Gus Yasin (kiri) dan Identitas Iwan Ismail yang beredar di Medsos.

SURABAYA | duta.co – Ramai lagi soal isu Taliban di Gedung KPK! Meski tudingan itu sudah basi, tetapi masih banyak yang menggorengnya. Kini beredar luas SURAT TERBUKA IWAN ISMAIL, mantan pegawai pengamanan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di medsos nahdliyin. Ia mantan pengurus GP Ansor, konon namanya juga ada di jajaran grup WA Banser Kab. Bandung.

Iwan membuat Surat Terbuka Rabu, 29 September 2021. Mengungkit kembali adanya bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) di Lt 10 10 gedung KPK. Ini, menurut IWAN ISMAIL membuat dirinya harus keluar dari pekerjaannya di KPK.

Tak tanggung-tanggung, surat terbuka itu teruntuk Presiden Joko Widodo, Dewan Pengawas KPK, Ketua KPK RI, Ketua DPR RI, Menkopolhukam, Kapolri, Panglima TNI, Ombudsman RI, Komnas HAM RI dan Ketua WP KPK. Judulnya pun lumayan serem! SURAT TERBUKA

(Berani Jujur Hebat)

“Intinya sih saya terinspirasi dari beberapa surat terbuka yang saya baca di media sosial. Kedua, saya teringat kembali ketika kemarin teman-teman diberhentikan dengan hormat, bahwa, saya juga pernah diberhentikan,” demikian Iwan Ismail kepada detik.com, Minggu (03/10/2021).

IWAN ISMAIL menerangkan, bahwa, 26 Desember 2019 ia resmi diberhentikan sebagai Pamdal (pengamanan dalam) Gedung KPK. Alasannya, melakukan pelanggaran, memotret bendera HTI di lantai 10 Gedung KPK. Foto ini sempat ramai di media sosial.  “Saya tidak pernah menyebarkan foto itu di media sosial. Saya hanya membagikannya di grup WhatsApp yang anggotanya kawa-kawan saya di Bandung,” lanjut Iwan, masih kepada detik.com.

Membagikan di grup WA? Tetapi tidak pernah menyebarkan foto itu di media sosial? Waallahu’alam,. Yang jelas, tambah Iwan, “Saya hanya mengambil foto bendera yang mungkin menyebabkan KPK gaduh dan dicap Taliban. Tapi, malah saya pun, ada yang memanggil Iwan Taliban,” jelasnya.

Ironisnya, isu Taliban menjadi peluru tersendiri bagi buzzerRp. Salah satu yang terkena dampak serius adalah Novel Baswedan, salah seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. “Bagi Iwan, mungkin saja, ini masalah sepele. Tetapi, bagi yang tertuduh, amat keji,” demikian Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Muhammad Yasin kepada duta.co, Minggu (3/10).

Menurut Gus Yasin, panggilan akrabnya, persoalan Bendera HTI itu, mestinya dia cukup lapor kepada pimpinan. Bukan dengan mengirim foto ke grup WA. Ujungnya menjadi viral ke mana-mana. Lalu ramai, ada Taliban di KPK. “Akibat lain, ternyata terkait dengan ‘penyingkiran’ orang-orang hebat di KPK. Tes wawasan kebangsaan (TWK) di mana 56 pegawai KPK tidak lulus, pun dianggap karena Taliban. Padahal, di antara mereka ada yang non-muslim.  Ini karena Taliban atau Pembunuhan Keadilan?” demikian alumni PP Tebuireng Jombang ini.

Masih menurut Gus Yasin, tidak sedikit warga nahdliyin yang termakan buzzerRp. Sedikit-sedikit mereka menuduh radikal, wahabi, Taliban. Padahal, faktanya, sama-sama nahdliyinnya. “Terus terang, saya prihatin melihat warga NU menjadi obyek penderita, adu domba. Ada penggelontoran informasi ke nahdliyin yang tidak benar. Akhirnya yang kritis terhadap pemerintah masuk golongan Taliban, Radikal. Ini berbahaya bagi NU sendiri,” tegasnya.

Surat Terbuka IWAN ISMAIL ini juga mengusik Tata Khoiriyah, yang pernah menjadi pegawai Fungsional KPK di Biro Humas. Ia juga tersingkir melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menurutnya, melanggar HAM dan maladministrasi.

Tata Khoiriyah sendiri mengaku ‘Masih Nahdliyyin’. Ia membuat tulisan bertajuk ‘Kontroversi Bendera HTI di meja pegawai KPK. Apa yang sebenarnya terjadi?’. “Saya menulis sedikit penjelasan karena pertanyaan yang sama berulangkali datang untuk sekedar mengkonfirmasi. Benarkah berita tersebut? Apakah ada klarifikasinya?,” jelas Tata seperti beredar di medsos warga NU, Minggu (3/10).

“Awalnya saya hanya balas selewatan. Lama-lama berujung pada diskusi panjang. Sampai akhirnya ketika situasi krisis, berita lama itu dimunculkan kembali untuk pembenaran atas alasan tes wawasan kebangsaan yang ujungnya menyingkirkan saya sebagai pegawai tetap KPK,” jelasnya.

“Saya sedih karena narasi itu muncul dan beredar di kalangan nahdliyyin. Circle yang sama dengan saya. Sehingga saya punya tanggung jawab moral untuk menjelaskan meski sebenarnya saya masih memfokuskan diri dengan hiruk-pikuk TWK,” tulisnya.

“Di samping itu, saya tidak ingin para nahdliyyin menjadi korban dari hoax yang sengaja disebarkan, sehingga keberpihakannya pada KPK tidak obyektif. Saya sampaikan dalam tulisan panjang supaya sekaligus menjadi arsip bagi saya kelak apabila isu ini kembali muncul,” katanya serius.

Masih tulis Tata, di tengah ramainya pemberhentian 57+ pegawai KPK lewat assesment Tes Wawasan Kebangsaan, beredar kabar pengakuan seorang mantan pegawai KPK yang dipecat karena menyebarkan foto bendera (liwa’) yang diasumsikan dengan sebuah gerakan HTI.

“Mungkin penjelasan yang bisa saya sampaikan tidak sepenuhnya bisa menjawab keyakinan para pembaca. Karena preferensi politik, kubu tokoh, dan kelompok tentu mempengaruhi cara berpikir dan saringan informasi anda,” tegasnya.

Menurut Tata, ada poin penting yang saya jelaskan terkait beredarnya pesan siar dari Mas Iwan Ismail yang juga sesama nahdliyyin; Pertama, informasi yang saya dengar, Mas Iwan ini adalah pegawai tidak tetap (PTT) yang ditempatkan di bagian pengamanan rutan (rumah tahanan).

Tugas yang diemban adalah pengamanan terhadap tersangka dari Rumah Tahanan KPK atau rutan lainnya selama menjalani penanganan perkara (pemeriksaan, persidangan dan eksekusi). Sehingga dia memiliki akses yang terbatas dan khusus untuk bisa memasuki ruangan-ruangan di KPK. Sistem pengamanan di KPK memang sangat ketat dan dibatasi.

Ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas yang dimilikinya. Saat saya masih menjadi bagian Biro Humas KPK, saya hanya bisa mengakses ruangan-ruangan yang bersifat publik dan lingkup kesekjenan. Bahkan saya tidak bisa membuka pintu ruang kerja atasan saya sendiri. Ruangan penindakan (tim penyelidik, penyidik, penuntutan, labuksi, monitor) hanya bisa diakses oleh pegawai di lantai itu sendiri. Termasuk pramusaji (OB) dan petugas kebersihan di lantai tersebut.

“Foto di mana bendera HTI tersebut diambil di Lt. 10 ruang kerja penuntutan yang diisi oleh para Jaksa yang ditempatkan atau dipekerjakan KPK. Mas Iwan ini tidak memiliki akses masuk keruangan tersebut. Lantas dari mana mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut? Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri di tempatkan di rumah tahanan,” tulis Tata, heran.

“Mas Iwan bilang kalau akibat foto bendera tersebut viral, dirinya diperlakukan seolah-olah seperti tersangka. Mungkin Mas Iwan belum tahu atau mungkin lupa bahwa pekerjaan KPK berkaitan dengan hal-hal yang confidential (rahasia). Sehingga banyak aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang membutuhkan kebijaksanaan dalam bersikap sehari-harinya.”

“Karena ruang kerja tim penindakan hanya diakses terbatas, maka foto-foto yang beredar pun di dalamnya sangat dikontrol. Tidak semua ruangan diperbolehkan ambil foto-foto. Yang perlu digaris bawahi adalah bukan karena viralnya foto tersebut Mas Iwan diberhentikan. Tapi karena foto tersebut disebar ke publik tanpa ada klarifikasi, tanpa ada penjelasan dan dalam pemeriksaan Pengawas Internal ditemukan pelanggaran etik, bahkan Mas Iwan sendiri melakukan dengan sengaja framing bahwa bendera tersebut bukti bahwa ada Taliban di KPK,” tambahnya.

“Mungkin Mas Iwan tidak tahu bahwa saat itu isu Taliban tengah dilemparkan ke publik untuk menyerang kredibilitas KPK. Sehingga kepercayaan publik menurun bahkan mempertanyakan kenetralan KPK. Padahal saat itu KPK sedang butuh-butuhnya dukungan publik karena menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Beredarnya foto tersebut dinilai merugikan citra KPK dimata public,” jelas Tata.

Ia juga menjelaskan nasib pemilik meja berbendera HTI. “Bagaimana nasib pegawai KPK yang mejanya terdapat bendera tsb? Perlu diketahui, meja tersebut milik pegawai negeri yang sedang dipekerjakan (PNYD) di KPK. PNYD yang dimaksud adalah ASN dari kementerian atau lembaga pemerintah lain, polisi, dan jaksa yang dipekerjakan KPK dengan batas waktu maksimal 10 tahun. Proses rekruitmennya tentu dilakukan lewat mekanisme masing-masing instansi. Sehingga dalam proses alih status pegawai KPK kemarin, (dia) tidak mengikuti TWK yang kontroversial. Kan statusnya sudah ASN dong. Pemilik meja bukan pegawai independen KPK yg proses rekruitmennya dilakukan oleh KPK secara mandiri,” tambahnya.

“Kembali ke soal bendera, sama dengan Mas Iwan, pemilik meja yang ada benderanya, diperiksa juga oleh Pengawas Internal KPK. Bahkan Ia diperiksa juga oleh instansi asalnya. Dicari juga kronologi kenapa bisa bendera tersebut masuk dan tersimpan di meja tersebut. Pemilik meja juga ditanya apakah memiliki keterkaitan dengan gerakan dan organisasi tertentu? Sama dengan Mas Iwan. Dan kesimpulannya pemilik meja tidak memiliki keterkaitan dengan afiliasi tertentu,” urainya.

Tak kalah menarik, penjelasan Tata soal saksi ahli terkait bendera yang disebut HTI itu. “Dalam proses persidangan etik Dewan pertimbangan pegawai (DPP) memanggil saksi ahli yang dapat menjelaskan apakah benar bendera tersebut adalah bendera HTI. Saksi ahli yang dipanggil adalah orang yang memiliki pemahaman yang tinggi tentang perbedaan-perbedaan bendera. Sehingga DPP dapat mengambil kesimpulan yang objektif dalam sidang etik tersebut. Informasi yang saya dapatkan, saksi ahli yang diundang memiliki afiliasi dengan Ormas NU. Sayangnya saya belum mendapatkan detail siapa yang diundang. Penjelasan saksi ahli menyimpulkan bahwa bendera tersebut bukan bendera HTI,” tulisnya. Nah?

Membaca penjelasan Tata Khoiriyah ini, Gus Yasin mengaku prihatin. “Hancur, sudah sekarang. Tuduhan Taliban sangat tidak masuk akal, tetapi menjadi senjata melumpuhkan KPK. Terus terang, saya kasihan betul sama Novel Baswedan. Lebih prihatin lagi, menyaksikan penghancuran KPK yang begitu sempurna. Saya rasa, IWAN ISMAIL tidak paham terhadap semua ini. Dan banyak nahdliyin yang kadung termakan hoax,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry