“Ketika harga-harga barang dan jasa bergerak liar tidak bisa dikendalikan, Jokowi pun marah-marah dalam rapat kabinet.”

Oleh : Zulkifli S Ekomei

BELUM ADA survey, memang! Mungkin bila ditulis soal sejarah pencitraan di Indonesia, khususnya sejak model pemilihan presiden (pilpres) berubah menjadi one man one vote (sebagai produk langsung UUD’45 Palsu), kemungkinan juaranya adalah “Tim”-nya Jokowi.

Mereka bisa disebut ahlinya ahli. Tim tersebut hingga kini tetap solid. Bahkan terus mengawal Jokowi selama menjabat presiden. Ini terlihat dari pola pencitraan yang nyaris tidak berubah.

Jangan heran, ketika ia melakukan kunjungan ke daerah lalu melempar-lempar bingkisan, atau menyapa warga, selalu menebar bingkisan (materi) kepada rakyat. Banyak yang memyebut ini modus sinterklas.

Hal yang fenomenal adalah, jangankan kunjungan ke daerah, sedang kegagalan kebijakan saja bisa diubahnya menjadi ajang pencitraan. Luar biasa.

Sekali lagi, Tim Jokowi ahlinya ahli dalam hal membentuk opini “Core of the core”. Ini kerap dilakukan tatkala ia memarahi para menterinya pada sidang kabinet. Videonya beredar kemana-mana.

Narasi dan “framing” yang ingin dirajut, seolah-olah ia sudah bekerja, tetapi para menteri gagal mewujudkan visi. Para pembantunya tak memiliki etos kerja sehingga tidak mampu memenuhi harapan publik. “Bodoh!”, begitu ucap Jokowi dengan ekspresi marah.

Dengan demikian, beredarnya video saat sidang kabinet bukanlah bocor, mungkin sengaja dibocorkan demi membalik persepsi publik ketika ia gagal dalam sebuah kebijakan. Canggih. Muncul anekdot di masyarakat, “Lihat tuch! Jokowi sudah memarahi Presiden dan para menterinya gegara gagal mengerjakan kebijakan”.

Di era kini, pencitraan itu identik dengan sihir. Poin ini perlu digarisbawahi. “Pencitraan itu identik sihir”. Sebab, modusnya nyaris sama yakni memanipulasi pikiran ataupun membalik persepsi publik. Membelokkan pandangan mata.

Dalam ilmu sihir alias pencitraan, apa yang terlihat di atas permukaan bukanlah hal sebenarnya. Ia hanya realitas palsu dengan mengubah opini publik sesuai keinginan penyihir.

Tetapi, secara profesional harus diakui bahwa level “marketing” pada Tim Jokowi tergolong jago.

Sekali lagi, marketingnya cermat mengelola produk. Pintar memilah bahan (momen) yang mau diolah, kemudian lihai mengemas “event” yang hendak dijual alias ditayangkan ke publik. Dan sebagian warga pun ‘melahab’ tanpa selidik. Lalu, muncul puja-puji, Keren.

Meskipun terkadang lebay —-out of control— misalnya, pose Jokowi jongkok di rel kereta api, atau foto memandang ke laut lepas, ataupun tatkala ia duduk bersarung di hutan IKN dst. Hingga kini tak jelas, maksud pesannya apa.

Teori “marketing”nya gamblang: “Jika pasar tidak dapat dikuasai maka pengaruhi pikiran publik. Kendalikan alam bawah sadar warga, lalu balikkan persepsinya”. Itulah dunia periklanan, lebih maju lagi disebut “marketing communication”.

Ketika harga-harga barang dan jasa bergerak liar tidak bisa dikendalikan, Jokowi pun marah-marah dalam rapat kabinet. Dalam “mindset publik” pun terbentuk terutama masyarakat yang tersihir, “Kapok! Bapak sudah memarahi para pembantunya”. Lalu dianggap “clear”. Tetapi, bukankah harga-harga barang dan jasa tidak kunjung turun?

Jujur. Sebagian warga kini seperti hidup di era “simulakra”. Apa itu “simulakra”? Menurut Baudrillard, “simulakra” ialah era dimana batas antara realitas dan citra telah melebur. Bahkan citra sudah berubah menjadi realitas itu sendiri.

Baudrillard menyebut “hyperreality” alias realitas semu. Pilihan hidup orang sangat dipengaruhi oleh realitas semu yang diciptakan oleh para agen periklanan, manajer kampanye politik, desainer dst.

Inilah yang sekarang tengah berlangsung, kita  laksana berada dalam pandemi kebodohan! (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry