Oleh: Dr H Ahmad Siboy SH MH*

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 telah menjadi Pilkada serentak yang terpaksa harus digelar dalam kondisi alam yang “kurang” merestui. Penyelenggaraan Pilkada yang sebelumnya di rencanakan pada bulan sepetember terpaksa diundur pada bulan Desember karena Covid-19. Penundaan penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah merupakan bentuk kompromi antara manusia dan alam. Alam yang sedang didera Corona tentu tidak “menginginkan” adanya penyelenggaraan Pilkada mengingat Pilkada akan memaksa manusia untuk keluar rumah demi menggunakan hak pilihnya.

Di sisi lain, penyelenggaraan Pilkada membutuhkan kepastian kapan akan digelar. Sebab, penyelenggaraan Pilkada berkaitan dengan suksesi kepemimpinan di tingkat lokal yang berefek kepada legitimasi pimpinan daerah.  Penyelenggaraan Pilkada tentu tidak dapat dibiarkan tanpa kepastian dari Corona yang tidak kunjung memberi sinyal kapan akan sirna.

Menurut Menkopulhukam, Madud MD, tetap digelarnya pesta demokrasi atau Pilkada bertujuan agar dapat melahirkan kepala daerah definitif. Artinya, kepala daerah itu harus definitif, sehingga harus segera digelar Pilkada. Kepala daerah defintif hanya diperoleh melalui proses pemilihan secara langsung.

Argumentasi mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan argumentasi yang tepat dalam perspektif  hukum. Sebab, pengisian jabatan kepala daerah hanya melalui pemilihan kepala daerah dan apabila tidak diselenggarakan pemilihan kepala daerah maka secara otomatis kepala daerah baik Gubernur, Bupati atau Wali Kota akan diisi oleh pelaksana tugas (Plt) atau bukan pejabat definitif. Kedudukan Plt kepala daerah dengan kepala daerah definitif tentu dua hal yang berbeda terutama berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki. Plt kepala daerah tentu tidak dapat menjalankan beberapa kewenangan yang merupakan kewenangan mutlak dari kepala daerah definitif. Bersamaan dengan itu, legitimasi sosial pelaksanan tugas kepala daerah tentu sangat rendah padahal dalam kondisi yang seperti sekarang dibutuhkan legitimasi pejabat yang berkepastian hukum demi optimalisasi kerja-kerja organisasi perangkat daerah (OPD) yang hanya dapat dilakukan oleh kepala daerah definitif.

Atas dasar berbagai pertimbangan itulah kemudian, penundaan Pilkada dari bulan September ke bulan Desember dilegitimasi secara eksplisit dalam dua Pasal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang  Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang  Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun  2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-  Undang. Kedua pasal tersebut menyatakan:

Pasal 122A ayat (3) yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata  cara dan waktu pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan diatur dalam  Peraturan KPU; dan Pasal 201 A ayat ( 1 ) yang menyatakan “Pemungutan suara serentak  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi  bencana nonalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1): Pasal 201A ayat (2) yang menyatakan “Pemungutan suara serentak yang ditunda dilaksanakan pada bulan Desember 2020”.

Dengan ketentuan tersebut, maka perdebatan tentang penyelenggaraan Pilkada sudah harus diakhiri. Perpu tersebut merupakan kebijakan hukum yang wajib dipatuhi oleh siapapun atau tidak dapat diingkari dengan alasan tidak menghendaki Pilkada digelar di tengah kondisi bangsa yang masih didera Covid-19. Sebagai Negara hukum maka apa yang tertuang dalam hukum positif (ius contituentum) otomatis merupakan “harga mati” yang tidak bisa ditawar lagi untuk ditaati.

Tentu saja, penyelenggaraan Pikada lanjutan tahun 2020 tersebut tidak dapat di desain atau diselenggarakan dengan model penyelenggaraan Pilkada dalam kondisi normal. Penyelenggaraan Pilkada bulan Desember mendatang harus menyesuaikan dengan protocol kesehatan Covid-19. Protokol kesehatan wajib dipatuhi terutama pada aktivitas penyelenggaraan Pilkada yang melibatkan massa atau orang banyak. Berdasarkan pemetaaan, setidaknya ada 12 (dua belas) tahapan penyelenggaraan Pilkada yang melibatkan orang banyak. Yakni, pada tahapan Pelantikan PPK/PPS, Verifikasi Faktual, Pembentukan PPDP, Pemutakhiran Data Pemilih, Rekapitulasi data pemilih sementara dan data pemilih tetap, Pencalonan, Kampanye, Pembentukan KPPS, penyiapan dan pendistribusian Logistik, Pemungutan dan Penghitungan perolehan suara. Rekapitulasi penghitungan suara di semua tingkatan dan proses penyelesaian perkara perselishan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi.

Secara normative, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah lanjutan tahun 2020 tersebut telah memenuhi unsur prosedur atau aspek formalitas sehingga hasil dari penyelenggaraan Pilkada pada 9 Deember 2020 sah dimata hukum dan dalam perpspektif demokrasi prosedural.

Namun, membiarkan penyelenggaraan Pilkada pada bulan Desember sebatas memenuhi unsur demokrasi prosedural merupakan suatu hal yang sangat tidak tepat. Artinya, kalau hanya demokrasi prosedural yang dicapai maka tentu hal tersebut akan sangat merugikan penyelenggaraan Pilkada itu sendiri. Pilkada tidak akan memberikan makna apa-apa terhadap perubahan dan upaya peningkatan kesehjahteraan Rakyat. Pilkada terpaksa digelar hanya demi memenuhi sesuatu yang sifatnya formalitas belaka. Rasanya, akan ada kerugian secara nurani apabila hanya aspek formalitas yang dikedepankan. Ibarat orang menikah, tidak akan pernah terdapat kesenangan dan ketenangan apabila sebuah perkawinan digelar hanya dalam rangka untuk kebutuhan status di KTP semata tapi tidak didasari adanya ikatan cinta lahir dan batin dalam perkawinan tersebut.

Oleh karenanya, penyelenggaraan Pilkada pada 9 Desember tahun 2020 harus juga mampu meraih demokrasi substansial berupa penyelenggaraaan pemilihan kepala daerah yang merefresentasikan kedaulatan rakyat. Pilkada akan benar-benar merefresentasikan kedaulatan rakyat apabila rakyat selaku pemegang kedaulatan menggunakan hak pilihnya. Hak pilih merupakan perwujudan kongrit dari kedaulatan rakyat.

Menggunakan hak pilih dengan cara datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada tanggal 9 Desember merupakan sebuah dilema tersendiri. Dilema antara menjalankan hak sebagai pemegang kedaulatan atau mempertahankan keselamatan jiwa dari ancaman corona. Datang ke TPS untuk mencoblos tentu merupakan keharusan demi tercapainya Pilkada yang ideal. Namun, datang ke TPS tentu “tidak selaras” dari upaya menjaga diri dari ancaman corona mengingat kerumunan atau keluar rumah merupakan aktivitas yang berpotensi “mempertemukan” warga dengan virus corona.

*Penulis adalah Dosen Pascasarjana Unisma dan Penulis Buku Kontruksi Hukum Pilkada.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry