SURABAYA | duta.co – Covid-19 telah ‘mengantarkan’ ratusan kiai pondok pesantren ke ‘Pangkuan’ Ilahi Robbi. Salah satunya: KH M Muhammad Fuad, SH. Ia meninggal Ahad (6/12/20) lantaran Covid-19, usai mendampingi peserta MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) ke-28 di Padang akhir tahun kemarin.

Senin (18/1/21) malam, jamaah Jamiyyatul Qurro Walhuffadz Masjid Roudhotul Musyawarah, Kemayoran, Surabaya menggelar Doa Bersama dan Lailatul Qiro’ah, mengenang wafatnya qori terbaik Nasional di MTQ Palembang tahun 1975 itu.

Nama M Fuad begitu dikenang kalangan qori Jawa Timur. Muridnya menyebar di hampir seluruh daerah. Lelaki berdarah Madura ini, juga dikenal sebagai guru qori yang ikhlas, jauh dari gemerlap dunia.

“Saya memanggilnya Mas Fuad. Dia santri ikhlas, menguasai ilmu Alquran. Sangat tawadhu, rendah hati, tidak sombong, tidak angkuh,” begitu komentar Tjetjep Muhammad Yasin alias Gus Yasin kepada duta.co, Selasa (19/1/21).

“Kata ayah saya (almaghfurlah KH Drs Moh Machfuddin Aladip pejabat Departemen Agama Jatim red.) dia tidak mau berebut posisi (jabatan), baik dalam kantor mau pun sosial kemasyarakatan,” tambah Wakil Ketua Umum Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN) tersebut.

Jarang yang paham. Ternyata qori ternama M Fuad ini, juga menjadi kebanggaan almaghfurlah KH Musta’in Romli, Rejoso, Jombang. Kisah ini disampaikan KH Mudjib Musta’in (Rektor Universitas Darul Ulum Jombang) pada 20 Agustus 2017 silam.

Sebagaimana diunggah akun youtube @Logat Jawa, 12 Setember 2017 melalui video bertajuk: ‘Bakalan Nyesel Kalo Gak Lihat Ceramah KH Mudjib Musta’in’, saat berlangsung Pendadaran Trisula Universitas Darul Ulum, Jombang 20 Agustus 2017.

“Kalau kita mau jujur, almaghfurlah KH Musta’in, punya Pondok Pesantren Darul Ulum dengan santri kira-kira pada tahun itu, melejit terbesar di Kabupaten Jombang. Saat itu ada sekitar 3000 siswa atau murid atau santri yang belajar di Rejoso,” demikian Gus Mudjib panggilan akrabnya.

Sebenarnya, tahun 1965, jelasnya, sudah dirintis Universitas Darul Ulum (Undar). Tahun 1973, Undar baru berdiri untuk menyongosog masa depan pendidikan. Sehingga lahirlah PGA (Pendidikan Guru Agama), Tsanawiyah, Aliyah, SMA dan seterusnya.

“Undar membuat ‘ledakan’, sehingga dari pondok pesantren bisa ditampung ke Undar. Pondok yang semula salafi menjadi al-jadidi. Dan, tentu, adanya perguruan tinggi itu, juga pro dan kontra. Itu selalu. Dalam semua hal, pasti ada pro dan kontra,” jelasnya.

Saat itu, masih menurut Gus Mudjib, Rejoso sudah menjadi pusat pendidikan. Santrinya 3000, jamaah tarekat merambah sampai Lampung, bahkan Malaysia. “Jumlahnya jutaan (7 jutaan). Apa yang terjadi? Mengambil sebuah ijtihad, tahun 1975, 1976, 1977, Kiai Musta’in masuk Golkar. Dan apa yang terjadi? 3000 siswa itu habis (keluar), tinggal tiga ratusan, susut (berkurang banyak), yang keluar 90 persen,” urainya.

Tidak ada yang bisa memahami ijtihad (Kiai Musta’in) ini. “Yang dari Madura marah. Katanya, bodoh, kiai kok masuk Golkar. Mestinya melbu (masuk) PPP. Pondok seperti itu, wow… kepet (najis), tarik (santrinya)! Pasuruan juga geger. Katanya, ini namanya pelecehan, pondok salaf kok kumpul dengan pemerintah yang konon, bla.. bla.. bla.. bla… Akhirnya tinggal kisaran 300 orang,” tambahnya.

Nah, lanjutnya, pada bulan ramadhan, pada saat hari raya, semua santri sudah habis, pulang semua. Masih pada tahun 1977 itu, tiba-tiba ada beberapa orang (rombongan) datang dari Madura, maunya tabayun, klarifikasi, menanyakan sesuatu yang tidak jelas kepada sumbernya, Kiai Musta’in.

Begitu datang, ada satu mobil dari Madura, maunya memberikan advis (saran), solusi, nasehat, bahwa, Pak Yai mohon maaf, apa ndak sayang Pak Yai masuk Golkar? Undar jadi sepi, Rejoso apalagi.

“Ketika itu, di situ, ada satu orang, namanya Muhammad Fuad. Dia qori juara di Manado tahun 1975. Langsung, ayah saya bilang begini: Mulai kapan kamu biji (menilai) guru,” jelas Gus Mudjib sambil menerangkan bahwa, Kiai, kalau marah akan keluar sombongnya, keluar gayanya, keluar tidak mau kalahnya.

“Mulai kapan kamu biji (nilai red) guru, mau boyong semua, gak peduli aku.  Punya santri Fuad satu ini saja, aku sudah cukup,” demikian Kiai Musta’in sebagaimana ditirukan Gus Mudjib.

Lalu, lanjutnya, Fuad ditanya, “Ad, koen kate lapo? (Ad kamu mau apa? Red),” tanya Kiai Musta’in.

Jawab Fuad: “Bade pamit wangsul (mau izin pulang red).”

Kiai Musta’in langsung menimpali. “Mulio Ad, mengko sore koe teko pondok maneh (Pulanglah Ad! Nanti sore kamu kembali ke pondok lagi red). Rewangono aku! Ambek awakmu tok, gak opo-opo kabeh boyong (Bantu saya, dengan kamu saja sudah cukup. Silakan pulang semua, tidak apa-apa, red.).”

Apa yang terjadi? “Fuad pagi pulang ke Madura, halal bi halal dengan keluarga, setelah itu, sore sudah balik lagi ke pondok. Artinya apa? Yang diuji apa? Adalah sebuah ketaatan untuk menjadi minassholihin itu,” jelas Gus Mudjib.

Selama jalan M Fuad, Allahummaj’al qobrohu rowdotam miriyadil jinan wala taj’al qobrohu khufrotam min khufrotin niron, amin.  (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry