“Logika akal sehat, bukan khilafah yang harus menjadi musuh bersama kita, tetapi hadirnya individualisme, liberalisme, kapitalisme inilah yang menghancurkan Republik Indonesia.”

Oleh Ir Prihandoyo Kuswanto

KHILAFAH telah menjadi momok di negeri ini. Ia seakan menjadi endemi, musuh bersama yang harus dilawan dan dimusnahkan. Hari ini, tenaga, pikiran, bahkan uang rakyat terkuras untuk urusan khilafah yang, sengaja atau tidak, ditempelkan pada kelompok radikal.

Padahal, sejarah sebelum negara Indonesia ada Kerajaan Islam Mataram, dan di situ ada khilafah. Gubernur DIY sekaligus Sultan Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana X mengatakan, bahwa, keraton Yogyakarta merupakan kelanjutan dari Khilafah Turki Utsmani.

Sultan Turki Utsmani meresmikan Kesultanan Demak pada tahun 1479 sebagai perwakilan resmi Khalifah Utsmani di tanah Jawa. Ini ditandai dengan penyerahan bendera hitam dari kiswah Ka’bah bertuliskan La Ilaha Illa Allah dan bendera hijau bertuliskan Muhammad Rasul Allah. Hingga kini (kedua bendera itu) masih tersimpan baik di keraton Jogja.

Cak Nun (Muhammad Ainun Nadjib) seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia juga menegaskan hal yang sama. “Dalam arti Kesultanan Ngayogyakarta adalah kekhilafahan yang masih eksis di bumi pertiwi,” demikian Cak Nun.

Lebih lanjut, budayawan asal jombang ini, mengatakan, konsep khilafah sejatinya murni buatan Allah. Sehingga, dia meminta umat Islam jangan memusuhi konsep tersebut, apalagi sampai melabeli dirinya sebagai anti-khilafah.

Saat ini, masih kata Cak Nun, banyak masyarakat Indonesia yang membenci konsep khilafah tanpa memahami arti sebenarnya. Tak sedikit dari mereka yang memaknai khilafah berdasarkan pemikiran HTI. Padahal, bisa jadi, hal tersebut keliru, tidak benar.

“Saat ini banyak yang bertengkar karena agama. Sampai-sampai Indonesia harus anti-Khilafah. Seolah-olah mereka betul-betul anti-Allah,” ujar Cak Nun.

Ia juga bertanya-tanya, sejak kapan khilafah dimaknai sebagai sistem negara? Padahal saat konsep tersebut diturunkan, dunia belum mengenal negara, melainkan hanya kerajaan. Kesalahan umat Islam menafsirkan makna ‘khilafah’ itu, menurut Cak Nun, sangat berbahaya.

“Terus akhirnya Indonesia anti-khilafah sebagai bentuk negara. Kudunya (harusnya) bahasanya jangan begitu. (Kamu bisa bilang), kami tidak setuju pada tafsir HTI terhadap konsep khilafah, tapi jangan khilafahnya yang kamu salahkan. Kalau khilafah yang disalahkan, bisa murtad kita terhadap Allah,” tegas Cak Nun.

Ironis sekali. Sekarang, khilafah sudah menjadi stempel (radikal) bagi siapa saja yang mendukungnya. Pemerintah pun menjadikan Khilafah sebagai musuh negara, karena dianggap akan menghancurkan sistem bernegara di Indonesia. Pemahaman yang jauh dari kebenaran.

Kajian kami di Rumah Pancasila: Justru negara berdasarkan Pancasila itulah model Khilafah yang ditanamkan oleh pendiri negeri ini. Para pejuang itu tidak menjadikan Islam sebagai bendera yang harus dikerek ke atas, tetapi ‘api Islam’ yang dimasukan di dalam Pancasila. Ini buah pemikiran yang luar biasa.

Khilafah dasarnya tauhid dan sistemnya majelis. Sedang negara berdasarkan Pancasila dasarnya KeTuhanan Yang Maha Esa (Tauhid ), sistemnya MPR (majelis).

Khilafah menjalankan Syariah  Islam, sedang di negara berdasarkan Pancasila Syariah Islam dijalankan, mulai dari pendidikan seperti pendidikan dengan model Syariah dari TPQ sampai perguruan tinggi ada.

Pun kehidupan muamalah, juga diatur kawin cerai, bagi waris, waqof, bahkan ada Pengadilan Agama Islam. Soal ibadah, pemerintah ikut mengatur haji-umroh, hari hari besar Islam juga diatur sesuai syariah. Ekonomi yang sedang berkembang ekonomi syariah, lembaga keuangan syariah. Lalu ada yang  bertanya: Bagaimana dengan qisas, hukum potong tangan, penggal kepala? Itu domain pemerintah bukan urusan umat.

Jadi, jelas negara berdasarkan Pancasila, itu adalah khilafah model nusantara. Tidak perlu membenturkan Pancasila dengan khilafah. Harusnya pemerintah membangun narasi yang lebih pada persatuan bangsa. Bukan sibuk membuat stigma Islam dengan Khilafah, lalu dianggap radikal bahkan teroris, dan tidak boleh ada di bumi nusantara. Ini semua kerja sia-sia.

Harusnya para petinggi negeri ini membaca sejarah dan melakukan dialog, kajian-kajian strategis yang membangun narasi keutuhan, bukan pecah belah pada umat (Islam). Karena cara stigma, islamophobia jelas membuat bangsa ini tidak utuh, bertentangan dengan persatuan Indonesia.

Jadi? Bukan khilafah yang menjadikan ancaman bagi bangsa ini, sebab khilafah telah mengispirasi Pancasila. Mengapa begitu? Khilafah itu bicara tentang Tuhan, Manusia dan Alam semesta. Bukankah manusia diciptakan Allah sebagai Khalifahtulloh dengan tugas memimpin sekaligus menjaga alam raya.

Amandeman Merusak Segalanya

Pancasila juga bicara tentan Tuhan, Manusia dan Alam semesta. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bicara tentang Tuhan, tentang sifat sifat Tuhan bukan dzat Tuhan. Kemanusiaan Yang Adil dan beradab juga bicara tentang manusia harus bisa Adil. Jika manusia Indonesia bisa adil maka akan mampu membangun peradaban. Persatuan Indonesia juga bicara tentang alam semesta, tentang persatuan tanah air.

Nah, sekarang ini, semua fondasi itu hancur. Bagi para pemerhati Pancasila dan pembela Pancasila, sangat paham bahwa amandemen UUD 1945 sudah menyingkirkan Pancasila, sehingga tidak lagi menjadi dasar negara.  Diubahnya sistem MPR menjadi sistem presidensial, jelas bertentangan dengan Pancasila. Ironi bukan?

Mengapa? Pancasila sebagai dasar Negara, itu sistemnya permusyawaratan perwakilan sehingga kedaulatan rakyat dijalankan oleh MPR, maka, di MPR itulah duduk utusan-utusan golongan atas nama kedaulatan rakyat. Kemudian disusunlah politik yang dikehendaki rakyat, lalu disebut GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).

Setelah GBHN tersusun, kemudian dipilih presiden untuk menjalankan GBHN. Maka presiden adalah mandataris MPR. Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri atau politik golongannya. Kalau ada presiden sebagai petugas partai, itu adalah pelanggaran terhadap konstitusi.

Sistem presidensial adalah sistem individual liberalisme, kekuasaan diperebutkan dengan kalah menang, banyak-banyakan suara, pertarungan, maka, lahir mayoritas yang menang, minoritas yang kalah. Ini sangat berbahaya, tidak dikehendaki oleh pendiri negeri ini.

Sistem ini jelas bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa? Sebab Bhinneka Tunggal Ika itu sistem keterwakilan, bukan keterpilihan.

Hari ini kita masuk model demokrasi liberal, banyak-banyakan suara, maka, minoritas tidak akan pernah terwakili. Ini demokrasi liberal. Padahal Bhineeka Tunggal Ika, itu semua elemen bangsa harus terwakili. Sebab negara didirikan untuk semua, bukan untuk golongan apalagi untuk oligarki yang kaya raya.

Pemilu kali ini, juga praktek dari demokrasi liberal. Bisa kita rasakan, bagaimana hilangnya Pancasila. Bahkan bangsa ini menjadi munafik, karena Pancasila yang basisnya kebersamaan, kolektivisme, tolong menolong, gotong royong, musyawarah perwakilan, tetapi faktanya justru liberal basisnya individualisme, pertarungan, kalah menang, kuat-kuatan, banyak-banyakan suara.

Pancasila itu bukan kekuasaan diperebutkan dengan suara terbanyak, kalah menang, kuat-kuatan. Pancasila itu bukan sistem presidensial yang basisnya individualisme. Pancasila itu permusyawaratan perwakilan, onok rembuk yo dirembuk, begitulah istilah para pejuang kita. Maka, kekuasaan menghalalkan segala cara, berbohong, tidak jujur, curang itu jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Penulis sendiri tidak bisa membayangkan, jika negeri tercinta ini akhirnya harus di-balkan-kan. Artinya skenario amandemen UUD 1945, jelas akan berujung dengan pecahnya Indonesia.

Ingat! Perjuangan umat Islam dalam sejarah telah mencatat resolusi jihad umat Islam untuk mempertahankan negara Proklamasi. Dengan heroik perang 10 Nopember 1945 yang mengorbankan ribuan suhada. Jangan biarkan negeri ini mendekati kehancurannya. Sadarlah
bangsa ini tengah di persimpangan jalan. Tidak ada lagi rasa senasib dan sepenangunggan sesama anak bangsa. Semua itu akibat dari individualisme, liberalism, kapitalisme yang mencengkeram jagat poliitk kita.

Jadi? Logika akal sehat, bukan khilafah yang harus menjadi musuh kita, tetapi hadirnya individualisme, liberalisme, kapitalisme inilah yang menghancurkan Republik Indonesia. Sadarlah! (*)

*Ir Prihandoyo Kuswanto adalah Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry