Prof Dr Rochmat Wahab saat memberi paparan terkait problema yang dihadapi NU. (FT/HERU)

SITUBONDO | duta.co – Prof Dr H Rochmat Wahab, MPd, MA, memberikan ‘catatan tebal’ tentang nafsu politik pengurus NU yang masih menggelora. Padahal, menurut guru besar ilmu pendidikan anak Universitas Negeri Yogyakarta ini, langkah itu hanya akan merugikan NU, sekaligus nahdliyin sebagai jamaah.

“Saatnya dihentikan. Awalnya, NU mewarnai partai politik, sekarang sebaliknya. NU diwarnai dan disetir partai. Muncul kesan, NU bergerak seperti partai. Dimulai dengan remang-remang, akhirnya terang-terangan,” demikian disampaikan Prof Rochmat dalam acara Silaturrahim Dzurriyah, Habaib dan para Kiai NU yang digelar Komkite Khitthah 1926 Nahdlatul Ulama (KK-26-NU) di PP Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Kamis (21/11/2019).

Jika ini dibiarkan, tegasnya, maka, NU yang dirikan sebagai jamiyyah Islamiyah berpaham Ahlussunnah Waljamaah, bisa bergeser. Bahwa, NU pernah menjadi partai politik, itu bagian dari masa lalu. Para masyayikh sudah mengingatkan, itu tidak menguntungkan bagi NU.

“NU sebagai partai, baik bernama NU, maupun berfusi dengan PPP, hasilnya institusi NU dipinggirkan. Semakin tidak menguntungkan NU. Ini mendorong sejumlah kiai khos selamatkan NU dengan spirit kembali ke Khiththah pada Muktamar ke 28 di Situbondo, 1984. Politik terbukti membuat NU lupa tugas-tugas utamanya. Akhirnya sibuk mengkapitalisasi warga NU, ujungnya ingin menguasai umat, bukan melayani umat,” tegasnya.

Masih menurut Prof Rochmat, NU sejak 1984 berusaha mengimplementasikan khitthah dengan memisahkan urusan Jamiyyah dengan urusan politik. Dalam konteks politik, politik NU tidak lagi politik praktis, dukung mendukung parpol, melainkan politik kebangsaan. NU ada di mana-mana, tapi NU tidak kemana-mana.

“Untuk meyakinkan NU kembali ke Khittah, maka, misi utama sebagai jamiyah adalah fokus pada pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik kebangsaan, keummatan, dan kerakyatan serta politik yang beretika. Dan ketika NU kembali ke Khiththah, fokus utama akan bergeliat, baik yang melalui banom maupun Lajnah  dengan bidang pengkaderan, pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial-budaya, dan informatika,” urainya.

Hadapi Jahilyah Modern

Prof Rochmat kemudian merujuk hiruk politik akhir-akhir ini. Di mana posisi warga NU yang menggambarkan kondisi berbeda dengan strukturalnya. Bahwa NU yang diklaim sebagai pendukung utama, ternyata dalam Pilgub di Jatim, Jateng dan Jabar hasilnya berbeda.

“Ini menunjukkan bahwa warga NU tidak bisa dipolitisasi dengan mudah. Kondisi ini akhirnya membuat NU terseret masuk ke lingkaran politik praktis. Padahal NU harus mengambil jarak yang sama dengan semua partai,” terangnya.

Selain itu, Prof Rochmat juga mengkritisi kebijakan ashabul qoror, meninggalkan ashabul haq. Dengan kebijakan ashabul qoror, sama artinya membawa NU pada ranah politik praktis, politik merebut jabatan. Ini tidak hanya merugikan institusi NU, tapi juga warga NU.

“Belakangan semakin nampak bahwa politisasi NU semakin masif, bahkan partai politik sebagai bagian koalisisi tak perlu susah-susah mensukseskan agenda kampanyenya, cukup menyerahkan ke NU, baik dari tingkat PB, PW, PC sampai MWC. Kondisi ini memberikan prove (bukti), bahwa politisasi ini sudah nyata, bisa dikatakan terstruktur, sistematis dan massif,” tegasnya.

“Akhirnya, kini, sungguh disayangkan terjadi ekspresi kekecawaan pada pengurus dan warga NU yang di-endorse gagal mendapatkan ‘kursi’. Ini disebabkan oleh prinsip yang digunakan salah, yang mestinya NU bertumpu pada ashhabul haq menjadi Ashhabu Qarar,” jelasnya.

Maka, tegas Prof Rochmat, kebijakan itu harus segera diubah, diselamatkan. Apalagi di era millenial rentan terjadinya ancaman peradaban, NU perlu ambil posisi terdepan. Membangun karakter ummat dan bangsa, sehingga warga nahdliyyin dan ummat Islam umumnya, siap menghadapi JAHILIYAH MODEREN.

“Nah, KK-26-NU ini diharapkan menjadi skoci yang mampu memainkan peran strategis untuk penyelamatan kader-kader NU, yang hari ini terancam ‘karam’ diterjang angin TORNADO  yang dibawa para politisasi NU.”

“KK-26-NU harus bekerja keras mengembalikan organisasi ini ke core business utamanya, pembinaan ummat dengan terus memajukan bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial-kemasyaratan, dan informatika. Dengan begitu warga nahdliyyin akan dapat memainkan peran pentinya dan diharapkan lebih berkualitas serta bermartabat. Semoga!” tegas Prof Rochmat Wahab. (her)