Achmad Murtafi Haris Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya (Ket gambar JawaPos.com)

“Kota kebanggaan ini pun nyaris lepas kembali ke tangan penguasa Kristen Eropa seperti sediakala. Setelah kalah PD1, Konstantinopel diduduki Prancis, Inggris, dan Italia. Namun, berkat perlawanan rakyat Turki, ia tetap bertahan.”

Oleh Achmad Murtafi Haris*

DALAM film serial Turki “Abad Kejayaan” yang menceritakan masa keemasan Sultan Otoman Sulaiman I, sang pangeran Bayazid saat menghadapi massa yang menghadangnya bersama para pengawal, dia berteriak: “Saya Bayazid putra Sultan Sulaiman penguasa 3 benua..”, dan massa pun membelah diri untuk memberi jalan. Saat itu, bahkan dalam kurun berabad-abad, kesultanan Turki Otoman memang menguasai Eropa, Asia, dan Afrika. Meski tidak sepenuhnya, namun ia adalah kekuatan yang paling disegani di dunia saat itu.

Kekuasaannya melampaui bagian timur sampai ke Irak; tenggara sampai ke Yaman; timur laut sampai Baku, Azerbaijan; utara sampai ke Ukraina, barat laut sampai ke Hungaria; barat sampai ke Serbia; barat daya sampai ke Yunani di Eropa dan Aljazair di Afrika Utara; selatan melewati laut Mediterania, Mesir terus ke selatan hingga Somalia. Wilayah luas itu dicapai saat Sulaiman I (julukan the Magnificent/Qanuni) berkuasa antara 1520 -1566. Sebuah ekspansi wilayah yang luar biasa yang hampir menjangkau Italia jika negara itu tidak mengerem derap ekspansi Otoman. Saat itu bahkan telah ada bayangan untuk menguasai Roma, menduduki Vatikan, dan mengubah Basilika Santo Petrus pusat Katolik Roma menjadi masjid. Seperti yang terjadi atas Basilika Aya Sofia di Konstantinopel, pusat Kristen Ortodoks Timur  yang dikuasai Muhammad al-Fatih  pada 1453.

Kedigdayaan Turki Otoman yang bertahan 6 abad akhirnya berakhir pada 1 November 1922 setelah kekalahan Turki pada Perang Dunia. Kekalahan pada PD1 adalah klimaks dari kekalahan beruntun.  Sebelumnya, Turki telah mengalami kekalahan pada perang Balkan, Oktober 1912 – Mei 1913 lawan liga Balkan: kerajaan Bulgaria, Serbia, Yunani dan Montenegro. Mereka yang semula berada di bawah kekuasaan Otoman bersatu dan memberontak setelah terinspirasi oleh warga Albania yang muslim lebih dahulu memberontak. Kalau yang muslim saja memberontak, bagaimana dengan mereka yang Kristen? Kekalahan melawan Liga Balkan mengakibatkan Otoman kehilangan kekuasaan di benua Eropa hingga tinggal 17%, Istanbul atau  Konstantinopel dan sekitarnya.

Kota kebanggaan ini pun nyaris lepas kembali ke tangan penguasa Kristen Eropa seperti sediakala. Setelah kalah PD1, Konstantinopel telah diduduki oleh Prancis, Inggris, dan Italia. Namun, berkat perlawanan rakyat Turki, ia tetap bertahan.

Kekalahan Turki pada PD1 membuat semua koloni Turki di luar wilayah induk lepas. Wilayah-wilayah itu dibagi rata sesama sekutu barat yang menang perang: Inggris, Prancis, Italia, Yunani, Rusia. Bahkan yang induk pun, wilayah Turki saat ini, termasuk dalam pembagian protektorat mereka. Partisi Turki terjadi selama 4 tahun,  30 October 1918 – 1 November 1922). Ia diawali dengan kesepakatan Sykes-Picot, 16 Mei 1916 antara wakil Inggris dan Prancis yang membagi penguasaan wilayah Otoman di semenanjung Arab.  Inggris mendapat bagian Palestina, Yordania, selatan Irak, dan pelabuhan Haifa untuk akses ke Mediterania. Sedangkan Prancis mendapat bagian tenggara Turki, utara Irak, Siria, dan Libanon.

Sesuai kesepakatan Sazonov-Peleologue, Rusia mendapat barat Armenia, Konstantinopel, dan Selat Turki.  Sementara Italia sesuai kesepakatan Saint-Jean-de-Maurienne mendapat selatan Anatolia (Asia minor). Kesepakatan itu kemudian ditindaklanjuti dengan lahirnya mandat  bagi Inggris di Palestina dan Iraq hingga 1948 dan Prancis di Libanon dan Siria hingga 1946. Sementara di Anatolia, wilayah Turki sekarang, ditindaklanjuti dengan Perjanjian Sevres pada Agustus 1920 yang ditandatangani oleh penguasa Turki Otoman dan sekutu. Ia berisi penyerahan sebagian besar wilayah Turki ke Prancis, Inggris, Yunani, dan Italia. Penyerahan ini tidak efektif karena perlawanan rakyat Turki di bawah pimpinan Kemal Ataturk yang angkat senjata menuntut kemerdekaan dari penjajahan sekutu pemenang PD1.

Kekuasaan Otoman terus  menyusut setelah 1800-an. Prancis pada masa Napoleon Bonaparte telah masuk Mesir dan Siria pada 1798-1801. Tidak lama berkuasa, bersama Inggris, Otoman berhasil merebut Mesir. Dia menempatkan Muhammad Ali Pasha sebagai wali atau gubernur Mesir pada 1805.

Mesir vs. Otoman

Pada 1825, Muhammad Ali menjadi tumpuan Otoman dalam melawan pemberontakan Yunani yang telah dikuasai Otoman semenjak abad 15 pasca jatuhnya Konstantinopel. Dia berhasil meredam perlawanan hingga  pemberontak Yunani mendorong Inggris, Prancis dan Rusia untuk membantu mereka hingga akhirnya menang. Yunani pun menjadikan 25 Maret sebagai hari kemerdekaan mereka.

Arab Saudi vs. Otoman

Kekalahan pada PD1, pada akhirnya menjadikan Otoman kehilangan penguasaan atas tanah suci.  Negara yang sekarang bernama Saudi Arabia sebenarnya telah berada dalam kekuasan Otoman semenjak abad 16. Penguasaan atasnya mengalami pasang-surut seiring kondisi politik Otoman yang berubah. Hingga pada 1744, Muhammad b. Sa’ud berkuasa atas Nejed dan mendirikan pemerintahan Imarat Dirriyah di sekitar Riyad. Ia terus ekspansi hingga merebut Hijaz wilayah tanah suci Mekkah dan Madinah berada pada 1805. Melihat perkembangan yang tidak baik, terutama setelah pada 1802 kaum Wahabi menyerang Karbala dengan 12.000 tentara dan membantai 5000 warga Shi’ah setempat dan menjarah makam Hussein b. Ali, Sultan Otoman  memerintahkan Muhammad Ali gubernur Mesir untuk menggulingkan kekuasaan keluarga Sa’ud dan berhasil. Pada 1811, Abdullah b. Sa’ud kembali ke asalnya di Dirriyah, Riyad. Karena tidak loyal kepada sultan Otoman, pada September 1818,  Ibrahim Pasha, panglima tentara Muhammad Ali Pasha diperintahkan menyerang Dirriyah dan membumihanguskan kota tersebut hingga amir Abdullah b. Sa’ud menyerahkan diri. Dia  digelandang ke Istanbul dan dieksekusi. Semenjak itu kekuasaan Wahabi dinyatakan bubar kembali ke Otoman di bawah Muhammad Ali, gubernur Mesir. Permusuhan keluarga Sa’ud atas Turki Otoman terus berlanjut. Hingga pada akhirnya, saat Turki kalah pada PD1 dan kesultanan Turki bubar, peluang kembali berkuasa itu terbuka dan terwujud pada 1926 saat keluarga Sa’ud berhasil menumbangkan Syarif Husein penguasa Hijaz.

Mesir Melawan Otoman

Keberhasilan Muhammad Ali dalam membangun Mesir dan memodernisasi militer, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Otoman. Bergaining naik dan timbul  perselisihan yang membuat Muhammad Ali melawan Otoman. Dia memberontak dan berhasil merebut Siria, Anatolia (1840) dan tinggal selangkah merebut Konstantinopel. Pada 1842, negara Eropa melakukan intervensi dan merayu Muhammad Ali untuk menarik diri dari menyerang Konstantinopel. Dia pun menuruti masukan itu dan sebagai gantinya dia dan keturunannya mendapat kekuasaan penuh atas Mesir dan Sudan.

Aljazair dan Libia

Jika Mesir pada akhirnya berani melawan induknya, Otoman jauh sebelum PD1, Aljazair juga demikian. Setelah Otoman berkuasa atasnya semenjak 1516, Prancis mengambil alih Aljazair dari 1830-1962. Demikian juga dengan Libia yang telah ada di tangan Italia pada 1912 setelah kekalahan Otoman pada perang 1911. Ini menunjukkan penurunan kekuatan Otoman pada saat hingga terjadi perang Balkan yang mengakhiri dominasi Otoman atas Eropa. Kekalahan  beruntun Turki Otoman terjadi menjelang abad kesembilan belas. Berbalik dengan 5 abad sebelumnya saat mereka ekspansi luar biasa melakukan penaklukan demi penaklukan. Masa  kejayaan itu telah usai dan rakyat Turki hanya bisa mengenangnya lewat film “Abad Kejayaan” yang diputar ke seantero dunia hingga disaksikan di Indonesia.  (*)

*Achmad Murtafi Haris adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry