“Jangan berak-berok Gusdurian… Gusdurian, tapi nasehatnya tak pernah dijalankan. Dan ingat! Kedua orang tua yang telah mendahului kita itu, dengan mata batinnya yang tajam telah membedakan jati diri NU dengan parpol.”

Oleh: Choirul Anam*

SKENARIO 3: Pernyataan Sikap Pasca Muktamar. Sehabis gelaran muktamar, banyak pesantren dan kiai serta para intelektual NU prihatin. Mereka mengikuti, menyaksikan dan merasakan sendiri muktamar paling buruk, curang, penuh kekerasan itu.

Karena muktamar  berlangsung di luar akhlak NU, maka mereka menyatakan sikap mufaraqah—memisahkan diri  dari PBNU. Ibarat jama’ah shalat, produk muktamar Jombang tidak sah alias batal menjadi imam.

Meraka bukan hanya menilai proses pembentukan Ahwa dari segi fikih sebagai aqdun fasidun—akad (perjanjian) yang rusak dan haram digunakan. Tetapi dari sudut pandang demokrasi permusyawaratan pun cacat prosedur maupun substansi. Karena dilakukan dengan penuh rekayasa, penipuan, manipulasi, kekerasan dan penyusupan sistem NOKEN untuk NU Papua.

Selain menyatakan memisahkan diri, ada pula sejumlah tokoh NU yang berusaha mencari keadilan dengan menempuh jalur hukum.  Mereka (rupanya) masih sangat yakin dan percaya bahwa kekuasaan kehakiman bebas merdeka. Merdeka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang sebenar-benarnya. Bebas intervensi kekuasaan eksekutif maupun dari legislatif. Itu mah pengadilan era kejujuran tempo doeloe bro! Pengadilan zaman now? Hampir rata-rata (diduga kuat) berselingkuh dengan cabang kekuasaan lainnya. Dengan oligarki bahkan juga politisi.

Nah, setelah kandas, mereka baru tahu dan sadar, betapa rusaknya penegakan hukum di negeri ini. Hukum seolah hanya dinikmati elite berkuasa, sedangkan rakyat atau pihak yang lemah—sekalipun benar—menjadi mangsa serigala.

Apalagi ketika masuk sidang mediasi, mereka seolah dijebak dan ditawari politik dagang sapi ala politisi. Padahal inti persoalan bukan politik, tapi kejujuran dan moralitas. Bahwa muktamar telah nyata dan terbukti dilakukan di luar aturan, penuh penipuan, kekerasan dan manipulasi, serta bertentangan dengan akhlak nahdliyin. Semua itu fakta dan ada bukti. Tapi hukum dan hakim sudah kadung bercampur kekuasaan dan politisi.

Namun demikan, berkat do’a para kiai sepuh, dan rupanya Allah SWT masih ngeman NU diacak-acak politisi. Meski jalur hukum buntu, ternyata, masih ada seorang kandidat doktor yang tertarik meneliti. Tertarik untuk menjadikan muktamar Jombang sebagai obyek penelitian ilmiyahnya. Dr. Azizah kemudian melakukan penelitian dan wawancara kepada semua pihak yang terlibat muktamar buruk itu. Dan beberapa waktu lalu, disertasinya dipertahankan dalam sidang terbuka promosi doktor di Universtas Indonesia (UI) yang juga dihadri tokoh-tokoh NU.

Azizah dinyatakan lulus cum laude. Berhasil membuktikan secara ilmiah bahwa Mukatamar NU ke-33 di Alun-Alun Jombang, memang benar tidak berlangsung sebagaimana mestinya organisasi kemasyarakatan keagamaan NU. Muktamar gaduh, rusuh, diskrimanatif, penuh rekayasa dan pemaksaan sistem pemilihan baru (Ahwa) yang sangat tidak demokratis. Sehingga, hak-hak dasar sejumlah besar peserta muktamar (hak memilih, hak berbicara dan hak bersuara) tidak tertunaikan dengan baik.

Dan semua itu bisa terjadi karena adanya kooptasi politisi dalam NU. (KH. Shalahuddin Wahid—Allahu Yarham, Prof Dr KH Nasihin Hasan dan saudara Mukhlas Syarkun, hadir dalam sidang promosi doktor. Hanya saja, saudara Mukhlas belakangan mengaku kurang lengkap karena berangkat dari perjalanan luar negeri).

Jelaslah sudah, bahwa dari perspektif hukum fikih, kajian ilmiah maupun perspektif demokrasi prosedural dan substansial, muktamar NU Jombang tidak sah. Semua produknya batal demi NU. Tapi apakah PBNU hasil rekayasa muktamar Jombang tergerak nuraninya untuk memberikan klarifikasi? Sama sekali tidak! PBNU justru cenderung menuduh semua fakta dan bukti yang tidak terbantahkan itu sebagai fitnah.

Bukan hanya itu. Setelah sukses menata kepengurusan dengan menempatkan politisi pada pos-pos penting, segeralah NU dijaga dengan model menajemen parpol. Contoh paling mencolok, ketika mereka mendengar banyak ketua PC/PW NU akan menyatakan mufaraqah, langsung dilakukan penertiban ala partai. Bagi siapa saja yang tidak sejalan dengan kebijakan PBNU, akan dipecat atau diganti kader partai.

Begitu pula ketua PC/PW NU yang terpilih dalam Konfercab/wil (Permusyawaratan Kab-Kota/Provinsi), tidak otomatis bisa mendapatkan legalitas berupa SK PBNU. Mereka masih diwajibkan membuat surat pernyataan tambahan. Wow surat pernyataan tambahan apa itu bro?

Biasanya, yang berlaku di NU cukup dengan bai’at: sanggup menjalankan qonun asasi dan khtthah NU. Karena Sekjen PBNU tokoh politik, maka siapapun ketua PC/PW NU yang terpilih dalam forum tertinggi musyawarah daerah, wajib membuat surat pernyataan loyalitas penuh di atas materai, “memenangkan parpolnya Sekjen dalam segala even politik”.

Jika menolak bro? Tahulah akibatnya. Sudah banyak korban berguguran. Bagi yang berani menolak, pasti berurusan lama dengan Sekjen, dan dijamin tidak bakal menerima SK. Kemudian cepat atau lambat, pasti diganti orang lain dari kader partai.

Dengan demikian, aroma aktivitas NU sekarang berbau politik praktis. Karenanya jangan heran, jika ada sidang kasus korupsi yang didakwakan KPK, sempat menyebut aliran dana ke muktamar NU Jombang. Itupun belum termasuk yang sedang didalami KPK. Kelak nama baik NU pasti akan terseret ke jurang hinaan. Nau’dzubillahi min dzalik.

Dulu, ketika parpol made in warga NU itu dideklarasikan, di Jakarta (23 Jul 1998), Gus Dur mewanti-wanti, begini: ”Tentu saja keterlibatan orang-orang NU dalam parta ini, atau partai lain yang disenanginya, tidak boleh mengganggu Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah. Saya sebagai Ketua Umum PBNU, akan melakukan pinalti dan tindakan yang keras kepada mereka yang mencoba mengganggu NU. Silahkan jungkir-balik di partai, tapi NU jangan diusik-usik”.

Rais Aam KH. Muhammad Ilyas Ruchiyat waktu itu juga sempat memberikan nasehat: ”…Do’a kami sebagai orang tua: semoga partai ini membawa kemaslahatan bersama. Semoga menjadi partai yang betul-betul mampu menyerap peri-kehidupan rakyat Indonesia. Adapun NU, biarlah tetap dengan jati dirinya. Biarkan NU dengan pengabdiannya yang lumintu pada dakwah, pendidikan dan pengembangan pesantren. Jangan bawa-bawa NU dalam percaturan yang tidak sesuai dengan jati dirinya.”

Apa yang dituturkan Rais Aam KH.Muhammad Ilyas Ruchiyat, dan Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mestinya dipegang teguh elite politik maupun elite NU di semua level.

Jangan berak-berok Gusdurian… Gusdurian, tapi nasehatnya tak pernah dijalankan. Dan ingat! Kedua orang tua yang telah mendahului kita itu, dengan mata batinnya yang tajam telah membedakan jati diri NU dengan parpol. Paradigma NU dengan parpol, dasar pijak NU dengan parpol, kepentingan NU dengan parpol itu mah beda bro! Jangan dicampur-aduk, kuwalat bro!

Meski telah banyak yang mengingatkan, banyak pula kritik lisan maupun berupa tulisan, namun oknum-oknum elite yang kini memimpin NU tetap saja pura-pura tidak mendengar. Kalau toh sempat merespon, justru cenderung menganggap sebagai fitnah. Apalagi tokoh-tokoh NU yang masuk jajaran struktur level bawahnya. Mereka sudah diikat dengan model kontrak kesetiaan penuh. Sehingga tampak galak membela mati-matian pemimpin atasnya, karena disorot membawa-bawa NU dalam arena perpolitikan yang  tidak sesuai jati dirinya.

Para pembela membabi-buta itu menggunakan slogan “the king do no wrong”—pemimpin tidak boleh salah atau disalahkan. Pemimpin, apalagi ulama-ulama besar, harus dan wajib dibela mati-matian karena menyangkut nama baik NU. Inilah yang dalam tulisan ini disebut HUB. Kreasi baru kaum liberal dan politisi—juga diselipi misi oligarki—masuk ke jantung NU.  Apa itu HUB bro! Apa bedanya dengan HIP…HAP dan PIP? (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry