Oknum Pendeta Abraham Ben Moses alias Saifuddin Ibrahim. (FT/hops.id)

JAKARTA | duta.co – Bukan yang pertama. Oknum Pendeta Abraham Ben Moses alias Saifuddin Ibrahim, sudah pernah bikin kontroversi, dan harus masuk penjara. Pengadilan Negeri (PN) Tangerang menjatuhi hukuman 4 tahun penjara, setelah lelaki kelahiran Bima, 26 Oktober 1965 itu tertangkap Dittipidsiber Bareskrim Polri, Desember 2017,  karena ujaran kebencian (hate speech) terhadap suatu agama di akun facebooknya.

Kali ini, lebih berbahaya, dalam videonya, Saifuddin meminta agar 300 ayat dalam Alquran dihapus karena menjadi sumber terorisme dan radikalisme. Bahkan lelaki yang pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta, jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin ini, meminta Menteri Agama mengatur kembali kurikulum pondok pesantren (ponpes).

“Karena sumber kekacauan itu adalah dari kurikulum yang tidak benar bahkan kurikulum-kurikulum di pesantren, Pak. Jangan takut untuk dirombak. Bapak periksa, ganti guru-gurunya, yang karena pesantren itu melahirkan kaum radikal semua,” kata pria tersebut dalam video.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Dr H M Hidayat Nur Wahid, MA menyesalkan berlanjutnya narasi intoleran, merusak harmoni, sebagaimana ujaran Saifuddin. “Tindakan Saifuddin jelas-jelas tidak mencerminkan semangat moderasi dan harmoni serta toleransi di kalangan umat beragama Indonesia. Ini potensial menimbulkan kegaduhan dan kemarahan umat. Sepantasnya bila penegak hukum segera bertindak cepat menangani delik penistaan agama Islam ini,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta.

HNW, sapaan akrabnya, mengatakan, bahwa, pernyataan Saifuddin jelas-jelas tidak benar, fitnah, tendensius dan meresahkan umat Islam. Menurutnya ajaran-ajaran Islam memang ada yang bersikat lembut dan juga tegas, terutama terhadap kebathilan.

Dr H Hidayat Nur Wahid. (FT.IST)

“Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ayat-ayat Alquran yang tegas tersebut dijadikan sebagai dasar bagi ulama dan umat untuk bergerak melawan penjajah Belanda. Itulah yang dilakukan pesantren dengan para kiai, ulama dan penceramahnya. Dengan  ayat-ayat Alquran itu mereka membela Bangsa dan Negara melawan para penjajah maupun kelompok komunis yang dua kali melakukan kudeta. Selain kasih sayang, rahmatan lil alamin, Alquran juga mengajarkan sikap tegas melawan kedzaliman seperti penjajahan, kejahatan, pelanggaran hukum dan otoritarianisme,” jelas Anggota DPR RI Komisi VIII yang salah satunya membidangi urusan keagamaan ini.

Lebih lanjut, HNW mengatakan hukuman yang tegas perlu diberikan kepada Saifuddin yang ternyata juga merupakan residivis penista agama. “Apalagi dia sudah pernah penjara. Saifuddin tidak bertaubat, tetapi malah mengulangi lagi kejahatan yang dilakukan, dan lebih parah. Jadi, sangat layak dalam rangka keadilan hukum dan pemberantasan radikalisme apabila aparat penegak hukum  menjatuhkan hukuman yang lebih berat, kepada pihak yang mengulangi kejahatannya,” tukasnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga meminta agar masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia, tidak terprovokasi menghadapi hal tersebut. Tetapi pihak penegak hukum harus betul-betul menegakkan hukum yang tegas dan keras, agar masalah ini tidak menjadi trend yang bisa menumbuhsuburkan radikalisme dan merusak harmoni antara umat beragama.

HNW juga mengingatkan Kemenag dan BNPT untuk berkolaborasi mengatasi masalah oknum penceramah agama ini. Karena Saifuddin sesudah meninggalkan Agama Islam, mengaku jadi pendeta dan melakukan ceramah Agama yang bermasalah.

“Maka apabila Kemenag membuat program sertifikasi ulama dan penceramah agama, hendaknya juga diberlakukan untuk seluruh agama yang diakui di Indonesia. Begitu juga ketika mencanangkan tahun 2022 sebagai tahun moderasi beragama, maka yang dilakukan oleh Penceramah Saifuddin itu jelas tidak masuk kategori moderasi, justru bisa masuk kategori radikalisme dan intoleran,” urainya.

“Dan kriteria penceramah radikal yang disebutkan BNPT, penting segera direvisi. Karena 5 kriteria yang membikin gaduh dan ditolak MUI dan Muhammadiyah dll, dinilai tidak adil dan hanya menyasar penceramah muslim. Padahal banyak kasus, menjadi contoh nyata bahwa penceramah agama apa pun bisa berlaku radikal, menyebarkan permusuhan, intoleran, dan membuat disharmoni. Ini harus menjadi perhatian serius BNPT juga,” pungkasnya.

Sementara, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pernyataan pendeta Saifuddin Ibrahim membuat gaduh. Mahfud meminta polisi untuk menyelidiki kasus pendeta ini. “Waduh (pernyataan Saifuddin) itu bikin gaduh, bikin banyak orang marah. Oleh sebab itu, saya minta kepolisian segera menyelidiki itu,” ujar Mahfud di Jakarta, Rabu (16/3/2022) sebagaimana warta inews.id.

Mahfud meminta polisi juga menutup akun YouTube pribadi dari Saifuddin. Akun tersebut dijadikan alat untuk menyebarkan konten-konten bernada SARA dan provokatif.  “Kalau bisa segera ditutup akunnya. Karena kabarnya belum ditutup sampai sekarang. Jadi itu meresahkan dan provokasi untuk mengadu domba umat,” katanya. (net,inews.id)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry