“Pembunuhan demokrasi Pancasila melalui perampasan hak konstitusional partai gurem ini, hanyalah satu tanda kecil betapa ganasnya pemodal mengendalikan pemerintahan negara kita.”

Oleh: Choirul Anam*

DI ANTARA tanda-tanda kerusakan sistem demokrasi Pancasila, salah satunya, adalah pemilihan langsung. Presiden Wakil Presiden, Gubernur Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya dipilih rakyat secara lagsung. Begitu pula anggota DPR dan DPD RI. Meski semua calon pemimpin bangsa dipilih secara langsung, tetap saja tak boleh lepas dari campur-tangan parpol sebagai pengusung.

Parpol yang boleh/bisa mengusung calon pemimpin itu pun dibatasi jumlahnya. Juga diberlakukan PT (Parliamentary Threshold—ambang batas masuk pintu parlemen), dan selanjutnya dipatok pula President Threshold—ambang batas parpol yang bisa mengusung Capres-Cawapres serta penggede lainnya.

Disinilah awal terjadinya konspirasi jahat antara pemodal, penguasa dan pimpinan parpol. Berapa jumlah parpol yang boleh hidup dalam sistem presidensial yang kita anut, ditentukan berdasar “nego harga” dengan pemodal. Setelah harga disepakati, barulah “aktor” politisi Senayan “dimainkan” untuk merevisi UU Parpol, UU Pemilu—termasuk “menjinakkan” KPU sebagai penyelenggara Pemilu.

Pada mulanya, pasca amandeman UUD 1945, elite penguasa, parpol dan pemodal, melontarkan isu perlunya menciptakan sistem politik, sistem demokrasi dan sistem pemerintahan yang kokoh kuat. Lalu disepakati sistem presidensial yang telah dipilih, harus dilaksanakan dengan genuine agar tidak mudah jatuh bangun seperti zaman parlementer. Segala macam infrastruktur politik yang tidak compatible dengan presidensial, harus segera dilucuti.

Dengan dalih memperkokoh sistem presidensial, maka sistem kepartaian mutlak disederhanakan. Dan jumlah partai politik harus dibatasi sesuai kesepakatan “nego harga” dengan pemodal tadi. Bedanya dengan Orde Baru, penyederhanaan partai melalui fusi banyak partai seaspirasi sehingga menjadi tiga: Golkar, PDI dan PPP. Pembatasan jumlah partai pasca amandemen (Orde Reformasi), melalui verifikasi administrasi partai oleh KPU dengan persyaratan yang tidak mungkin dapat dipenuhi, kecuali ada campur tangan pemodal.

Contoh kasus pembatasan parpol secara ekstrem di Orde Reformasi, dilakukan menjelang Pemilu 2014. Setelah terjadi kesepakatan jahat tiga unsur tadi: penguasa, parpol Senayan (pemenang) dan pemodal, maka langkah pertama yang ditempuh adalah merevisi atau mengubah UU Parpol. Kala itu UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik diubah menjadi UU No. 2 Tahun 2011, yang salah satu pasalnya (Pasal 51 Ayat (1): “mewajibkan semua parpol berbadan hukum mengikuti verifikasi di Kemenkumham guna mendapat status badan hukum baru lagi”.

Akal sehat manusia langsung terkaget-kaget dan bertanya-tanya: apakah status badan hukum harus diperbaharui lima tahun sekali? Kenapa tidak disamakan dengan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) atau Akte Kelahiran anak manusia yang berlaku seumur hidup? Kenapa diperlakukan seperti SIM (Surat Izin Mengemudi) yang harus diperpanjang setiap habis masa berlaku lima tahunan?

Akhirnya, setelah ditelusuri, terungkaplah rahasia di balik pasal yang mewajibkan verifikasi parpol berbadan hukum itu. Bahwa dengan pemberlakuan pasal wajib verifikasi disertai persyaratan lebih berat lagi, maka parpol non-parlemen (partai kecil berbadan hukum namun tidak lolos parliamentary  threshold) langsung mati kejang. Kenapa?

Karena partai-partai gurem itu mlarat, miskin. Tidak memiliki dana untuk membiayai verifikasi yang sedikitnya butuh Rp 5 miliar. Inilah “pembunuhan” demokrasi secara halus oleh Orde Reformasi dengan dalih penyederhanaan partai guna memperkokoh sistem presidensial.

Kebutuhan biaya/dana untuk verifikasi Kemenkumham itu bisa dijelaskan dengan mudah. Misal saja, setiap parpol jumlah pengurus untuk tingkat pusat 40 orang. Lalu untuk pengurus tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, pukul rata 20 orang. Maka dengan UUP Parpol baru yang mewajibkan memiliki 100% pengurus di 34 tingkat provinsi akan ketemu jumlah pengurus 20 x 34= 680 personil.

Kemudian wajib memiliki 75% pengurus ditingkat kabupaten/kota akan ketemu angka 20 x 377= 7.540 personel pengurus. Dan wajib pula memiliki 50% pengurus di tingkat kecamatan, berarti 20 x 3.250 = 65.000 personel. Jadi untuk kepengurusan sebuah parpol berbadan hukum di Indonesa diperlukan jumlah personel (40 + 680 + 7.540 + 65.000 orang) = 73. 260 personel.

Untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh status badan hukum baru, seluruh personel harus menanda-tangani surat pernyataan kesediaaan menjadi pengurus di atas materai 6000. Jadi, untuk belanja materai saja ketemu angka Rp 6000 x 73.260 (surat pernyataan)= Rp 440 juta. Itu baru satu item persyaratan. Masih banyak item lain yang harus dipenuhi guna memperoleh status badan hukum baru. Dan semua itu harus ditempuh  dengan biaya/dana yang tidak kecil.

Misalnya, parpol berbadan hukum diwajibkan memiliki kantor sekretariat mulai dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota. Ini pasti memerlukan pembaharuan surat perjanjian jual-beli/sewa/pinjam dan dilengkapi surat keterangan domisili dari kelurahan. Masih juga diwajibkan adanya KTA (Kartu Tanda Anggota) parpol sebanyak seperseribu dari jumlah penduduk kabupaten/kota. Belum lagi persyaratan adanya rekening bank dll yang harus dipenuhi.

Nah, jadi, jika kewajiban verifikasi parpol berbadan hukum itu diberlakukan, partai kecil langsung pingsan dan bahkan tak tertolong jiwanya. Karena itu, delapan belas (18) parpol gurem lalu bangkit mengadukan nasibnya ke penjaga gawang demokrasi dan konstitusi negara. Mengajukan JR (Judicial Review)—uji materiil terhadap Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke MK (Mahkamah Konstitusi). Memohon kepada MK untuk membatalkan pasal yang mewajibkan verifikasi ulang status badan hukum parpol, karena bertentangan dengan UUD 1945.

Dan benar. MK mengabulkan permohonan parpol gurem yang tengah “dizalimi” konspirasi jahat: penguasa, parpol Senayan dan pemodal. MK lantas membatalkan pasal “akal-akalan” untuk “membunuh demokrasi” itu, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. “Oleh karena status badan hukum parpol masih diakui, maka harus tetap mendapat perlindungan konstitusional oleh UUD 1945,” tegas salah satu hakim MK.

Pendek kata, operasi “pembunuhan demokrasi” yang telah dirancang berbulan-bulan dengan menghabiskan dana miliaran dari pemodal, akhirnya gagal total. Malukah mereka, berhentikah “kejahatan” mereka, kapokkah mereka dan sadarkah mereka? Ternyata, tidak juga!

Skenario kedua langsung dimainkan secara lebih teliti dan canggih agar tidak senasib dengan yang dibatalkan MK. Kali ini agandanya adalah revisi atau perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif, diubah menjadi UU Nomor 8 Tahun 2012. Perubahan UU Pemilu ini dikatakan agak canggih, karena selain memakan waktu berbulan-bulan, juga disertai pertunjukan drama perdebatan para “tukang kusir”.

Parpol gurem pun sempat mengingatkan DPR agar dalam merevisi UU Pemilu tetap mempertimbangkan asas demokrasi Pancasila, dan tidak membawa pesan sponsor/pemodal. Delegasi parpol kecil sempat pula menyampaikan pokok-pokok pikran kepada Ketua DPR RI (waktiuitu Marzuki Alie), dan Ketua Pansus UU Pemilu Arif Wibowo serta kepada semua pimpinan parpol berkuasa di Senayan.

Tetapi, karena konspirasi untuk “membunuh” partai kecil sudah menjadi “sumpah bersama”, maka pokok-pokok pikiran yang disampaikan koalisi partai kecil dibuang ke tempat sampah. Lalu pada tanggal 12 April 2012 digelar sidang paripurna untuk mengesahkan perubahan, menjadi UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, yang sama sekali tidak mengakomodir sedikit pun pokok-pokok pikiran yang telah disampaikan koalisi partai kecil.

Perubahan UU Pemilu tersebut langsung berkekuatan mematikan partai kecil. Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 (sebelum diadakan perubahan) menjamin hak demokrasi dan hak konstitusional partai non-parlemen “menjadi peserta pemilu 2014”. Tetapi setelah diadakan perubahan menjadi UU Nomor 8 Tahun 2012, dalam pasal yang sama, hanya menempatkan parpol yang memenuhi ambang batas parleman (sembilan parpol Senayan) saja yang ditetapkan sebagai parpol peserta Pemilu 2014.

Perubahan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 diubah menjadi Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 sbb: ”Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu berikutnya”. Kemudian pada Pasal 8 ayat (2): “Partai Politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan.”

Dan persyaratan dimaksud adalah persyaratan lolos verifikasi administrasi maupun faktual yang diadakan oleh KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Di sinilah KPU mulai berperan lebih sebagai “algojo” konspirasi “jahat” tiga unsur tadi: penguasa, parpol berkuasa dan pemodal—sebagaimana pernah disinggung Ketua MPR RI Bambang Soesatiyo alias Bamsoet.

Pembunuhan demokrasi Pancasila melalui perampasan hak konstitusional partai gurem ini, hanyalah satu tanda kecil betapa ganasnya pemodal mengendalikan pemerintahan negara kita. Ini bisa terjadi karena, penerapan sistem pemilihan langsung pada sebuah negara berkembang (apalagi belakangan kabarnya masuk peringkat negara maju), yang tingkat kesenjangan ekonominya makin timpang. Yang kaya makin kaya, yang miskin tambah mlarat.

Sebuah negara yang mayoritas penduduknya hidup miskin dan rentan miskin, dan bahkan banyak yang menderita lapar kronis. Sebuah negara yang bergantung pada utang luar negeri maupun dalam negeri, dan kecanduan bahan pangan impor. Sebuah negara yang dihuni segelintir orang super kaya menguasai kekayaan negara hampir secara mutlak. Satu persen penduduk terkaya menguasai separuh kekayaan negara, dan empat orang terkaya mempunyai kekayaan setara dengan gabungan kekayaan 100 juta penduduk miskin. Nah, berarti, penerapan sistem pemilihan langsung sama halnya menyerahkan kedaulatan negara-bangsa kepada pemilik modal.

Dan upaya jahat pemodal  akan terus dilakukan secara terencana dan sistematis, bahkan mungkin sampai dengan masa yang akan datang.  Ini semua bisa terjadi, karena adanya amandemen UUD 1945 (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry