Firman Syah Ali

“Politik dinasti di negara demokrasi punya masalah besar di bidang penegakan hukum dan moral-etik. Kalau ditimbang secara arif dan bijaksana,  mudhoratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.”

Oleh : Firman Syah Ali

KEMARIN Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Perjuangan (DPP PDI Perjuangan) Puan Maharani, resmi mengumumkan rekomendasi gelombang II tentang 45 pasang Calon Kepala Daerah-Calon Wakil Kepala Daerah yang akan bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020.

Di antara nama yang diumumkan oleh cucu Presiden Pertama RI itu, adalah putra pertama Presiden RI sebagai Calon Walikota Solo. Putra pertama Presiden RI yang bernama Gibran Rakabuming Raka ini masih berusia 32 tahun, tapi kita tidak ada urusan dengan usia. Karena Sultan Mehmed II Al-Fatih dulu taklukkan Konstantinopel dalam usia 21 tahun, Alexander the Great taklukkan dunia dalam usia 32 tahun, bahkan Sultan Akbar The Great Mughal taklukkan seluruh daratan India dan sebagian Asia selatan dalam usia belasan tahun.

Pengumuman putra pertama Presiden RI oleh cucu Presiden Pertama RI sebagai Calon Walikota Solo tersebut menimbulkan diskusi panjang di media sosial maupun di warung-warung kopi tentang politik dinasti di Indonesia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut definisi dinasti sebagai keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga. Ada terminologi Raja dalam definisi dinasti tersebut, bukan Presiden ataupun Perdana Menteri.

Raja adalah penguasa tertinggi sebuah kerajaan yang biasanya bersifat turun-temurun. Kerajaan adalah bentuk pemerintahan negara kuno yang saat ini sudah tidak disukai dan tidak dikehendaki oleh mayoritas penduduk dunia.

Saat ini hanya tersisa beberapa negara di dunia yang pemerintahannya berbentuk kerajaan, antara lain Arab Saudi, Inggris, Thailand, Spanyol, Belanda, Denmark, Swedia, Luxemburg, Maroko, Jordania, Qatar, Oman, UEA, Kamboja, Brunei, Malaysia, Jepang dan lain-lain.

Selain itu ada juga negara yang bentuk pemerintahannya Republik, sistem pemerintahannya demokrasi, namun prakteknya mirip kerajaan, seperti Suriah dan Korea Utara. Presiden bersifat turun-temurun.

Indonesia sendiri merupakan negara berbentuk kesatuan, dengan pemerintahan berbentuk republik dan bersistem demokrasi, namun masih mengakui keistimewaan pemerintahan kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Republik.

Pemerintah Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat yang tunduk kepada Pemerintah Republik Indonesia dipimpin secara turun-temurun oleh Dinasti Hamengkubuwono. Kenapa hanya Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat yang diistimewakan oleh Republik Indonesia? Padahal masih banyak kerajaan lain di Indonesia yang dinastinya masih terpelihara dengan baik hingga saat ini? Biarlah ilmu sejarah yang menjawabnya.

Mari kita kembali ke laptop. Politik Dinasti adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk membangun Dinasti Politik. Dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dalam hubungan darah.

Tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan sebuah keluarga di suatu negara. Dengan Dinasti politik di sebuah pemerintahan republik, pergantian  kepemimpinan Negara atau daerah mirip pemerintahan kerajaan , diwariskan turun temurun.

Para politisi Indonesia saat ini terlihat berusaha membangun dinasti politiknya masing-masing, tentu saja ada yang berhasil dan ada yang gagal total, bahkan memalukan. Diantara politisi yang terlihat berjuang keras membangun dinasti politik adalah Presiden RI keenam Megawati Sukarnoputeri, Presiden RI ketujuh Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI Joko Widodo,   Gubernur Banten 2007-2013 Ratu Atut Chosiyah, Bupati Kediri 1999-2009 Sutrisno, Bupati Bangkalan 2003-2013 RKH Fuad Amin Imron, Bupati Probolinggo 2003-2013 Hasan Aminuddin dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Contoh berikutnya adalah Dinasti Limpo di Provinsi Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Provinsi Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroeddin di Provinsi Lampung dan lain-lain.

Dalam perspektif legal, politik dinasti dan dinasti politik di Indonesia tidak melanggar hukum. Legalisasi politik dinasti dan dinasti politik digedok oleh Mahkamah Konstitusi RI pada tahun 2015 silam. Legalisasi Politik dinasti dan dinasti politik yang dilakukan oleh MK tersebut mengatasnamakan Hak-hak Azasi Manusia (HAM).

Maka atas nama Hak-hak Azasi Manusia, apa yang dilakukan Presiden RI dan DPP PDI Perjuangan terhadap putra sulung Presiden RI, termasuk pemanggilan Wakil Walikota Solo oleh Presiden RI, itu tidak melanggar hukum.

Bisa Terpeleset

Dalam perspektif penegakan hukum, politik dinasti terbukti semakin menyuburkan tindakan-tindakan melawan hukum terutama kejahatan kategori luar biasa seperti korupsi. Dinasti Politik bisa terpeleset menjadi dinasti korupsi dan menyulitkan langkah-langkah aparat penegak hukum, karena perbuatan korup pemimpin sebelumnya otomatis dilindungi oleh penggantinya yang sekaligus merupakan pewaris dinasti politiknya.

Di antara dinasti politik yang “kepergok” terlibat dalam lingkaran setan korupsi adalah Dinasti Atut Banten, Dinasti Syaukani Kukar, Dinasti Itoc Cimahi, Dinasti Haryanto Klaten dan banyak lagi lainnya.

Pada tanggal 8 Juli 2020 lalu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo mengatakan ada 117 daerah yang berpotensi memiliki kekuatan dinasti politik. Ketua MPR RI khawatir kasus korupsi terus terjadi karena adanya daerah yang melanggengkan politik kekerabatan tersebut.

Maka dari itu, ketua MPR RI meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meningkatkan pengawasan terhadap dinasti politik. Menurutnya, hal itu berkaitan dengan undang-undang terkait penyalahgunaan jabatan.

Namun tanpa diminta oleh ketua MPR RI, sebetulnya sejak tahun 2018 lalu pimpinan KPK sudah mengawasi ketat politik dinasti. Menurut Wakil Ketua KPK saat itu, Basaria Panjaitan, dinasti politik berpotensi tinggi terjadi tindak pidana korupsi di daerah. Hal ini berdasarkan hasil operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK.  “KPK memperhatikan serius terhadap dinasti politik,” kata Basaria saat menyambangi Polres Metro Jakarta Selatan, Jumat, 2 Maret 2018.

Dalam perspektif moral-etik, politik dinasti kurang etis untuk diterapkan di dalam pemerintahan Republik yang bersistem demokrasi. Hal ini berlawanan dengan semangat revolusi pembubaran monarki dan pembentukan republik dalam sejarah dunia, serta semangat pembubaran otokrasi/teokrasi/aristokrasi diganti dengan demokrasi.

Madlaratnya Jauh Lebih Besar

Bisa dikatakan bahwa politik dinasti di era republik demokrasi merupakan tindakan ahistoris. Tentu saja terkecuali pewaris dinasti politik yang diusung memang mempunyai kompetensi, kapasitas, kapabilitas, integritas yang luar biasa sehingga secara alamiah memang dibutuhkan oleh penduduk sebuah negara/daerah. Tapi kalau naiknya seorang pewaris dinasti politik hanya berdasarkan power dan uang milik ayah/suami/pamannya, maka itu sangat tidak etis dan melukai hati nurani publik.

Dalam buku Etika Politik, Franz Magnis Suseno menulis bahwa seorang pemimpin mutlak dituntut punya pemahaman yang sahih tentang etika politik. Bahwa politik bukanlah alat meraih kekuasaan semata. Lebih dari itu, politik adalah alat untuk mewujudkan tata kehidupan yang adil, damai dan sejahtera. Politik yang dipahami sebagai alat untuk meraih kekuasaan niscaya terjebak dalam kompetisi meraih dan mempertahankan jabatan, dengan menghalalkan segala cara.

Dalam praktiknya, politik yang seperti itu dapat dipastikan abai pada norma dan etika politik. Maka menjadi wajar manakala politik praktis identik dengan konspirasi, intrik, konflik bahkan perilaku-perilaku koruptif. Banyaknya kepala daerah yang membangun Politik Dinasti dan kemudian terjerat kasus korupsi adalah contoh nyata bagaimana politik dinasti lekat dengan penyelewengan kekuasaan.

Jadi politik dinasti di negara berpemerintahan republik dan bersistem pemerintahan demokrasi punya masalah besar di bidang penegakan hukum dan moral-etik. Kalau ditimbang-timbang secara arif dan bijaksana,  mudhoratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Tapi apalah daya kita ketika politik dinasti dan dinasti politik di Indonesia secara resmi tidak melanggar hukum. Upaya yang dapat kita lakukan hanyalah upaya politik. Partai-partai politik harus ditekan terus oleh massanya untuk tidak menumbuhsuburkan politik dinasti politik di Indonesia.

Ketika saluran hukum macet, masih tersedia saluran politik. Mari terus berjuang menuju hari depan Indonesia yang lebih baik. (*)

Firman Syah Ali adalah Pengurus Wilayah NU dan IKA PMII Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry