KH Abdusshomad Buchori
KH Abdusshomad Buchori

SURABAYA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menanggapi desertasi Dr Abdul Aziz berjudul “Milk Al Yamin: Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital. Desertasi doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu viral karena mengagkat tema ‘Seks di Luar Nikah Tak Langgar Syariah’. Menurut MUI, UIN dan perguruan tinggi Islam harusnya tak mengajarkan hermeunitika karena bisa menghancurkan bangsa.

Sekedar diketahui, Dr Abdul Aziz mengemukakan pendapat dalam desertasinya bahwa seks di luar nikah dalam batasan tertentu itu tak melanggar syariat. Alasannya konsep Milk Al Yamin dapat digunakan sebagai pemantik munculnya hukum Islam baru yang melindungi hak asasi manusia dalam hubungan seks di luar nikah atau nonmarital secara konsensual.

Pendapat Muhammad Syahrur yang dijadikan acuan menemukan 15 ayat Alquran tentang Milk Al Yamin yang masih eksis hingga kini. Dia melakukan penelitian dengan pendekatan hermeneutika hukum dari aspek filologi dengan prinsip antisinonimitas.

Hasilnya, Milk Al Yamin, prinsip kepemilikan budak di masa awal Islam, tidak lagi berarti keabsahan hubungan seksual dengan budak.  Dalam konteks modern, hal itu telah bergeser menjadi keabsahan memiliki partner seksual di luar nikah yang tidak bertujuan untuk membangun keluarga atau memiliki keturunan.

Menanggapi hal itu, Ketua bidang dakwah MUI Pusat  KH Abdusshomad Buchori mengatakan, sistem perbudakaan itu sudah ada sejak zaman sebelum Islam. Bahkan saat kejayaan kerajaan Romawi.

Namun, Islam yang datang belakangan itu justru untuk membenahi tatanan kehidupan manusia yang lebih manusiawi. Termasuk konsep perbudakan yang marak pada zaman sebelum Islam sehingga Islam berupaya keras membebaskan perbudakan.

“Makanya tidak bisa kemudian ayat-ayat tentang perbudakan dijadikan pijakan untuk zaman sekarang. Jadi tak bisa dengan dalih membebaskan dengan jaminan (membayar) tertentu kepada pembantu lalu kemudian kita bebas menggaulinya. Itu bisa rusak kalau diterapkan,” tegasnya dikonfirmasi Duta, Kamis malam (28/8).

Kiai Shomad menegaskan, perbudakan di dunia itu sudah dihapuskan oleh bangsa-bangsa yang ada di dunia ini saat ini. Hal itu juga sejalan dengan syariat Islam. “Kalau ada orang yang ingin menghidupkan kembali konsep perbudakan yang direkayasa itu justru melanggar HAM,” pungkasnya.

 

Abdul Aziz Tolak Prostitusi

Kembali ke Dr Abdul Aziz penulis disertasi kontroversial tersebut, dia mengatakan, disertasinya tentang hubungan intim diperbolehkan tanpa nikah tak berarti menghalalkan prostitusi oleh wanita. “Dalam konsep Milk Al-Yamin, Syahrur menolak rumah bordil,” kata Abdul Aziz dikutip dari Tempo, Jumat (30/8).

Dia menggunakan, konsep Milk Al-Yamin dari intelektual muslim asal Suriah Muhammad Syahrur, yang menyatakan seks di luar nikah dalam batasan tertentu tak melanggar syariat Islam. Dalam konsep Milk Al Yamin mustahil bagi perempuan untuk melakukan aktivitas prostitusi. Konsep ini melarang wanita berstatus istri melakukan hubungan intim di luar pernikahannya.

Jika wanita itu berstatus cerai atau ditinggal mati sang suami, Aziz melanjutkan, wanita itu harus menunggu masa Iddah. Masa itu adalah masa seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, termasuk cerai mati, menunggu dan menahan diri untuk menikahi laki-laki lain.

Perempuan juga harus menjalani dua kali suci karena menstruasi untuk bisa berhubungan seks dengan lelaki bukan suaminya  dalam satu waktu.

Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta ini menjelaskan disertasinya muncul dari kegelisahan dan keprihatinannya terhadap beragam kriminalisasi hubungan intim nonmarital konsensual (hubungan seksual tanpa pernikahan yang dilandasi persetujuan atau kesepakatan). “Kriminalisasi bertentangan dengan hak asasi manusia,” kata Abdul Aziz.

Di sisi lain, dia mengkritik konsep Milk A-Yamin karena bias gender sebab melarang wanita bersuami melakukan hubungan intim di luar nikah. Sedangkan pria berstatus suami boleh.

Hasil penelitian Aziz bertujuan memberi rekomendasi pembaruan hukum keluarga Islam atau hukum perdata dan pidana Islam terkait perlindungan hubungan seks nonmarital. Jika ditarik dalam masa kini, Indonesia tidak terbuka soal permasalahan seksualitas dibandingkan dengan negara lainnya. Padahal dampaknya sama. Bagaimana penyaluran hasrat manusia sebelum menikah?

“Siapa yang mau mengatasi masalah ini? Indonesia tidak mau terbuka dan hanya mengkriminalisasi. Padahal Eropa ada pencatatan nikah, partnership, nikah mut’ah juga ada dan itu legal. Indonesia susah, akhirnya semua disembunyikan. Malah lebih bahaya,” ujar  Abdul Aziz.

 

MUI Heran Kenapa Diloloskan

Namun, Kiai Shomad mengatakan, UIN dan perguruan tinggi Islam harusnya tak perlu mengajarkan hermeunitika. Bahkan tak seharusnya judul disertasi seperti itu diloloskan. Harusnya disaring dan dipertimbangkan banyak mana manfaat atau mudaratnya.

“Bangsa ini tengah banyak mengalami perselisihan yang tak kunjung tuntas. Makanya kerukunan perlu diperkuat bukan malah membikin perselisihan baru,” ujar Kiai Shomad yang juga ketua MUI Jatim tersebut.

Shomad menjelaskan, jika penafsiran Alquran menggunakan konsep hermeneutika dibiarkan bebas, syariat Isalam bisa hancur lebur. Itu akibat hasil pemikiran aqliyah dijadikan sebagai pijakan hukum syariat dan hukum kenegaraan.

“Hermeneutika itu awalnya dikembangkan oleh orang-orang barat untuk mengembangkan kitab sucinya. Lalu diambil dan dikembangkan  cendekiawan muslim untuk menafsirkan Alquran. Ini bisa berbahaya karena mengambil hukum hanya berdasar pada pemikiran yang penting berkeadilan semata,” tegasnya.

Menurut Kiai Shomad, perguruan tinggi merupakan pencetak kader bangsa yang andal. Kalau seperti ini, patut dipertanyakan karena meloloskan begitu saja tema-tema seperti ini. Padahal kalau hal-hal seperti ini justru yang dikembangkan negara dan umat ini bisa hancur.

“Kasus ini harusnya menjadi tantangan bagi Perguruan Tinggi Islam. Ke depan, tema-tema skipsi dan disertasi seperti ini tak boleh lagi  dikembangkan karena memaknai penafsiran tanpa literatur,” bebernya.

Penafsiran Alquran periode pertama terjadi sekitar abad ke-3 Hijriyah dimotori oleh Ibnu Jarir. Kemudian jeda cukup lama hingga pertengahan tahun 1200 Hijriyah sehingga dinamakan era baru penafsiran Alquran.

“Dari banyak tokoh tafsir era baru tersebut tak ada satu pun yang menggunakan tafsir hermeunetika. Seperti tafsir Jalalain, Ibnu Katsir dan lain-lain, saya kira kalau menurut ulama-ulama tafsir itu, ya jelas kita tolak keras disertasi seperti itu,” tegas Kiai Shomad.

 

Jadi Bahasan MUI Pusat

Shomad menambahkan, desertasi tersebut akan dibahas dalam rapat MUI Pusat pada 3 September mendatang. “Secara sepintas saja, kalau kita melihat dalil tema yang diangkat dalam desertasi itu dilarang karena sudah keluar dari rel. Bahkan orang ini perlu disadarkan,” imbuhnya.

Kendati demikian, Kiai Shomad mengakui tema-tema seperti ini sebelumnya sudah ada khususnya menyangkut hubungan seksual sejenis dan sebagainya. “Yang saya lihat penggagasnya adalah orang liberal semua. Karena itu MUI mengeluarkan fatwa tahuun 2005 bahwa liberalisme, pluralisme, dan sekularisme agama itu haram. Ini untuk membentengi kemurnian syariat Islam di Indonesia,” tegasnya.

Ditambahkan, tema-tema seperti yang dibahas desertasi Abdul Aziz itu juga dapat merusak dakwah Islam. Apalagi ada sekitar 80 juta generasi muda di Indonesia. Sehingga kalau wawasan seperti ini dikembangkan pergaulan bebas anak muda akan semakin marak.

“Apalagi kalau dihubungkan dengan maqosidus syariah, yakni hifdzul aqli (menjaga akal), hifdzul nasl (keturunan), dan hifdzul nafs (jiwa),” kata kiai kharismatik asal Surabaya tersebut.

 

Antara HAM dan Islam

Ia juga pernah mempelajari masalah HAM. Prinsip utama HAM yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf (J) itu menjelaskan bahwa HAM itu ada batasannya, yakni tidak boleh melanggar hak asasi orang lain, melanggar moral, agama, dan undang-undang.

Bahkan hal itu diperkuat melalui UU No.39 tahun 1999 Pasal 73 yang identik dengan Pasal 28 huruf (J) UUD 1945 dimana membagi HAM menjadi dua yakni internum dan eksternum.

“Internum itu ya sifatnya Islam kalau membahas Islam itu tidak dilarang. Termasuk kalau kita mempelajari Alquran secara mendalam itu tidak dilarang. Tapi sekarang hal itu diviralkan sehingga menjadi ramai,” ungkapnya.

Kiai Shomad mengajak seluruh bangsa untuk ikut mengawal kebebasan yang mengatasnamakan HAM. Bahkan pihaknya akan mengusulkan kepada MUI supaya ikut mengawal kebebasan berpikir di kalangan cendekiawan kampus supaya kebebasan ilmiah tidak keblablasan karena akan membahayakan. ud, tmp

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry