KELIRU BESAR menyebut NU Oposisi, apalagi Koalisi dengan Parpol. Inilah meme dari mereka yang tidak paham NU. (FT/YOUTUBE)

“Cara berpolitik yang melanggar akhlak mulia akan menumbuhkan benih-benih nafsu serakah dan intoleransi, akibatnya akan memberi warna pada semua segi-segi politik yang kotor.”

KH Saifuddin Zuhri.

Oleh: Mokhammad Kaiyis*

ADA diskusi panjang pengurus NU dan warganya di media sosial (medsos) tentang sikap kritis PBNU kepada pemerintah, belakangan ini. Namanya diskusi medsos, jelas, tidak beraturan. Semua bebas berbicara, bebas bernarasi, bebas berkesimpulan.

Salah seorang pengurus NU membuat kesimpulan menarik. Katanya: NU SEKARANG SUDAH KUAT MENJADI OPOSISI, SEPERTI ZAMAN GUS DUR DULU. Oh iya? Kesimpulan yang cukup mengejutkan.

Setidaknya ada dua penekanan dalam kalimat ini. Pertama, NU sudah kuat menjadi oposisi. Kedua, kondisi NU sekarang, sama, seperti zaman Gus Dur dulu.

Kesimpulan serupa bisa dibaca dari screenshot (facebook) di grup lain, masih di medsos nahdliyin. Bahwa, rapat perdana Munas-Konbes NU 2020 yang akan berlangsung 18-19 Maret di PP Al Anwar Sarang, Jawa Tengah, mengambil dua keputusan serius.

Pertama, tidak menyebar proposal, baik kepada instansi pemerintah, BUMN , maupun kalangan swasta. Kedua, tidak akan mengundang pejabat pemerintah pusat maupun daerah. Kalau ada orang NU yang jadi pejabat pemerintah (seperti KH Ma’ruf Amin), misalnya, hadir dalam acara tersebut, maka, bukan dalam kedudukan sebagai pejabat, melainkan sebagai orang NU.

Screenshot ini semakin menguatkan kesimpulan pertama, bahwa, NU SEKARANG SUDAH KUAT MENJADI OPOSISI, SEPERTI ZAMAN GUS DUR DULU. Apalagi di akhir kalimat, tertulis jelas, bahwa, sikap tersebut diterapkan pada Munas dan Konbes NU 1997 di PP Qomarul Huda, Bagu, Lombok Tengah, NTB. Dan, kini, NU akan melakukan hal yang sama.

Screenshot (facebook) ini juga beredar di medsos warga NU. (FT/IST)

Ada dramatisasi (narasi) yang membahayakan. Apa itu? Masih dalam isi screenshot tersebut, ditulis, bahwa,  pada saat itu Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Presiden RI, Soeharto (kemungkinan dimaksud, hubungan Gus Dur dengan Pak Harto memburuk). Tetapi, tanpa bantuan dan kehadiran pejabat pemerintah, acara berlangsung baik-baik saja. Bahkan, kurang setahun kemudian, Presiden Soeharto harus turun dari tahtanya.

Ada Kekeliruan Besar

Apakah sama, kondisi NU sekarang dengan NU zaman Gus Dur dulu? Ya! Persamaannya banyak. Tetapi, tidak sedikit pula perbedaannya. Salah satu perbedaan itu adalah pondasi dasar lahirnya sikap kritis NU terhadap pemerintah.

Lihatlah! Konsistensi Gus Dur membela kaum lemah, membuat pemerintah marah. Sampai Gus Dur mendapat perlakuan kasar, harus dicekal di berbagai daerah. Kendati demikian, Gus Dur tidak pernah menjadikan NU sebagai oposisi pemerintah.

Maka, meletakkan NU berhadap-hadapan (oposisi) dengan pemerintah, adalah kekeliruan besar. Pertama, NU itu bukan parpol (partai politik). Umumnya, ‘baju’ oposisi itu dipakai Parpol yang kalah dalam pemilu (baca: Pilpres). Mereka lalu mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah. Hari ini, dari seluruh Parpol, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berani menempati posisi tersebut. Selebihnya, memilih aman.

NU? Mestinya tidak ada urusan dengan ‘kekalahan’ Pilpres. Karena NU bukan parpol. NU juga tidak ikut mengusung pasangan Capres-Cawapres, sehingga NU tidak perlu kalah dalam Pilpres. Kalau NU menempati posisi yang sama dengan PKS, oposisi, maka, NU bakal kehilangan jatidirinya.

Kedua, jatidiri NU itu adalah jam’iyyah diniyah ijtimaiyyah (organisasi sosial keagamaan). Ormas keagamaan yang berbasis pada Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Di mana implementasinya tercermin dalam sikap atau prilaku yang tawasuth (tengah), i’tidal (adil), tawazun (seimbang) dan tasamuh (toleran). Keempat sikap ini, jelas, berlawanan dengan prilaku oposisi.

Itulah sebabnya, almaghfurlah KH Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU periode 1999-2014, berpesan kepada pengurus NU agar tidak terjebak pada politik praktis. NU, kata beliau, harus melaksanakan politik tingkat tinggi, bukan politik praktis berisi dukung-mendukung, apalagi sampai rakus jabatan.

Praktik politik tingkat tinggi itu, diantara adalah melakukan penyadaran hak-hak rakyat, melindungi mereka dari kesewenang-wenangan pihak manapun, dan memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan. NU juga harus terus mendorong pengembangan etika berpolitik untuk mewujudkan kehidupan politik yang santun, damai, dan tidak menghalalkan beragam cara.

Tetapi, masih dalam pesan Kiai Sahal, semua itu sangat tergantung pada pengurusnya. Kalau pengurus NU terus mendorong organisasi ini ke ranah politik, maka, akibat buruknya NU yang bukan Parpol menjadi rasa Parpol. Akhirnya ada yang merasa kalah ketika gagal memperoleh kursi kekuasaan, merasa ditinggal karena tidak dapat kursi menteri, padahal, jagonya menang.

Ada baiknya kalau kita baca catatan KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU yang telah lama malang-melintang di dunia kekuasaan. Beliau begitu tegas memaknai politik bagi kaum santri (NU). Politik, menurut beliau, tidaklah sekedar membagi-bagi jabatan administrasi dan kekuasaan. Politik (harus) berjalan di atas landasan moralitas dan mengindahkan sopan santu berpolitik.

“Cara berpolitik yang melanggar akhlak mulia akan menumbuhkan benih-benih nafsu serakah dan intoleransi, akibatnya akan memberi warna pada semua segi-segi politik yang kotor,” demikian KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya ‘Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 1’ (Gunung Agung – 1981).

“Jika politik telah menghirup polusi kotor, maka jantung, paru-paru dan seluruh aliran darah diendapi oleh elemen-elemen kotor, lalu endapan-endapan kotor itu akan membentuk batu-batu karang, lalu berjangkitlah segala macam penyakit,” tulis KH Saifuddin Zuhri yang juga Pemred Duta Masyarakat saat itu.

Risikonya: Penyakit politik (kekuasaan) seperti ini akan memproses penyakit dalam tata ekonomi dan tata sosial, lalu membentuk kultur yang tidak sehat, mata duitan. Lebih celaka lagi, jika semua itu diabadikan dalam sebuah doktrin disertai dalil. Wallahu’alam bish-showab. (*)

*Mokhammad Kaiyis adalah wartawan Duta Masyarakat tergabung dalam PWI 11838-PWI/WU/DP/IX/2017/05/10/65

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry