Oleh Khoirul Anwar Afa  

 

Google bagaikan megamarket di internet yang menyediakan beragam keperluan manusia. Di antaranya keperluan tentang informasi pengetahuan, yang sebelum maraknya internet, seorang pencari data yang ingin mendapatkan data untuk melengkapi pengetahuan harus bersusah payah datang ke berbagai perpustakaan, dan jika belum paham perlu mencari guru untuk membimbing mengetahui informasi yang ia dapatkan.

Pastinya melalui berbagai pertimbangan yang serius dan usaha yang tidak gampang. Tetapi dengan adanya kemudahan dunia maya saat ini seolah menggeser dunia nyata. Dengan dalih tidak njlimet dan tidak menghabiskan banyak tenaga. Tetapi melihat dengan hasil benar dan tidaknya, tanpa ada pertimbangan sama sekali. Hanya perlu mengambil berita teranyar dan yang dijadikan urutan pertama oleh google.

Permasalahan besar terjadi kepada internet tentang pengetahuan ilmu agama Islam. Bagi masyarakat Indonesia yang jumlah penduduk muslimnya 90%, menjadi penyakit yang semakin akut karena menyangkut akidah dan sosial. Jika akidah hubungan mereka hanya kepada Tuhan. Namun jika berhubungan dengan permasalahan sosial, memiliki pengaruh yang bisa merugikan orang lain. Pasalnya pemahaman yang didapatkan bersifat tekstual yang sangat matang. Sehingga tidak memerlukan tabayyun kepada orang yang lebih mengetahui atau yang ahli di bidang tersebut. Kemudian secara otodidak mengaplikasinnya. Bahkan digunakan untuk bahan ceramah dan debat di berbagai tempat. Meskipun hasil pemahamannya seperti dengan yang diajarkan oleh google. Peristiwa ini menunjukkan betapa eronisnya dampak pengetahuan Islam yang didapatkan secara pragmatis.

Menkominfo pada bulan Januari lalu telah memblokir 11 situs Islam yang dianggap menyebarkan informasi radikalisme. Dan sebelumnya pada bulan November tahun kemarin juga sudah memblokir 11 situs yang dianggap bermuatan negatif, seperti ujaran kebencian, fitnah, provokasi, SARA, bahkan hingga penghinaan terhadap lambang negara. Tetapi ada juga yang bermuatan phising dan malware, (KCM, 4/1/2017).

Tentunya internet yang seharusnya menjadi alat justru dijadikan sebagai patokan, sebagai kiblat, bahkan menjadi mazhab. Jadi bermazhab google menuju kemajuan atau justru mengarah pada kehancuran? Hipotesa ini bisa kita saksikan dengan maraknya muslim yang sok paham dengan permasalahan agama. Dengan mudah mengatakan halal haram, bid’ah dan sesat. Bahkan sampai berani mengatakan urusan surga dan neraka. Padahal hanya bermodalkan kursus singkat pada youtube, blog, dan medsos yang disediakan oleh gerombolan ustadz.

 

Ilmuwan

Tantangan yang serius juga menimpa ilmuwan muslim, yang notabenenya sebagai ustad yang sedang menjadi mahasiswa, atau sudah menjadi salah satu pengajar di suatu lembaga perguruan tinggi tertentu. Nasib ustad didapatkan karena beragam faktor tidak adanya tokoh lain yang bisa diandalkan untuk membimbing masyarakat di sekitarnya. Tetapi dalam urusan penelitian untuk membuat karya ilmiah tidak memiliki perhatian terhadap keabsahan suatu karya. Sehingga ketika ada tuntutan membuat tugas ilmiah lebih mengandalkan cara-cara pragmatik pada bantuan internet. Terkadang saking sibuknya, mereka lupa tidak diseleksi memposisikan dirinya sebagai editor terlebih dahulu. Terkesan sudah mengimani apa yang disajikan oleh google sangat matang dan layak disantap. Tanpa menghiraukan sumber ataupun aturan penulisan ilmiah seperti penggunaan transliterasi dan bahasa baku.

Belum lagi dengan urusan plagiasi yang dalam adab ilmiah memiliki wilayah hukum tersendiri. Sebab telah melakukan penjiplakan atau mengambil karangan, pendapat dari orang lain, dan menjadikannya seolah sebagai karangan dan pendapatnya sendiri. Perbuatan plagiat dapat juga dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Adapun jika dalam lembaga pendidikan pelaku plagiarisme dapat dikeluarkan dari universitas, bahkan bisa dicopot gelar akademiknya. Sebagaimana bunyi UU. No 20/2003 tentang plagiasi pada bagian pasal 25 ayat 2 diberikan sanksi pencabutan gelar akademik. Adapun pasal 70 dikenakan hukuman penjara paling lama 2 tahun atau dengan denda paling banyak 200 juta rupiah.

Namun, kegiatan copy-paste seperti demikian justru semakin marak seiring dengan perkembangan kemajuan tekhnologi. Sedangkan plagiarisme justru menimbulkan kemalasan intelektual. Tidak mau berpikir kreatif. Tidak punya semangat membaca buku. Bahkan selalu ingin melakukan tindakan instan demi menghasilkan suatu karya. Padahal, karya itu belum tentu sama dengan keyakinanya. Jika dalam wilayah fikih tidak sama dengan mazhab yang menjadi rujukan sebelumnya.

  Dalam bahasa mazhab Islam, perilaku demikian juga disebut talfiq atau beralih dari satu mazhab ke mazhab yang lainya demi mencari kemudahan. Adapun menurut mayoritas ulama menegaskan hukumnya haram. Dengan berbagai pertimbangan, di antaranya adalah tidak konsekuen dalam prinsip ibadah, yang semestinya diwajibkan untuk tetap konsisten. Dan juga karena cenderung plinplan pada aturan Islam yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi pada masanya. Seperti sahnya nikah tanpa wali menurut imam Hanafi. Adapun menurut imam lainnya, seperti imam Syafii menikah harus dengan wali, dan jika tidak, maka tidak sah.

Sedangkan informasi internet diunggah oleh bermacam-macam ideologis. Mulai dari paham ideologis garis lurus, garis keras, bahkan garis lucu sekalipun. Pengguna internet sebagai tamu-tamu yang dilayani oleh para penggawa dan pasukannya, untuk menjaring pengguna melalui media maya. Sudah pasti terinfiltrasi dengan tujuan penyaji. Tetapi ironisnya, masyarakat awam yang ambisius terhadap pengetahuan tentang Islam menganggap itu semua sebagai kemudahan tanpa harus belajar ke berbagai pondok pesantren, atau pada Universitas Islam. Ini suatu paradigma yang sudah salah kaprah dan perlu pembenahan dari kita bersama. Agar masa kemunduran dunia Islam tidak terulang kembali. Semoga.

 

Penulis adalah Peneliti di Islamic Studies Pasca Sarjana IIQ Jakarta

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry