Jokowi dan Banjir: Keterangan foto viva.co.id

“Kisah pertemuan supernatural Ki Ismoyo dengan Eyang Semar Sabdo Palon dan “Satrio Piningit” di Puncak Tidar itu, juga dijelaskan dengan menyitir beberapa ayat suci al-Qur’an, antara lan: surat al-Baqarah ayat (30), al-Qashash ayat (77), adz-Dzaariyaat ayat (56) dan Shaad ayat (26).”

Oleh: Choirul Anam*

DI ANTARA tanda-tanda munculnya “Satrio Piningit”, menurut wejangan Eyang Semar Ismoyo Jati alias Sabdo Palon, adalah terjadinya kerusakan berat di muka bumi. Bukan hanya di sektor lingkungan hidup saja yang rusak parah. Melainkan, kerusakan yang sama juga melanda tata kelola kehidupan bangsa, negara dan pemerintahan. Penanda utamanya, telah terjadi deviasi, distorsi dan disorientasi terhadap prinsip-prinsip dasar tujuan didirikannya Negara Indonesia Merdeka.

“Mereka yang yang bisa melihat tanda-tanda penyimpangan itu, dan bisa merasakan akibat dari kerusakannya adalah rakyat dan para tokoh kritis. Karena mereka senaniasa menggunakan akal sehat, berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan, serta tak lupa pada Sang Pencipta,”kata Ki Ismoyo yang telah menerima “wejangan agung” dari Eyang Semar Sabdo Palon, di Puncak Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah, sejak usai shalat ‘Ashar hingga menjelang Maghrib, pada 1 Muharram/1 Syura bertepatan dengan tanggal 20 Agustus 2020 lalu.

“Sedangkan para pemimpin dan penguasa (termasuk para buzzer dan influencernya), sama sekali tdak merasakan (apalagi melihat) adanya deviasi maupun kerusakan yang dibuatnya. Karena perasaan dan akal sehat mereka sudah dicabut oleh Allah SWT, sehingga lupa segalanya, dan tak ingat pula akan keberadaan serta kuasa Tuhan yang mengawasinya”.

“Mereka (para pemimpin dan penguasa) itu, justru menikmati kerusakan guna memenuhi ambisi duniawi berupa harta dan tahta sebagai tujuan utama hidupnya,” ujar Ki Ismoyo sembari menunjukkan kitab-kitab referensi turunnya Eyang Semar Sabdo Palon, selain ditugasi  membimbing “Satrio Piningit”, juga menagih “janji” perjanjian 500 tahun dengan Syech Subakir, yang kemudian diamanatkan kepada Raden Sahid Sunan Kalijaga, sebelum Syech kembali ke negeri asalnya, Persia.

Kisah pertemuan supernatural Ki Ismoyo dengan Eyang Semar Sabdo Palon dan “Satrio Piningit” di Puncak Tidar itu, juga dijelaskan dengan menyitir beberapa ayat suci al-Qur’an, antara lan: surat al-Baqarah ayat (30), al-Qashash ayat (77), adz-Dzaariyaat ayat (56) dan Shaad ayat (26).

Dari empat ayat suci yang saling berhubungan makna itu, bisa mengungkap kesadaran akan tugas dan fungsi manusia di bumi. Selain juga menjelaskan bagaimana seharusnya manusia menjalankan peran terkait pertanggung-jawabannya kelak di hadapan Sang Pencipta. “Jadi, Allah SWT menciptakan manusia itu ada tujuannya. Tapi sayang, kebanyakan manusia yang telah dijadikan pemimpin atau penguasa, justru lupa akan fungsi dan tugas kemanusiaannya,”sindir Ki Ismoyo yang juga akademisi bergelar Magister Manajemen ini.

Terpenting untuk selalu diingat manusia hidup, tambah Ki Ismoyo, setidaknya selalu eling beberapa makna yang tersurat dan tersirat dalam empat ayat suci tersebut. Pertama, harus selalu ingat bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah. Dan “Allah tdak menciptakan manusia dan jin melainkan agar mereka beribadah kepada-Nya”. Beribadah itu, bisa diartikan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangannya. Tunduk patuh pada aturan yang digariskan!

Kedua, manusia yang tunduk patuh terhadap aturan yang telah digariskan Allah, akan dijadikan pemimpin atau penguasa di bumi. “…Innii jaa’ilun fil ardhi khaliifah…Aku hendak menjadkan seseorang sebagai khalifah—pemimpin atau penguasa—di bumi.” Atau ditunjuk langsung seperti Nabi Dawud: “Yaa daawuudu inna ja’alnaaka khaliifatan fii ardhi—Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah (Nabi sekaligus menjadi raja—red) di bumi”.

Ketiga, manusia yang tunduk patuh terhadap aturan dan memiliki pengetahuan cukup, yang kemudian dijadikan khalifah (pemimpin atau penguasa) itu, juga dibatasi dengan syarat: harus berlaku adil dan dilarang membuat kerusakan di bumi. “…wa laa tabghil fasaada fil ardhi—Dan janganlah engkau berbuat kerusakan (bencana) di bumi.” Kenapa? Karena, “innallaaha laa yuhibbul mufisidin—sesungguhnya Allah tdak menyukai orang-orang berbuat kerusakan (bencana).”

“Nah, jadi, setiap manusia hidup, terutama yang mengemban amanah sebagai pemimpin atau penguasa, harusnya selalu ingat tiga perkara itu. Bahwa tujuan diciptakan manusia agar mengabdi kepada Tuhan YME. Lalu oleh Allah ada yang dijadikan pemimpin atau penguasa negara, tetapi harus berlaku adil terhadap masyarakat atau bangsanya, dan dilarang membuat (kebijakan) merusak atau mendatangkan bencana di bumi,”tandas Ki Ismoyo sembari melihat langit dan berkata: ”sikap kepemimpinan nasional yang semacam itu, pada dekade terakhir ini, sudah tidak dirasakan lagi adanya oleh rakyat pada umumnya.”

Sehingga, dalam pandangan para tokoh supernatural, Eyang Semar Ismoyo Jati (Sabda Palon) diturunkan ke bumi untuk membimbing para satrio piningit dan “Satrio Piningit” itu sendiri, guna melakukan perbaikan sekaligus menyelamatkan bumi nusantara dari kehancuran,”ujarnya. Lihat saja, apa yang sekarang terjadi, dan bagaimana persepsi rakyat terhadap tata kelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan pemerintahan negara.

Apa yang disinyalir Ki Ismoyo, memang tidak terbantahkan. Berbagai penolakan elemen masyarakat terhadap sejumlah UU dan Perpres, yang dibuat secara super kilat oleh pemerintah dan DPR dengan dalih pandemi virus Covid-19, terutama Omnibus Law UU Cipta Kerja, telah membuktikan tingkat kepercayaan rakyat terhadap eksekutif maupun legislatif merosot tajam—untuk tidak mengatakan nyaris hilang.

Salah satu contoh paling aktual adalah, sikap kelompok aktivis lingkungan hidup dan masyarakat adat yang “ramai-ramai menolak undangan Presiden ke Istana, karena Jokowi dianggap sudah tidak bisa diharapkan lagi”. Mereka yang diundang, antara lain, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lngkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Sekjen AMAN, Rukka Sombolingi, menegaskan: undangan disampaikan oleh protokoler Istana pada Kamis (19/11/2020) melalui pesan WhatsApp, bukan undangan tertulis, dan dsebutkan dalam undangan itu: ketiga kelompok aktivis tersebut, “akan diterima bertemu Jokowi pada Senin (23/11/2020)”.

“Disebut akan diterima, padahal kami tidak pernah meminta untuk datang ke Istana,”kata Rukka dalam jumpa pers virtual, Selasa (24/11/2020), sebagaimana disiarkan Haluan.com. Lagi pula, “Presiden sudah jelas sikapnya. Tahun 2014 presiden bicara tentang nawacita masyarakat adat. Kami (waktu itu) bahagia hingga menyebutnya sebagai hope. Tapi yang terjadi detik ini, justru presiden tegas berpaling dari masyarakat adat dan memihak korporasi dan oligarki. Buktinya ya omnibus law itu,”kata Rukka.

Setelah omnibus law (UU Ciptaker) disahkan, lanjut Rukka, pemerintah langsung dengan cepat membagikan sumber daya alam, khususnya hutan, kepada berbagai korporasi besar. “Jadi, kontroversi sikap dan tindakan presiden, sudah jelas, sudah tidak bisa diharapkan, sudah tdak ada gunanya,”ujarnya.

Direktur Eksekutif Walhi, Nur Hidayati, selain menilai agenda pertemuan dalam undangan tidak jelas, dan ketika ditanyakan protokoler Istana tidak bisa menjawab, juga Jokowi dianggap sudah tidak lagi memikirkan rakyat. “Karena agenda tidak jelas itulah menjadi alasan kami tidak hadir. Dan pengesahan omnibus law itu, merupakan pukulan berat bagi masyarakat. Karena ejak awal masyarakat sudah dipinggirkan oleh pemerintah dan DPR dalam pembahasan UU Ciptaker ini,” kata Nur Hidayati.

Lebih menjengkelkan lagi, lanjut Nur, kini pemerintah mendekati kelompok-kelompok kritis untuk diajak merumuskan aturan turunannya. Modus “jahat” ini dilakukan hanya untuk mengendorkan gerakan tolak omnibus law. “Kami tegaskan: masyarakat sipil tetap solid, tidak bisa dipecah belah. Pemerintah berupaya melibatkan kami dalam perumusan aturan turunan itu, buat apa? Lha wong induk aturannya saja bermasalah kok dibikin turunannya,” tegas Nur Hidayati.

Senada dengan Rukka dan Nur Hdayati, Sekjen KPA, Dewi Kartika, menegaskan: berbagai konflik agraria yang sejak dulu disampaikan para aktivis, tak pernah direspon pemerintah, bahkan (boleh dibilang) dikhianati dengan lahirnya UU Ciptaker.

“Cara penanganan konflik agraria pun tidak berubah. Masih tetap represif, menggunakan polisi dan tentara untuk  intimidasi rakyat. Pemerintah (selama ini) menolak kerjasama dengan aktivis dan organisasi rakyat dalam menyelesaikan kepentingan rakyat. Karena itu, percuma saja presiden menjanjikan reforma agraria,” pungkas Dewi. Mereka lalu beramai-ramai menolak undangan presiden.

Masih banyak lagi contoh kerusakan paling dahsyat dan amat parah. Ibarat dosa, mungkin dalam kategori tak terampuni. Namun karena keterbatasan ruang, akan diurai pada edisi berikutnya.

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry