Mukhlas Syarkun

SURABAYA | duta.co – Politik, sering membuat orang ‘kalap’. Kehilangan fatsoen. Akhirnya seenaknya membuat stigma buruk kepada lawan politik. Artikel ‘Fenomena Neo Khowarij NU dan Khittoh 1926’ yang ditulis KH Imam Jazuli, Lc, MA dinilai penuh intrik politik.

Mukhlas Syarkun, Pengurus Pusat  GP Ansor tahun 2000-2010, pun menanggapi artikel tersebut. Berikut wawancaranya dengan duta.co, Selasa (1/12/2020), diturunkan model tanya jawab:

Nahdliyin gempar. Di jagat medsos mereka gaduh dengan istilah fenomena neo khowarij NU. Apalagi Komite Khitthah NU (KKNU) menjadi sasaran tembak. Bagaimana Anda melihat tulisan atau pandangan Kiai Jazuli Imam Jazuli itu?

Parajh! Ini sudah kelewatan dan berat sekali. Tidak heran kalau banyak yang keberatan atas stigma yang dibuat al-mukarrom Kiai Imam Jazuli. Narasi yang dibangun, sudah keluar jauh dari pakem, baik dunia kesantrian maupun dunia akademis

Maksudnya?

Begini. Kalau selama ini dia mengaku sebagai orang moderat dan toleran, maka, narasinya pun harus moderat dan toleran. Kalau seorang kiai dan akdemisi, mestinya bobot tulisannya mencerminkan ke-kiai–annya dan keintelektualannya. Ini tidak.

Bisa dijelaskan dari sisi mana keluar pakem?

Dalam bernarasi,  di kalangan santri dan tradisi nahdhiyyin telah diajarkan agar sangat hati-hati dalam pilihan kata, harus dijaga dan di tata, betapa pentingnya bertutur kata sampai-sampai kiai kiai pesantrin itu mengajarkan doa, supaya apa yang dikatakan itu tidak menimbulkan masalah, sebab lidah itu lebih tajam dari pedang dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.

Begitu pentingnya bertutur kata, al-Quran mengajarkan, memberi panduan sangat detail agar bertutur kata itu memenuhi standar qoulan sadida, qoulan baligho, qoulan layyina, qoulan tsaqila dan qaulan mo’rufa, qulu linnasi husna,  dan apa yang disampai al-mukarraom kiai haji Imam Jazuli, itu tidak memenuhi setandart di atas. Bahkan terkesan asing, kalau istilah santri ilmu nahwu kiai Imam Jazuli seperti jumlah mu’taridho .. he he

Bukankah kiai Jazuli mengatakan punya alasan karena kelompok komite khittoh dianggap merasa paling benar sendiri?

Ini fenomena baru seseorang yang menyuarakan kebenaran, lalu dianggap merasa benar sendiri. Padahal itu perintah sabda nabi: Katakan kebenaran meskipun pahit (berisiko). Para dzuriah yang tergabung dalam komite khitthoh (KKNU) yang digagas Gus Solah, itu terpanggil untuk menyuarakan kebenaran,  bahwa konsep khittoh itu memposisikan NU dalam politik kebangsaan keumatan sebagai kekuatan masyarakat sipil, bukan politik kekuasaan untuk merebut kekuasaan. Ini poin penting.

Artinya pelanggaran khittah yang dilakukan oleh lembaga, bukan oknum?

Itulah! Para dzuriyah ini merasa tersentak, prihatin, menangis, ketika Rais Am dan Ketua Umum PBNU kemana mana bicara seakan disosialisasikan secara massif, terstruktur, bahwa saatnya NU menjadi ashabul qoror. Ini bukan hal sepele. Inilah yang melatarbelakngi komite khitthoh dibuat, agar ada ruang dialog dan diskusi memberikan pencerahan pada warga NU bahwa gagasan ashabul qoror (menjadi pemangku kebijakan). Itu tidak betul. Sama saja menyeret NU ke politik praktis. Yang benar, NU itu ashabul haq. Ini Almukarrom Kiai Imam tidak paham.

Mengapa dzuriyah terusik dengan jargon baru (ashabul qoror) PBNU itu?

Karena duzriyah punya beban moral, ikut menjaga NU agar tetap menjadi riasatul ummah, agar tetap menjadi peyangga negara, maka, posisi ashabul haq harus dipertahankan dan Ashabul qoror ditentang atau ditiadakan. Ashabul qoror  itu jelas membawa NU dalam pusaran politik praktis. Dan, faktanya begitu. Apalagi situasi sekarang ini, bukan politik perjuangan, tetapi politik perdagangan. Sekarang wajah NU berubah menjadi wajah politik, ingin berkuasa, bukan lagi membimbing ke siratal mutaqim. Dalam pandangan dzuriuah peran ashabul haq itu posisinya luhur di atas, seperti di atas ‘aresy, tetapi kalau ashabul qoror posisi NU berpeluang jatuh ke asfalasa filin. Lalu, apa kita mau diam, melihat dzurriyah yang sudah prihatin ini. Apalagi menyebutnya Neo Khowarij NU. Kelewatanlah!

Barangkali tidak hanya dia (Kiai Imam) yang berpandangan demikian, maka, pandangan seperti itu pasti punya banyak kemungkinan?

Ya! Bisa jadi. Ada beberapa kemungkinan, memang. Pertama,  mungkin saja al-Mukarrom kiai Imam Jazuli memposisikan, bahwa pemimpin struktur NU itu ma’shum, serba benar, sehingga tidak boleh dikritik. Apalagi gagasannya ditentang, tidak boleh. Harus ditaati. Tetapi dalam pandangan dzuriyah pemimpin setruktur bukanlah ma’shum, bisa saja khilaf. Di sisi lain dia harus menjadi teladan dalam menjalankan ajaran NU, bukan malah membuat helah untuk ngakali ajaran NU demi kepentingan politik sesaat.

Lalu?

Kedua,  dalam tafsir khitthah kelihatannya al-Mukarrom Kiai Imam berpandangan sama dengan Rais Am dan Ketua Umum PBNU, bahwa, khitthah NU itu kondisional (mutaghoyyiroh), sementara dzuriyah yang tergabung dalam KKNU 1926 dengan tegas mengatakan bahwa khitthah itu sesuatu yang tsabit (tetap) istilah fiqih qoth’i dalalah.

Ada perbedaan tafsir?

Bukan sekedar perbedaan tafsir saya kira, tetapi perbedaan kepentingan. Dan lagi, kalau ada perbedaan seperti ini, kiai Imam Jazuli tidak harus menstigma sebagai neo khawarij. Stigma khawarij NU itu mengerikan, gambaran khawarij itu kan brutal dan kejam. Masak para kiai distigma begitu! Mikir dong! Maka, wajar muncul serangan balik dari santri-santri Gus Solah. Kiai Imam disebut membawa NU menjadi sektarian.

Kemungkinan lain?

Ketiga, kemungkinan ada perbedaan beban psikologi antara dzuriah dan Kiai Imam Jazuli, bahwa rata–rata dzuriah mempunyai keinginan NU harus tampil perfect se-ideal mungkin agar tetap berwibawa di depan umat dan berperan besar menjaga megara, maka sangat hati-hati. Tetapi bagi kiai Imam Jazuli, tidak demikian, dia ingin bagaimana NU bisa merebut kekuasan.

Keempat, Kemungkinan al-Mukarrom kiai Imam Jazuli kurang memahami proses lahirnya KKNU 1926 dan kegiatannya. Perlu diketahui sebelum membentuk KKNU 1926 Gus Solah sudah membuat tim untuk meminta pandangan nasihat dari kiai sepuh, seperti Kiai Nawawi Sidogiri, KH Maimun Zubair bahkan Gus Mus juga setuju dan merestui.

Tidak menyampaikan ke PBNU?

Sudah! Gus Solah sendiri menemui KH Miftachul Akhyar. Tetapi, tidak ada titik temu, tentang tafsir khitthah, maka atas dasar itu, akhirnya KKNU 1926 dibentuk dengan kegiatan halaqoh keliling dari pesantren ke pesantren.

Terus terang ini tidak gampang, sebab arus utama di lingkungan NU ketika itu, telah terkooptasi dengan wacana ashabul qoror, sudah  disosialisasikan ke akar rumput NU akan dapat sekian menteri sekian dll.

Jadi?

Seandainya kiai Imam tahu proses itu, maka, gak bakalan membuat stigma Neo Khawarij NU. Karena itu, anggap saja dia la ya’lamun. Tetapi, seandainya tahu, dan diam, maka kiai Imam Jazuli telah menebar fitnah. Berbahaya. Kita berharap kalau gak paham jangan membuat komentar, sebab kata kiai saya: ”Sesuatu yang salah dikemukakan didepan publik jika diterima orang awam akan menyesatkan, tetapi jika di terima orang ngerti akan dicela”.

Bukankah wajar dan benar yang diinginkan Kiai Imam, dengan kekuasaan NU bisa berperan dalam banyak hal?

Jangan lupa sejarah. NU sudah pernah terlibat dalam politik praktis dan, waktu itu memang menjadi keharusan, mengingat ada ancaman besar terhadap eksistensi NKRI dan ideologi Pancasila . Ini menjadi semacam (illat ) dalam kaida fiqih al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa’daman. Tetapi ancaman serius seperti itu menjadi berkurang (wa’adaman) illatnya sudah gak ada, maka pada tahun 70 sudah muncul gagasan agar kembali ke khitthah 1926. Tetapi tidak gampang, a lot, sebab mayoritas tetap ingin agar NU di politik praktis dan, kenyatannya NU terpinggirkan hanya menjadi maf’ul bih bahkan wujudu ka’adamihi (adanya seperti tidak ada) dalam percaturan politik nasional.

Akhirnya tumbuh kesadaran bersama tahun 84 sepakat kembali ke khitthah dan NU posisinya di tengah menjadi penyangga negara dan atas kepemimpinan Gus Dur yang mengusung ide demokrasi dengan gerbong NU, maka Indonesia yang semula dikenal sebagai negara diktator berubah, diapresiasi dunia bahkan menjadi negara mayoritas muslim yang dapat mengamalkan demokrasi, ini berkah NU istiqomah dalam khitthah.

Jadi lebih penting menjaga NKRI ketimbang berebut kursi?

Nah inilah yang kemudian diyakini bahwa khitthah telah terbukti dan teruji membuat NU semakin besar dan berwibawa, tetapi, jika NU dijadikan kendaraan merebut kekuasaan akan menjadi kecil dan dikecilkan masyarakat, apalagi atmosfir politik hari ini adalah politik perdagangan, bukan politik perjuangan.

Harapan Anda?

Oleh karena itu, harus ada pembagian tugas. Biarkan NU bergerak dalam politik kebangsaan dan keummat sebagai inspiratory, sementara politisi NU sebagai operator. Dan biarkan operatornya banyak jangan satu partai saja, maka semua kader NU yang tersebar diberbagai partai, harus dikoordinasikan. Dulu zaman almaghfurlah KH Hasyim Muzadi ada namanya kaukus Senayan (ruang dialog yang difasilitasi majalah risalah NU), wadah konsolidasi kader kader NU diberbagai partai. Saya kira ini perlu dihidupkan kembali sebagai wadah silaturrahim antarpolitisi NU, dengan begitu semakin banyak rejeki dan panjang umur! Jangan dipaksakan satu parpol, apalagi kemudian NU dijadikan Banomnya. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry