Dr L.M Syahril Majidi,MM – Dosen FEBTD, Praktisi Bisnis, Pengamat Pasar Modal dan Keuangan

PANDEMI Covid 19 telah mengakibatkan berbagai sektor ekonomi terpuruk, terlebih untuk sektor transportrasi. Saat-saat menejelang lebaran sepderti sekarang ini, sebenarnya adalah saat-saat panen sektor ini.

Namun karena pandemi maka pemerintah juga melarang mudik, sehingga sektor ini lebih merasakan dampaknya. Maklumlah prioritas nyawa manusia lebih utama dari pada uang yang dapat dicari pada kesempatan di masa mendatang.

Salah satu perusahaan yang sangat kita kenal di sektor transportasi adalah Garuda Indonesia Airways (GIA) atau kode perdagangan sahamnya GIAA. Perusahaan BUMN yang bergerak di bidang penerbangan, berposisi sebagai perusahaan pembawa bendera negara (flag carrier), karena itu negara mempertaruhkan reputasinya pada eksistensi perusahaan ini.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa 

Artinya, apapun yang terjadi, dan berapapun biayanya, pasti ditalangi oleh negara. Setidak-tidaknya hal demikian ini menjadi keyakinan para pelaku pasar di pasar modal.

Malang tak dapat ditolak untungpun tak dapat diraih, pandemi covid 19 telah menjadikan modal saham atau di sisi neraca sering disebut dengan istilah own equity GIAA mengalami modal negatif.

Modal negatif terjadi karena cadangan atau catatan  kerugian yang melampui modal yang disetorkan. Situasi seperti ini menjadikan siapa saja yang menjadi pemegang saham malah akan menanggung sejumlah hutang jika perusahaan mengalami kebangkrutan atau pailit.

Catatan laporan keuangan keuangan menunjukkan bahwa sepanjang 9 bulan sampai dengan September 2020, GIAA mengalami kerugian usaha sebesar USD 1,103 juta atau sekitar Rp 16 triliun jika kurs USD = Rp 14.500, catatan kerugian ini selama 9 bulan.

Jika diprediksi setahun maka kerugian akan dapat mencapai Rp 21 triliun. Sebelum adanya pandemi, GIAA sempat membukukan keuntungan bersih sejumlah USD 181,5 juta atau dengan kurs yang sama senilai Rp 2,6 triliun.

Dengan keuntungan sejumlah tersebut maka kerugian yang sempat terjadi beberapa tahun sebelumnya yang mencapai USD 856 juta atau Rp 12,4 triliun sebagai akibat kebijakan yang salah sedikit demi sedikit tertutupi, sehingga posisi modal sendiri perusahaan plat merah ini  masih positif USD 721 juta atau Rp 10,45 triliun. Kini akumulasi kerugian itu semakin membengkak menjadi USD 1.817 juta atau senilai Rp 26 triliun, sehingga modal disetor GIAA yang sejumlah USD 1,310 atau senilai Rp 19 triliun menjadi minus Rp 7 trilun.

Tentu saja konsisi ini menjadikan beban menejemen  GIAA semakin tambah berat, apalagi pandemi covid 19 tak kunjung berlalu. Jika di tahun 2019 GIAA untung sebesar Rp 2,6 Triliun dan seumpama kondisi seperti tersebut berlangsung pasca pandemi, maka GIAA membuutuhkan waktu sekitar 2,5 tahun untuk mengembalikan modal menjadi nol.

Kondisi di tahun 2021, kita masih tetap dalam situasi pandemi, walaupun mungkin saja situasinya akan ada sedikit perbaikan karena sudah dimulainya program vaksinasi di seluruh dunia. *(bersambung)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry