Ketua MPR Bambang Soesatyo menemui Presiden RI ke-5 Megawati. FT/liputan6.com

“Indonesia sudah resmi kalah ‘perang’, tanpa harus bertempur mati-matian. Akankah kita akan tetap diam saja, tanpa melakukan “serangan balas” untuk merebut kembali hak milik negara kita?”, pungkas Jenderal Suryo Prabowo bernada tanya.

Oleh: Choirul Anam*

PENGKHIANATAN terhadap “Pembukaan (dan) UUD 1945” rumusan founding father’s negara dan bangsa Indonesia, terutama ide-ide dan pemikiran Bung Karno, sebagaimana dituturkan Eyang Semar Sabdo Palon kepada Ki Ismoyo, adalah termasuk tanda-tanda bangkitnya para “Satrio Piningit” yang nanti akan memberi panishment kepada penguasa zalim.

Pengkhianatan itu, selain mengingkari cita-cita proklamasi kemerdekaan, juga “membuat Bapak Soekarno (demikian para tokoh spititual memanggil Bung Karno) sedih dan marah”. Hal itu bisa dilihat dan dijelaskan dengan me-review kembali pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang kemudian menjadi bahan utama panitia kecil BPUPK, dan selanjutnya disepakati dan disempurnakan pada sidang PPKI pertama, 18 Agustus 1945, yang dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno (ketua sidang) dan Drs. Moh. Hatta (wakil ketua).

Fakta sidang pertama PPKI, adalah bukti historis tak terbantahkan bahwa Bung Karno pada akhirnya sepakat dan bersetuju terhadap rumusan Pancasila sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan, yang kemudian terimplementasi dan tercermin pada pasal-pasal dan ayat-ayat dalam UUD 1945.

Dengan demikian, Pancasila yang benar adalah yang termaktub pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan dalam sidang pertama PPKI, pada 18 Agustus 1945, dan yang dipimpin sendiri oleh Bung Karno (ketua sidang) dan Moh. Hatta (wakil ketua).

Bagi pendukung upaya amandemen, yang senantiasa berargumen bahwa UUD 1945 sudah kuno, sudah tak mampu menjawab tantangan bangsa ke depan, dan bahkan dituduh sebagai penyebab keterpurukan bangsa, mungkin mereka kurang mempelajari dan melihat kualitas intelektual serta integritas dan jalan pikiran kenegaraan maupun kerakyatan para pendiri bangsa, baik ketika mempersiapkan proklamasi kemerdekaan maupun saat bermusyawarah membentuk Negara Indonesa Merdeka.

Atau, paling tidak, pendukung amandemen belum sempat melihat fungsi inteligensia atau kualitas intelektual yang berpadu dengan kekuatan integritas spirtual masing-masing anggota “Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan”, yang dibentuk Saikoo Sikikan, pada tanggal 1 bulan 3 tahun Syoowa 20 (2605) Dai Nippon”. Mereka bukan orang sembarangan, melainkan boleh dibilang “manusia pilihan” yang memliki keterpaduan intelektual dan spiritual yang tangguh. Di antara mereka banyak bergelar Profesor, Doktor, Mr, Ir dan KH yang sangat paham akan ragam konstitusi negara-negara di dunia.

Kalau pun UUD 1945 dikatakan sebagai UUD sementara atau dibuat secara super kilat, itu semata karena ketua sidang PPKI, Bung Karno, pada saat membuka sidang sudah mewanti-wanti: “bahwa kita duduk di dalam suatu zaman yang beralih sebagai kilat cepatnya”.

Karena itu, lanjut Bung Karno, “saya minta tuan-tuan sekalian, supaya kita pun bertindak di dalam sidang sekarang ini dengan kecepatan kilat. Janganlah kita tertarik oleh kehendak yang kecil- kecil… misalnya mengenai hal UUD, sedapat mungkin kita mengikuti garis-garis besar yang mengandung sejarah…atau mengikuti apa yang telah direncanakan oleh Dukuritu Zyunbi Tyoosakai…”

Nah, jadi, jika amandemen yang telah dilakukan sampai empat kali itu, hanya didasarkan pada pernyataan Bung Karno: bahwa UUD 1945 dibuat secara kilat dan bersifat sementara, sungguh sangat naif. Karena faktanya, UUD 1945 telah membuktikan diri sebagai pusaka pemersatu bangsa, sekaligus mampu menjaga keutuhan NKRI. “Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945”, tanggal 5 Juli 1959, adalah bukti tak terbantahkan betapa keramatnya UUD 1945 bagi mengatur kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Itulah sebabnya, banyak tokoh bangsa yang menilai amandemen penuh cacat dan kelemahan—untuk tidak menyebut mengkhianati ide dan pemikiran serta cita-cita para pendiri bangsa dan negara. Dan MPR RI periode 1999-2004 sebagai pelaku amandemen, meski merasa bangga akan hasil amandemen yang diklaim sebagai “lompatan jauh ke depan bangsa Indonesia”, ternyata, dalam waktu yang bersamaan dengan lahirnya UUD baru itu, MPR juga mengeluarkan: TAP NO. I/MPR/2002 yang menugaskan BP MPR untuk membentuk ‘Komisi Konstitusi” dengan tugas: “mengkaji ulang secara komprehensif hasil amandemen 1,2,3, dan 4…”

Artinya, MPR RI sendiri masih sangat ragu terhadap hasil amandemen—untuk tidak mengatakan bahwa amandemen dilakukan tanpa pikiran mendalam dan komprehensif. Karena itu, beberapa waktu lalu, banyak kelompok tokoh bangsa yang mendesak pemerintah dan MPR untuk segera melakukan “Kaji Ulang” UUD 1945 hasil amandemen.

Di antara kelompok tokoh bangsa yang paling vokal kala itu, adalah  Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri (FKP TN-Polri) yang dipimpin para jenderal purnawirawan, terutama Bapak Try Sutrisno—Wapres di era Presiden Soeharto. Dan saya sendiri (penulis), pernah mengikuti paparan perlunya “Kaji Ulang Amandemen” oleh Bapak Try Sutrisno ketika beliau hadir di Pesantren Tebuireng, Jombang, atas undangan almaghfurlah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah).

Selain itu, saya sendiri pernah mengundang seminar “Kaji Ulang” yang dihadiri Jenderal TNI (Purn) Saiful Sulun, dan pada acara puncak napak tilas “Resolusi Jihad” dari Pondok Tebuireng ke Pesantren Tambakberas, lalu berakhir di kantor PCNU Surabaya—tempat pertemuan ulama se-Jawa-Madura mengeluarkan Resolusi Jihad—juga ditutup dengan pidato pentingnya “Kaji Ulang Amandemen” oleh Bapak Try Sutrisno.

Tetapi sayang, semangat untuk memperbaiki konstitusi negara itu, makin hari kian redup. Bahkan suara keras para jenderal purnawirawan yang dimotori Bapak Try Sutrisno, kini nyaris tak terdengar lagi. Ke mana dan di mana bapak-bapak jenderal itu sekarang? “Kehabisan stamina. Aku dewe nek gak yakin karo Gusti Allah yo wis mandeg—aku sendiri kalau tidak karena Allah SWT mungkin sudah ikut berhenti,” kata dr. Zulkifli S. Ekomei yang kini masih terus berjuang menggugat MPR RI dan Presiden RI Turut Tergugat I hingga Menlu RI Turut Tergugat XVI,  baik secara perdata maupun pidana.

Tidak berbeda dengan FKP TNI-Polri, dr. Zulkifli selain “meyakini hasil amandemen UUD 1945 adalah palsu dan harus ditolak, juga menuduh MPR RI (1999-2004) dan pemerintah serta semua Parpol penikmat UUD 1945 palsu adalah pengecut dan pengkhianat bangsa”.

Pengecut? “Ya, karena tidak semua Turut Tergugat hadir dalam persidangan. Padahal mereka penikmat UUD 1945 palsu, dan telah mengkhianati karya agung pendiri negara bangsa, terutama terhadap ide dan pemikiran serta cita-cita Bung Karno,” tandas dr. Zul bernada tinggi.

“Dan anehnya lagi, pengkhianatan itu justru terjadi di era Presiden RI ke-5 Megawati Sukarnoputri, yang tak lain adalah anak kandung Bung Karno sendiri,” tambahnya dengan mimik serius.

Barangkali karena telah terlihat jelas karut-marut pengelolaan negara akibat amandemen itulah, maka Jenderat TNI (Purn) Suryo Prabowo telah pula menyampaikan pendapatnya bertajuk: “Penjajahan Tahun Ke-6 (2014-2020) Oleh Kekuatan Mafia Politik & Bisnis 9 Naga”. Pendapat Jenderal Suryo ini telah lama viral di Medsos dan dilengkapi link httpd://m.cnnindenesia.com yang memberitakan Jenderal Luhut Binsar Panjaitan menyebut: “30 Investor Besar Siap Danai Ibu Kota Baru.” Rupanya, Jenderal Suryo ingin menyindir kawannya, bahwa apa yang disebut 30 investor. ..itu adalah “bentuk penjajahan baru”.

Saya pun, beberapa waktu lampau, pernah mengundang Sang Jenderal berdiskusi bersama Prof. Sam Abede Pareno di Graha Astranawa, Surabaya. Jenderal Suryo tetap konsisten pada pendiriannya yang menyatakan, bahwa rezim berkuasa saat ini adalah boneka China, yang telah “membangkrutkan” Indonesia melalui gurita politik, yang menghabiskan anggaran di seluruh instansi pemerintah.

Buktinya, lanjut Jenderal Suryo “perbudakan sangat nyata kembali terjadi di Indonesia”. Rakyat dimiskinkan dan diperbudak dengan belasan macam pajak dan pungutan. “Sementara SDA 100% bukan lagi milik pribumi. Emas, intan, batubara, minyak bumi, rempah-rempah dll dikuasai mafia 9 naga,” tulisnya.

“Ada bandara bagus, ada pelabuhan bagus, ada jalan tol mulus melintas di tanah kita. Tapi semua itu bukan milik kita lagi. Ada pula air bersih dan minyak beredar di negeri kita, tapi itu pun bukan milik kita lagi. Karena semua sudah dijual ke pihak aseng”, tuturnya.

“Indonesia sudah resmi kalah perang, tanpa harus bertempur mati-matian. Akankah kita akan tetap diam saja, tanpa melakukan “serangan balas” untuk merebut kembali hak milik negara kita?”, pungkas Jenderal Suryo Prabowo bernada tanya.

Pertanyaan sang Jenderal tentu kembali pada diri masing-masing para “Satrio Piningit” yang, menurut wejangan Eyang Semar Ismoyo Jati alias Sabdo Palon, sudah bangkit sejak  1 Muharram/1 Syura bertepatan dengan angka kembar 20 Agustus 2020 atas bimbingan leluhur nusantara.

Sebab, kerusakan akibat amandemen bukan sekedar pengkhianatan terhadap karya agung pendiri negara saja, terutama Bung Karno. Tapi di semua lini kehidupan sudah terbalik dan rasa kemanusiaan dan kerakyatan penguasa pun sudah dicabut oleh Sang Pencipta.

“Contoh misalnya, Bapak Soekarno sangat mementingkan tidak adanya kemiskinan dalam Indonesia Merdeka, Tapi kenyataannya, rakyat justru dimiskinkan, dan semua SDA sudah dikuasai asing dan aseng,” kata Ki Ismoyo yang baru saja turun dari Puncak Tidar dan Gunung Pring, Senin dini hari, 7 Desember 2020, bersama beberapa tokoh spiritual lain, di antaranya Ki Agus Shodiq dan Ki Mas Podo Kuncoro.

Ki Ismoyo pun saat turun dari Gunung Pring—tempat bersemayam  Kiai Raden Santri Pangeran Singosari, pada Senin dini hari, 7 Desember 2020 itu, telah pula mengirim sinyal adanya 6  orang laskar FPI yang ditembak mati aparat kepolisian.

“Perstiwa berdarah inipun akan disusul tindakan arogan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) dkk. Semua itu sudah ketetapan langit. Dan ini mengingatkan saya akan pesan Bapak Soekarno bahwa telah terbuka jalan akan datangnya revolusi,” ujar Ki Ismoyo sembari berdoa agar bangsa Indonesia selamat dari kehancuran.

Karena keterbatasan ruang, maka untuk mengetahui kemarahan Bapak Soekarno terhadap pengkhianatan para pemimpin bangsa sendiri, terutama pada dekade terakhir ini, dan perlakuan tidak adil terhadap HRS, akan diuraikan pada edisi berikutnya.

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry