Kerumunan Presiden Jokowi di Maumere. FT/detik.com

“Tuhan Maha Adil! Maka dipertontonkanlah kerumunan yang sama dilakukan Presiden Jokowi saat konker ke NTT. Anwar Abas menyarankan, hukuman kepada HRS dan Jokowi bisa sama-sama berupa denda, ketimbang sanksi penahanan. Ini demi keadilan.”

Oleh: Choirul Anam*

DALAM Jejak Supernatural (10), Ki Ismoyo Prabu Depro, telah menerawang krisis multidimensi pemerintahan Jokowi, di antaranya krisis keuangan, krisis likuiditas, hutang menggunung, kas negara kosong, dan korupsi makin menggila.

Juga sedikit menyinggung krisis bencana alam dan non-alam sebagai peringatan Tuhan untuk mengakhiri kezaliman dan ketidakadilan. Maka, pada Jejak Supernatural (11) ini, akan dilengkapi terawangan mengenai getaran musibah bencana alam dan non-alam agar bangsa, rakyat dan umat, senantiasa siap dan waspada menghadapinya.

Supaya rakyat, terutama umat Islam bersatu, tidak gampang diprovokasi, tak mudah diadu-domba dan ditakut-takuti. Karena, dalam perspektif spiritual, benca alam (gempa, longsor, banjir, puting beliung, erupsi gunung, laka laut, darat dan udara dll), serta bencana non-alam (isu radikalisme, Islam arogan, intoleran, seragam sekolah, buzzer, permintaan dikritik, revisi UU ITE, penegakan prokes dll), akan terus berdatangan, susul menyusul, namun “diwejangkan” tidak sampai melewati batas akhir 2021.

Begitu pula ketidakadilan dan kezaliman, akan terus diproduksi dan dipertontonkan di hadapan rakyat yang makin menderita. Zalim (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti lalim, bengis, tidak adil, tidak menaruh belas kasihan dan kejam. Kezaliman berarti kebengisan, ketidakadilan, dan kekejaman.

Soal bencana alam, bisa dilihat dari peringatan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dan catatan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang, dalam tempo kurang dari dua bulan di 2021 ini, telah melonjak dan disebut tidak wajar. Sedangkan bencana non-alam hanya terdeteksi episenturm-nya berada di lingkaran pusat kekuasaan.

Seperti diberitakan “Pikran Rakyat”, dalam waktu kurang dua bulan (sejak 1 Januari hingga 18 Februari 2021), BNPB mencatat 503 bencana alam yang terjadi di tanah air. Bencana banjir terjadi 260 kali, angin puting beliung 106 kali, dan tanah longsor 102 kali.

Dampaknya, sejumlah 2.734.507 orang mengungsi, 12.099 orang luka-luka, 236 orang meninggal dunia, dan 13 orang lainnya hilang. Sebanyak 1.326 bangunan faslitas umum rusak: 631 fasilitas pendidikan, 548 fasilitas ibadah, dan 147 fasilitas kesehatan. Selain itu, 207 kantor dan 78 jembatan juga berantakan.

Menurut Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) yang disiarkan CNBC, Kamis (18/2/2021), sekitar 40% bencana alam didominasi banjir, dan penanganannya dinilai belum efektif. Jumlah daerah terdampak pun meningkat, antara lain, di Konawe (Sulteng), Luwu (Sulsel), Samarinda (Kaltim), Garut dan Semarang (Jateng), Bandug, Bekasi, Tangerang, DKI Jakarta dan Surabaya serta di beberapa wilayah lainnya.

Banjir terbesar terjadi di Kalimantan Selatan. “Ini banjir terbesar selama 50 tahun terakhir di Kalsel. Menurut kajian BNPB, selain karena curah hujan ekstrem, juga kerusakan daerah aliran sungai menjadi pemicu banjir dan longsor,” kata Sekjen Kementerian PUPR, Muhammad Zainal Fatah, dalam webinar, Kamis (18/2/2021).

Karena Anies Gubernur Muslim yang Saleh

Tapi anehnya, meski banjir melanda banyak wilayah, para buzzer Istana justru hanya  “menghajar” Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Plt. Ketum PSI, Giring Ganesha, pun ikut mengkritik Anies melalui akun instagramnya.

Maklumlah, dulu, Ketum PSI, Grace Natali, juga membuat publik terkejut. Ia tiba-tiba berseru: PSI adalah partai ideologis anti agama. Jika berhasil masuk parlemen, PSI akan berjuang keras menghapus UU maupun Perda yang berbau agama (terutama Islam).

Nah, jika kini Giring menohok Anies, tentu bukan sekedar masalah banjir. Tapi lebih karena Anies gubernur muslim yang saleh, cerdas, tangkas dan potensial Capres 2024. Giring menilai banjir Jakarta, lantaran Anies tak punya rencana jelas untuk mengatasinya.

“Gubernur Anies jangan cuma melempar kesalahan pada curah hujan dan banjir kiriman. Karena banjir kemarin, pintu air di Bogor dan Depok normal. Artinya, banjir terjadi karena Anies tidak punya rencana dan cara yang jelas untuk mengatasinya. Tidak punya kapabilitas mengelola Jakarta,” kata Giring. Coba!

Lebih aneh lagi, salah satu ketua PBNU, juga ikut meng-compare kerja Anies dan zaman Ahok. Dalam suatu grup WhatsApp, ketua PBNU ini menuliskan: “Kalau Anies dibanding Ahok ya jauh… yo adoh. Anies cuma menang ganteng thok. Makanya, Anies itu diberhentikan Jokowi dari menteri di tengah jalan. Karena yang dia urus hanya penampilan,” tulisnya disertai postingan berita Ahok Capres urutan 4 setelah Anies di survei LSI, dan kepuasan NU terhadap kinerja Jokowi. Rupanya, ketua PBNU rasa buzzer ini, sudah lama mengidolakan Ahok jadi presiden.

Senada dengan Romo Antonius Benny Susetyo. Tokoh Katolik yang kini Stafsus Ketua Dewan Pengarah BPIP ini, “meminta Anies belajar dari Ahok atasi banjir”. Karena yang meminta seorang Romo Benny, maka benarlah pernyataan Bang Yos (mantan Gubernur DKI Sutiyoso di ILC maupun di Mata Najwa, Rabu (25/4/2020), bahwa kritikan kepada Anies lebih bersifat politis, bukan obyektif berbasis data.

”Banjir terjadi di mana-mana samapai Bandung, Semarang dan di wilayah lainnya. Pemerintah pusat cuma bilang curah hujan tinggi. Tapi yang digebukin kok hanya Anies. Saya juga heran. Satu kesalahan Anies, karena dia jadi gubernur DKI,” kata Bang Yos.

Artinya, jika gubernur DKI bukan Anies, taruhlah Ahok misalnya, banjir setinggi 2 meter pun, mungkin, buzzer Istana, Benny dan senyawanya, ketua PBNU tadi, tidak bakalan berkomentar.

Mana Suara Buzzer

Coba lihat! Banjir yang menimpa Semarang sampai masuk kantor gubernur (Gedung B) dan membikin Ganjar Pranowo terkaget-kaget. Toh tak ada kritikan sama sekali baik dari buzzer Istana, Romo Benny maupun Ketua PBNU rasa buzzer tadi.

Padahal, buat Ganjar, banjir ini “agak aneh, karena baru terjadi hari ini. Saya minta semacam audit air datang dari mana. Kalau dari sekitar sini saja, tidak mungkin segede itu,” kata Ganjar seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (23/2/2021).

Bukan hanya kantor gubenur saja yang kemasukan air, tapi 13 ruas jalan protokol di Kota Semarang, sejak Selasa (23/2/2021) hingga Rabu pukul 11.30 wib (menurut catatan suaramerdeka.com), masih digenangi air rata-rata 25-50 cm. Tapi adakah buzzer Istana atau Benny Susetyo mngkritik Ganjar? Sama sekali tidak! “Coba bayangin, kalau Balai Kota DKI yang kebanjiran, oh…buzzer Istana dan Benny tak akan berhenti berkoar,”komen netizen di medsos.

Ada yang jengkel melihat ulah buzzer Istana dan Romo Benny. Jangan hanya mem-bully Anies. “Romo Benny harus menyuarakan suara hati nurani ketika melihat Jokowi melanggar prokes. Romo Benny jangan diam saja,” kata aktivis politik Leonardus Sugiman, Kamis (25/2/2021).

Leonardus meminta Romo Benny sebagai pelayan bagi sesama, harus menyuarakan suara rakyat sebagaimana (dulu) dilakukan Romo Mangun. “Suara rakyat tentang ketidakadilan harus disuarakan, walaupun harus berhadapan dengan penguasa,”tandas Leonardus sembari menyinggung Romo Mangun bukan hanya dicintai umat Katolik saja, tapi juga umat Islam, karena berani menyuarakan kebenaran dan keadilan sesuai hati nurani rakyat.

“Romo Benny tentu lebih paham ajaran Katolik, namun sangat disayangkan, ketika berada di kekuasaan, suara untuk membela kaum lemah tidak terdengar sama sekali,”pungkas Leonardus Sugiman mengkritisi Benny yang hanya mengkritik Anies  tanpa data akurat.

Jika mau obyektif melihat banjir Jakarta, analisis Von Edison Alouisci, yang telah melakukan cek ricek jejak digital era Jokowi-Ahok, justru lebih bisa dipercaya karena berbasis data, ketimbang kritikan buzzer Istana dan Benny. Von Edison menampilkan data yang terekam di web https://indopolitika.com,https://www.google.gom.,https://m.merdeka.com., dan masih banyak lagi, lalu menyimpulkan bahwa “banjir terparah di Jakarta terjadi di era Ahok dan Jokowi”.

Datanya lengkap. Pada 2012-2014 Ibukota dipimpin Jokowi. Setelah terpilih menjadi presiden, DKI 1 dilanjutkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hingga Juni 2017. Selanjutnya diteruskan lagi oleh Djarot Saiful Hidayat hingga medio Oktober 2017. Anies Baswedan memimpin Jakarta setelah memenangi Pilgub DKI 2017. Berdasar data yang diolah dari berbagai sumber termasuk dari Pemprov DKI Jakarta, ternyata, peta terdampak banjir (temasuk berapa banyak pengungsi dan berapa orang meninggal) di DKI Jakarta, yang paling parah justru tejadi di era Ahok dan Jokowi (lihat data di web/ link di atas).

Di era Anies penanganan banjir malah lebih cepat, dan genangan air pun tidak sampai 24 jam sudah hilang. “Hari Sabtu wilayah kami terendam banjir setinggi 20 cm sampai 1,5 meter. Alhamdulillah, Minggu malam dan paginya sudah kering. Biasanya wilayah Rawa Buaya ini memerlukan 4-5 hari baru surut. Sekarang, kurang dari 24 jam sudah hilang, nihil, kering, tidak ada lagi genangan air,” kata Yusuf, ketua RT 02 Rawa Buaya, Jakbar, dikutip Kumparan, Senin (22/2/2021).

“Berkat kesigapan dan kecepatan pemerintah DKI (Gubernur, Walikta dan aparat lainnya) dalam mengurusi penduduk dan penanggulangan banjir, dengan izin Allah, dalam waktu cepat air sudah hilang,” tambahnya. Tapi Gubernur Anies mendapat banyak kritikan dan cacian? Yusuf mengakui, memang “ada satu kelemahan pemerintah: karena Pak Anies tidak punya buzzer”.

Karya atau Bikinan Politik

Karena itu, Von Edison, memberikan empat (4) poin analisanya terkait kritikan buzzer Istana maupun Benny. Analisa Von yang viral sejak (27/2/2020) ditampilkan kembali sbb: 1) Kecebong berusaha menjatuhkan Anies, karena Anies berpotensi menjadi Capres 2024. Kecebong berusaha mengangkat citra Ahok agar bisa bersaing jadi presiden 2024; 2) Jokowi ketakutan jika Ahok sampai tenggelam lalu “bernyanyi” tentang rahasia saat ia gubernur dan maju Capres 2019-2024.

“Ingat, Ahok pernah mengancam Jokowi akan membongkar kedoknya, jika Jokowi tidak mendukung tujuan Ahok jadi presiden,”tulis Von Edison. 3) Jokowi-Ahok sarat rencana ke depan untuk menyingkirkan pesaing dalam Pilpres 2024, termasuk membuat tekanan pada Anies dan para Capres oposisi lainnya; 4) Jokowi-Ahok dan kroninya membuat tekanan kepada rakyat, terutama umat Islam, dengan isu radikalisme, anti Pancasila, khilafah, pada pihak oposisi. “Mereka lupa, tekanan semacam itu justru membuat rakyat muak memilih Capres dari kubu kecebong,”tambah Von Edison.

Nah, jadi, ribut-ribut “Islam arogan” Abu Janda, “Islam radikal, Islam populisme” Yaqut Cholil Qoumas, khilafah, dan juga pembubaran FPI, dapat diduga mendapat dukungan Ansor Yaqut dan NU Kiai SAS (Prof Dr KH Said Aqil Siraj). Hiruk-pikuk Islam radikal dll itu, tak lain dan tak bukan (jika mengacu analisa Von Edison) adalah bikinan Jokowi-Ahok dan kroninya, untuk menekan rakyat (terutama umat Islam) guna memuluskan tujuan Ahok menjadi presiden 2024.

Namun, lanjut Edison, karena rakyat sudah pada sadar dan paham, maka kenyataannya terlihat seperti sekarang! Meski Jokowi-Ahok dan kroninya didukung penuh “Dewan Buzzers” militan, ternyata, tidak berpengaruh signifikan. Justru Jokowi semakin tidak populer, dan di medsos lebih banyak dihujat, dicaci maki, dikritik dan ungkapan pedas lainnya.

Contoh terbaru, kunjungan Presiden Jokowi ke Maumere, Sikka, NTT, Selasa (23/2/2021) lalu, menuai protes masyarakat karena mendatangkan kerumunan. Jokowi dinilai memberi contoh buruk, dan diduga melanggar hukum serta aturan yang mestinya dijunjung tinggi. Sejumlah kelompok masyarakat lalu melaporkan Jokowi ke Bareskrim Mabes Polri. Ada pula yang ke Polda setempat seperti Aliansi Umat Sulawesi Selatan, pada Jum’at (26/2/2021), melaporkan Jokowi ke Polda Makassar dan diterima.

Sementara KMAK (Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan) yang dikawal Kurnia, dan Ketua Bidang Hukum & HAM PP GPI, Fery Darmawan, melaporkan Jokowi dan Gubernur NTT ke Bareskrim Polri tapi ditolak. Sedangkan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) se-Jawa menuntut Jokowi diproses secara hukum. KAMI se-Jawa (DKI, DIY, Jabar, Jateng dan Jatim) dalam maklumat yang disiarkan Faktakini, Jum’at (26/2/2021), menyarankan Presiden Jokowi mundur sementara guna menjalani proses hukum.

Alasan mereka, tentu, karena “Negara Indonesia adalah negara hukum (UUD 45 Bab I Psal 1, ayat (3)”. Mensyaratkan adanya perlindungan terhadap HAM; perlakuan dan kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) dan; kekuasaan tetinggi terletak pada hukum (supremacy of law). Segala tindakan pemerintah dan rakyatnya wajib didasarkan pada hukum, guna mencegah kesewenang-wenangan (abuse of power) dari pihak penguasa, dan tindakan semaunya sendiri (anarchist) dari pihak rakyat.

Ketua Presidium IPW (Indonesia Police Watch), Neta S Pane, menilai wajar ada kelompok masyarakat melaporkan dan meminta polisi segera menangkap Jokowi. “Sebab Presiden Jokowi sudah menimbulkan kerumunan massa, sebagaimana dilakukan Habib Rizieq Shihab (HRS). Bahkan tokh FPI itu ditangkap polisi dan ditahan hingga kni,” ujar Neta seperti disairkan @geloranews, Sabtu (27/2/2021).

Akibat dari kerumunan HRS, Kapolda Metro dan Kapolda Jabar langsung dicopot oleh Kapolri. Namun, terkait kerumunan Maumere, Neta yakin Kapolri tidak berani mencopot Kapolda NTT.

“IPW juga berkeyakinan, Polri tidak akan berani menangkap dan memeriksa Jokowi sebagaimana HRS,” katanya sembari menambahkan, kini “Janji Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, bahwa di eranya hukum tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas”  sedang diuji oleh kerumunan Maumere.

Ada ‘Geng Solo’

IPW tetap yakin, Polri tidak akan memroses laporan terkait Jokowi. Alasannya? Pertama, karena saat ini yang berada di elite Polri adalah “Geng Solo” yang sangat dekat dengan Jokowi. Kedua, memroses Jokowi tentu bisa membahayakan keselamatan presiden. “Seharusnya presiden tahu, kerumunan massa yang ditimbulkan akan merepotkan orang dekatnya, terutama di Polri. Presiden seharusnya bisa menahan diri,” kata Neta.

Dampak yang ditimbulkan pun dahsyat. Selain menuai polemik, juga memunculkan kesan adanya diskrimanisi hukum di masyarakat, dan membuat rasa keadilan publik diciderai oleh presiden. “Seharusnya presiden sebagai pejabat publik bisa menjadi contoh masyarakat luas dalam menaati dan menerapkan prokes selama pandemi Covd-19,”tambahnya.

Ahli hukum Tatanegara, Refly Harun, dalam You Tube Channelnya “HRS, Jokwi dan Prokes” (25 Februari 2021), juga menilai tindakan Jokowi jelas melanggar prokes. “Hukum tidak boleh hanya menerapkan sisi hukum positif saja, tapi harus ada rasa keadilan. Tentu tidak mudah memroses kepala negara karena berlaku pengecualian penerapannya dari rakyat biasa,” ujar Refly sembiri menyebut, apa yang dilakukan Jokowi hampir sama dengan pelanggaran prokes yang dilakukan HRS.

“Sebagian masyarakat ingin Jokowi diproses karena telah menimbulkan kerumunan, dan (seperti biasanya) Jokowi keluar dari mobil melalui sunroof melambaikan tangan dan melempar-lempar bingkisan hingga massa semakin berkerumun. Seharusnya Jokowi dikenakan pasal dari tiga UU: 1) Pasal 93 UU 6/2018 Tentang Karantina Kesehatan; 2) UU 4/1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, dan; 3) Pasal 160 KUHP yang juga dikenakan pada HRS, yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun (kategori pidana berat). Pasal itulah (160 KUHP) yang jadi  alasan HRS ditahan,”kata Refly. Tapi apakah presiden bisa diperlakukan seperti HRS?

Refly mengatakan, bagaimana memberikan solusi terbaik bagi bangsa atas kerumunan yang ditimbulkan Jokowi. “Jika melihat pasal 7 UUD 45, presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan dengan dua sebab. Pertama, melakukan pelanggaran hukum (berat) seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap dan tindakan pidana berat lainnya. Kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden maupun wakil presiden,” jelas Refly.

Nah, jadi, jika HRS dikenakan pasal 160 KUHP dan kasusnya mirip dengan yang dilakukan Jokowi, maka tentu ada alasan orang mengatakan bahwa Jokowi bisa dikenakan pasal tersebut, dan telah terpenuhi sebagai tindakan pidana berat. “Maka, akan ada inisiasi untuk melakukan impeachment,” ujar Refly. Prosesnya bukan di tingkat polisi tapi di ranah politisi. Tapi Refly juga ragu, apakah politisi Senayan yang serba mendekat ke Istana bisa melakukannya (?).

Itulah sebabnya, Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abas, meminta penegakan hukum terkait kerumunan di era pandemi harus ditegakkan secara berkeadilan. Sebab, sejak kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar), lalu dilanjut dengan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dan PPKM Mikro (berbasis RT-RW), telah banyak kerumunan yang diobrak-abrik dan dibubarkan  paksa oleh Satgas Covid.

Kerumunan apa saja, tak peduli resepsi pernikahan, warung penjual makanan, pengajian maupun do’a/zikir bersama di masjid yang mematuhi prokes pun, tetap saja dibubarkan paksa karena dianggap menjadi cluster baru. “Seumur-umur, baru kali ini saya mimpin zikir bersama untuk keselamatan bangsa dan negara, diobrak dan dibubarkan paksa aparat,”ujar KH. Abdullah Muchith (87 tahun) dengan nada sedih saat diusir aparat dari Masjid Agung Sunan Ampel, Surabaya, tengah malam Jum’at legi (15/1/2021) lalu.

Sebelumnya, telah terjadi ketidakadilan pada HRS saat menikahkan putrinya dibarengkan dengan peringatan “Maulid Nabi”. HRS dikenakan denda Rp 50 juta. Lalu gerakannya dibuntuti polisi hingga 6 pemuda pengawalnya dibunuh secara biadab. Selanjutnya, HRS dikenakan pasal 160 KUHP dan sejumlah panitia pelaksana “Maulid Nabi” ditahan hingga hari ini. Ormas FPI binaannya pun dibubarkan. Cukup? Belum! Semua rekening bank terkait HRS dan FPI diblokir, pesantrennya di Megamendung diancam dibolduzer, dan kini masih juga dicari-cari pasal keterkaitan HRS dan FPI dengan teroris ISIS. Adilkah?

Tuhan Maha Adil, maka dipertontonkanlah kerumunan yang sama dilakukan oleh Presiden Jokowi saat konker ke NTT. Anwar Abas lalu menyarankan, hukuman kepada HRS dan Jokowi bisa sama-sama berupa denda, ketimbang sanksi penahanan. Demi keadilan, “Jokwi harus dihukum denda seperti HRS juga dikenakan denda. Sehingga, masing-masing bisa bebas melaksanakan aktivitas sehari-hari, dan tidak ada orang/pihak di negeri ini yang merasa tersakiti hatinya,”ujar Anwar dalam keterangan tetulisnya, Kamis (25/2/2021) lalu.

Meski banyak pihak menilai saran Anwar Abas sangat patut dan wajar demi tegaknya hukum berkeadilan, Ketua MUI dari NU (bidang infokom), Masduki Baidlowi, justru gelisah. Ia lantas membantah “pernyataan Anwar Abas bukanlah sikap resmi MUI. MUI tidak mengeluarkan sikap apapun terhadap kunjungan Presiden Jokowi ke NTT,” bantah Masduki seperti dikutip detikcom, Sabtu (27/2/2021).

Tapi Masduki juga menegaskan, “Tidaklah sepadan menyamakan kerumunan kunjungan Jokowi ke Maumere dengan kasus HRS, yang jelas-jelas sengaja mengadakan kerumunan,” katanya persis seperti ucapan dewan pakar PKPI, Teddy Gusnaidi, lewat Twitter miliknya (26/2/2021), bahwa Anwar Abas tidak bisa memahami masalah kerumunan Jokowi di Maumere, tapi sudah mengeluarkan statement ke publik.

Akan Terus Bergetar

Bukan hanya menafikan Anwar Abas. Teddy juga mengharamkan fatwa MUI yang, bagi dirinya, dinilai layaknya LSM. “Masihkah mau kita percayakan fatwa (LSM) MUI yang pengurusnya memahami suatu masalah saja tak mampu. Padahal kejadian di NTT berbeda 180 derajat dengan kasus HRS,” cuit Teddy seperti dikutip Suara.com. Teddy juga pernah ngetuwit: “mem-PKI-kan FPI butuh waktu satu tahun”. Nah, itulah Teddy. Masihkah kita  mau percaya?

Bantahan Masduki yang mirip Teddy, juga disambut waooo di grup WhatsApp rekan Masduki sendiri. “Waooo peristiwa Jokowi vs HRS di komen tokoh kita, Cak Duki“. Ada yang meledek: “kerumunan jemput HRS vs kerumunan Jokowi di NTT, sama tidak Cak?” Lalu dijawab rekan lainnya, “ya bedalah…NTT kan zona hijau he he he.” “Mau zona hijau, merah, pelangi…kata kuncinya di “kerumunan” bro!,” jawab lainnya.

Maklumlah, sebagai Jubir Wapres Ma’ruf Amin yang, kini disorot publik karena pelit bicara, Masduki harus bersuara. “Jika tidak, dia pasti kehilagan muka di depan junjungannya,” komen rekan lainnya.

Nah, dari kritikan buzzer, Benny dan ketua PBNU rasa buzer, yang hanya tertuju pada banjir DKI, serta bantahan Masduki yang mirip Teddy Gusnaidi terhadap koleganya, Waketum MUI Anwar Abas, dalam hal penegakan prokes berkeadilan. Lalu ribut “Islam arogan” Abu Janda dan “Islam radikal, Islam populisme” Yaqut Cholil, menandakan adanya keterlibatan Ansor/Banser Yaqut dan NU Kiai SAS dalam karut-marut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara era rezim berkuasa saat ini.

Disebut Ansor/Banser Yaqut dan NU Kiai SAS, hanya untuk membedakan mana kepentingan pribadi dan mana kepentingan Ansor/Banser/NU yang sebenarnya. Karena masih banyak nahdliyin dan tokoh NU yang belum bisa membedakan antara kepentingan oknum dan posisi top leader organisasi. “Tapi sebaiknya, soal posisi Ansor dan NU itu, kita diskusikan pada edisi berikutnya,” kata Ki Ismoyo.

Karena, “bencana non-alam, rupanya, akan terus bergetar cukup lama. Seperti yang baru dipertontonkan lagi kepada publik, “Kudeta Partai Demokrat” (5 Maret 2021) yang tak bernalar hukum dan etika, akan  menelan waktu panjang penyelesaiannya,” tambah Ki Ismoyo.

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry