“Ada KH Ma’ruf Amin. Penanganan Covid-19 akan lebih berhasil jika memanfaatkan peran ulama. Dalam posisi inilah  sebaiknya presiden menempatkan Wapres Ma’ruf Amin pada posisi yang semestinya.”

Oleh Nurudin

SAAT negara ini mulai dihebohkan dengan virus corona covid-19 sampai usaha penanganannya, kita jarang melihat peran dari Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin. Pak Kiai itu pernah menjadi bahan pembicaraan saat berkelakar bahwa susu kuda luar bisa menangkal virus corona. Sejak saat itu jarang muncul di permukaan berkaitan dengan kebijakan penanganan virus ini.

Yang sering kita baca dan simak dari media wakil pemerintah; para menteri, gugus tugas selain presiden itu sendiri. Memang, tugas Wapres tidak berkaitan langsung dengan penanganan virus. Namun sebagai bagian dari pemerintah maka publik menjadi bertanya-tanya ada apa dengan posisi Wapres? Mengapa pula jarang dilibatkan dalam pengumuman resmi terkait penanganan virus covid-19?

Idealnya saat presiden mengumumkan kebijakan resmi, Wapres dan para menteri akan ikut di dalamnya. Lalu kita juga bertanya apakah Wapres memang tak punya wewenang mengurusi kebijakan virus covid-19 atau memang sengaja “disembunyikan”?

Berkaca Pada Program KB

Biar tidak menjadi perdebatan istilah, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa itu ulama dan fungsi-fungsi yang mengitarinya. Secara harfiah dan umum, ulama bisa diartikan sebagai orang yang ahli di bidang pengetahuan agama Islam. Sementara itu ada yang mengartikan bahwa ulama itu orang yang mengamalkan ilmunya. Jika dia tidak mengamalkan ilmunya seseorang tidak bisa disebut ulama. Mengapa? Karena sekarang banyak orang yang dengan mudah disebut dengan ulama tetapi tidak mengamalkan ilmunya.

Istilah ulama sendiri bisa diseberangkan katanya dengan kata cendekiawan. Cendekiawan bisa diartikan secara singkat sebagai orang yang ahli di bidang ilmu umum.  Meskipun sebenarnya pembagian ini terasa janggal dan serampangan, untuk tulisan ini kita coba garisbawahi perbedaan keduanya sebagaimana dijelaskan di atas.  Sebab ada ulama sekaligus cendekiawan atau sebaliknya.

Saat ini seoran ulama pun tidak hanya akan berkutat pada ilmu agama, tetapi juga ilmu umum atau memakai ilmu agama untuk mencapai kesejahtaraan umum. Seorang yang selama ini disebut ulama dan terlibat dalam bidang umum maka ia akan mengamalkan ilmunya tidak hanya untukyang beragama Islam atau mengamalkan ilmu-ilmu agama Islam. Ia akan terlibat mengamalkan ilmu Islam untuk masyarakat umum. Apalagi Islam itu rahmatan lil alamin.

Lalu apa kaitannya antara peran ulama dengan kehidupan berbangsa dan bernegara serta kemasyarakatan? Jawaban atas pertanyaan ini ada kaitannya dengan peran ulama dalam usahanya untuk ikut mengatasi virus corona covid-19.

Kaitannya dengan peran ulama dan kebijakan negara, kita diingatkan pada program Keluarga Berencana (KB) yang pernah disosialisasikan pemerintah pada tahun 1970-an. Program ini bagus,jika dilihat dari usaha untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pemerintah juga mempunyai dana untuk mewujukannya. Namun di awal perkembangannya, program ini tidak berjalan baik. Meskipun sosiasisasi sudah  gencar dilakukan.

Apa yang menyebabkan itu semua? Salah satunya tidak memanfaatkan para pemuka pendapat —  sebut saja salah satunya ulama —  dalam sosialiasai tersebut. Hal ini pentin dipertimbangkan karena waktu itu mayoritas masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan.

Di desa, program ini ditolak karena  masyarakatnya masih mempunyai motto hidup, “banyak anak banyak rejeki”. Sementara itu, KB membatasi kelahiran yang berarti juga membatasi rejeki mereka.

Sementara itu pola hidup masyarakat terkait kamajuan, masih menggantungkan kehidupannya pada peran ulama itu. Jadi, apa ulama masih memberikan andil bagaimana masyarakat itu harus melakukan ini dan itu. Maka program KB pun tidak sesukses yang diinginkan pemerintah.

Kemudian, program KB baru berjalan dengan baik saat pemerintah sudah menggandeng ulama. Peran ulama ini sangatlah penting dalam menyukseskan program KB. Bahkan dimana-mana digalakkan kampanye bahwa “KB halal dan sah menurut agama”. Ulama pun ikut menghimbau pada masyarakat untuk melaksanakan KB. Motto “banyak anak banyak rejeki” mulai terkisis sedikit demi sedikit. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa kebijakan pemerintah akan bisa berjalan baik manakala menggunakan peran ulama.

Bukan Ban Serep

Terkait penanganan pencegahan covid-19 ini hampir ada kemiripan dengan program KB tahun 1970-an tersebut. Tidak saja komunikasi publik pemerintah kacau, tetapi juga implementasi kebijakannya kurang bagus. Komunikasi publik kacau terlihat dari adanya silang pendapat antar pejabat pemerintah. Perbedaan itu semakin membuat gaduh, sementara yang kita butuhkan adalah sumber terpercaya.

Lihat misalnya komentar Menkes, Menhub, Menko Maritim yang kadang berbeda dengan pernyataan presiden. Para menteri itu bersikap seolah menantang publik saat  ada kritik dari masyarakat. Ini membuat suasana semakin rumit. Kasus wacara mudik dan pulkam juga menjadi contoh menarik dalam hal ini.

Implementasi kebijakan pemerintah juga kurang mengena. Banyak kebijakannya yang terkesan tambal sulam. Misalnya, kebijakan social distancing tak membuahkan hasil lalu muncul Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB belum membuahkan hasil bagus, muncul kebijakan PSBB yang diperlonggar, lalu dipaksa  sudah memasuki era new normal. Inilah kebijakan yang lebih menitikberatkan aspek ekonomi sementara kondisi keuangan negara kita selama ini juga sedang tidak stabil. Itu belum termasuk pembatasan soal penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada kesulitan ekonomi negara.

Corona ini memang keniscayaan. Kita tak bisa lepas dari itu. Yang dibutuhkansekarang adalah apa yang harus dilakukan ke depan? Jika Maka, kita fokus bagaimana caranya di masyarakat ada kesadaran untuk cermat, teliti, dan waspada atas virus corona ini. Salah satu cara yang belum maksimal dilakukan adalah memanfaatkan ulama. Mengapa? Ketidakpatuhan masyarakat akan bisa ditepis jika ulama ikut berperan. Kita lihat selama ini himbauan untuk sholat Jumat di rumah saja masih dilanggar. Shalat taraweh (1441 H) juga tetap dilakukan.

Hal ini tidak akan terjadi manakala masyarakat umum itu menuruti ulamanya. Terutama sekali masyarakat yang secara mayoritas masih tinggal di pedesaan. Dalam posisi ini pula, sebaiknya presiden menempatkan Wapres Ma’ruf Amin pada posisi yang semestinya. Kapasitas Wapres sebagai ulama akan punya kekuatan kuat untuk melakukan itu. Ia bukan sebagai “penghias” kepentingan politik semata. (*)

Nurudin adalah dosen Ilmu Komunikasi Universits Muhammadiyah Malang (UMM)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry