Keterangan foto nusabali.com

SURABAYA | duta.co – Produksi kedelai di Jatim selalu defisit. Ini karena tanaman kedelai termasuk jenis tanaman sub tropis. Tidak hanya di Jatim, ini juga terjadi di daerah lain di Indonesia.

“Sehingga kalau di tanam di Jatim butuh biaya yang tinggi dan harga jualnya tidak sebanding, sehingga petani ada rasa enggan menanam beralih ke komoditi lain. Welain itu risiko terkena hama lebih besar ketimbang tanaman padi,” ungkap Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur Hadi Sulistyo.

Hadi menambahkan sesuai data prognosa Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim menunjukkan selama tahun 2022 produksi kedelai di Jatim mencapai 70.660 ton dengan luas panen 39.478 hektar. Sementara itu konsumsi mencapai 292.152 ton sehingga defisit 221.492 ton.

Pada Januari 2022 produksi kedelai di Jatim mencapai 436 ton dengan luas panen 256 hektar. Sementara itu konsumsi mencapai 24.346 ton sehingga defisit 23.910 ton. “Kemudian Februari 2022 produksi kedelai di Jatim mencapai 1.528 ton dengan luas panen 1.067 hektar. Sementara itu konsumsi mencapai 24.346 ton sehingga defisit 22.818 ton,” katanya.

Menurutnya untuk peningkatan produksi kedelai lokal di Jatim saat ini dilakukan dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal dengan penyediaan lahan pertanian untuk kedelai secara maksimal dan proporsional terutama di wilayah sentra kedelai seperti Bojonegoro, Banyuwangi, dan Jember. Dalam hal ini masing-masing wilayah sentra dengan pembinaan dari dinas terkait mengatur pola pertanaman di lahan-lahan pertanian untuk tanaman kedelai bergantian dengan komoditas pertanian lainnya.

Selain itu, upaya yang dilakukan adalah mendorong peningkatan produktivitas kedelai. Yakni penanaman intensif bisa dilakukan dengan cara penggunaan benih unggul bersertifikat serta perlindungan tanaman kedelai secara optimal. “Strategi lain yang sedang direncanakan adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan kering dan juga mengatur pola pertanaman seperti melakukan tumpangsari atau tumpang sisip antara komoditas jagung dengan kedelai sehingga produktivitas meningkat. Untuk perluasan areal tanam baru, sedang diupayakan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga lain seperti Perhutani untuk dapat dilakukan penanaman kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan,” jelasnya.

Kadin: Kurang Serius

Diketahui polemik fluktuasi harga kedelai impor yang mengakibatkan gejolak pada tingkat masyarakat bawah menjadi kasus klasikal yang terus terulang. Saat ini, harga kedelai impor kembali melonjak menjadi Rp 11.000 per kilogram, naik dari harga normal sekitar Rp 9.000 per kilogram. Akibatnya, terjadi gejolak pada pengrajin tahu dan tempe hingga mereka melakukan aksi mogok produksi.

Kondisi seperti ini menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto harusnya tidak akan terulang kembali jika pemerintah serius dalam mewujudkan program swasembada kedelai dalam negeri.

“Ini karena Pemerintah tidak serius dalam mewujudkan swasembada kedelai nasional. Padahal swasembada pangan adalah hal mutlak yang harus dicapai oleh sebuah negara untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri,” tegas Adik.

Menurutnya seharusnya, komitmen untuk mewujudkan swasembada kedelai diwujudkan dengan membuat peta besar peningkatan produksi kedelai nasional secara terukur. Namun dari data yang ada menunjukan produksi kedelai  dalam neegri justru terus menurun. Di Jawa Timur misalnya, pada tahun 2018 produksi kedelai Jatim mencapai sekitar 240 ribu ton, tahun 2019 turun menjadi sekitar 120 ribu ton. Dan di tahun 2020 produksi kedelai bertambah turun menjadi 57.235 ton, padahal konsumsi kedelai Jatim tahun 2020 mencapai mencapai 447.912 ton.

“Artinya, program swasembada kedelai yang didengung-dengungkan pemerintah tidak jalan. Produksi kedelai justru semakin turun dan defisit kian tinggi. Harusnya, pemerintah memiliki starategi yang terukur melalui peningkatan produksinya dalam setiap tahun,” ujarnya.

Apalagi pemerintah sebenarnya memiliki balai penelitian yang harusnya mampu menemukan varietas kedelai yang bisa ditanam di negara tropis dengan tingkat produktifitas yang tinggi.

“Pertanyaan saya, dalam situasi yang sampai sekarang belum mencapai swasembada kedelai, apakah balai penelitian tersebut sudah menemukan varietas yang seperti itu melalui rekayasa genetika?,” tanya Adik.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini mengatakan, sebenarnya di Jember ada satu perusahaan lokal yang sudah berhasil mengembangkan kedelai dengan kualiats dan produktivitas yang hampir menyerupai kedelai impor.

“Kedelai ini kan tanaman tropis, sehingga produktivitasnya rendah jika ditanam di Indonesia. Jika di Amerika produktivitas tanaman kedelai bisa mencapai 5 ton per hektar, maka di Indonesia produktivitasnya hanya mencapai 1,3 ton hingga 1,5 ton per hektar. Dengan rekayasa pembenihan, maka prodiktivitas benih kedelai yang dihasilkan oleh perudahaan lokal di jember ini bisa mencapai 3 ton hingga 3,2 ton per hektar,” katanya.

Namun dukungan dari pemerintah untuk menyebarluaskannya masih belum terlihat. Menurut Adik harusnya dari varietas yang ditemukan tersebut, ada upaya kerjasama dan dukungan dengan membuat demplot varietas kedelai tersebut di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

“Dari sini, pemerintah juga harus memberikan pendampingan yang serius agar petani mau dan paham bagaimana menanam kedelai dengan baik. Karena jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka saya yakin kita akan sepenuhnya tergantungan pada kedelai impor,” pungkasnya. (zal)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry