayat (3) UU 12/2011). Wajar bila akhirnya kekhawatiran atas materi muatan Perppu yang tidak sesuai prinsip-prinsip negara hukum mengundang kritik yang cukup luas.

Pelajaran dari Sejumlah Negara

Persoalan mengenai penerbitan Perppu sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara lain, kemunculan Perppu selalu menimbulkan hal-hal yang kontroversial. Brazil, Argentina, Venezuela, Peru merupakan beberapa negara yang mengalami lonjakan Perppu di era tahun 90-an.

Penelitian yang dilakukan oleh Pereira, Powers, & Renno di Brazil mengungkapkan bahwa selama periode 1988-1998 penerbitan Perppu oleh 5 (lima) Presiden Brazil berjumlah 3415 Perppu. Hal yang sama juga di Peru di bawah pemerintahan Presiden Fernando Belaunde dan Alberto Fujimori yang menerbitkan 1242 Perppu. 667 Perppu dikeluarkan di era Belaunde pada tahun 1980-1985, sedangkan Fujimori 575 Perppu selama berkuasa tahun 1990-1992 (Fitra Arsil, 2018:7).

Brazil merupakan salah satu contoh negara bagaimana Presiden yang berkuasa ingin menunjukkan kekuasaanya tanpa berkolaborasi dengan legislatif. Dalam catatan sejarah, Presiden ke-32 Brazil Fernando Affonso Collor De Mello merupakan presiden yang mengeluarkan 36 Perppu pada 15 hari pertama menjabat. Jumlah ini terus bertambah hingga 160 lebih hingga di tahun kedua kekuasaanya. Hal yang sama juga diterapkan oleh Presiden Lula. Meski mendominasi parlemen, tahun 2002 Presiden Lula mengeluarkan 82 Perppu, 58 pada tahun 2003, dan 73 di tahun 2004. Arberry menyatakan bahwa fenomena di Brazil ini menunjukkan Perppu merupakan tindakan rutin pemerintah dalam pembentukan kebijakan yang sudah membudaya sejak waktu yang cukup panjang (Fitra Arsil, 2018:8).

Landasan kedua presiden itu menggunakan Perppu untuk menjalankan pemerintahannya mengacu pada Article 2 Konstitusi Brazil 1988 yang menyatakan bahwa Presiden Brazil memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan yang proaktif dalam perundang-undangan yaitu menerbitkan Perppu (presidential legislative decree). Untuk itu, langkah memperbaiki pola ini adalah dengan melakukan pembatasan materi muatan Perppu. Caranya dengan amandemen konstitusi.

Hasil amandemen Brazil ke-32 tahun 2001 memberikan pembatasan dari segi formil maupun secara materiil mengenai materi apa yang perlu diatur dalam Perppu. Mengapa  materi muatannya tidak disamakan dengan UU?  Para pembentuk konstitusi di Brazil menyatakan meski kedudukan Perppu itu sejajar dengan UU, namun karena pembentukannya tidak melalui proses legislasi, maka tidak semua urusan dapat diatur melalui Perppu. Untuk itulah, ada ruang lingkup yang tidak boleh diatur di dalam Perppu. Antara lain persoalan mengenai kewarganegaraan, hak-hak politik, parpol, hukum, pemilu, hukum pidana, hukum acara pidana, hukum acara perdata, lembaga kekuasaan kehakiman, lembaga kejaksaan, anggaran, betujuan untuk penahanan, penyitaan, tabungan rakyat atau materi-materi yang telah diatur dalam RUU yang sudah disetujui oleh Kongres.

Pembatasan Muatan

Dari pelajaran pembentukan Perppu di atas, bisa menjadi bahan refleksi bagi penerbitan Perppu di Indonesia. Apabila syarat-syarat umum mengenai kegentingan memaksa itu sudah dielaborasikan melalui putusan MK, maka pembatasan materi muatan Perppu perlu diatur secara detail. Caranya dengan melakukan amandemen konstitusi pada Pasal 22 UUD 1945 dan memberikan rincian atas materi muatan Perppu. Hal ini dilakukan agar penerbitan Perppu ke depannya mempunyai batas-batas ukuran yang pasti, baik dari aspek pembentukan maupun muatan Perppu.

 *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry