Muhammad Nasril, Lc, MA. (FT/kemenag.go.id)

“Hari ini santri telah menunjukkan kiprahnya dalam membangun bangsa. Tidak hanya menjadi guru agama di pondok pesantren, khatib dan majelis taklim, tetapi santri telah mengepakkan sayapnya ke berbagai stakeholder pemerintahan, BUMN, maupun swasta.”

Oleh Muhammad Nasril, Lc, MA

SABTU, 22 Oktober 2022, secara resmi negara memperingati Hari Santri Nasional (HSN). Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama telah melakukan berbagai persiapan, termasuk juknis atau pedoman pelaksanaan upacara di setiap daerah.

Tentu, HSN ini adalah hari penting bagi para santri, momen mengenang kembali masa-masa antrean panjang saat mandi, murajaah kitab dan berbagai aktivitas lainnya kala di pondok. Namun, tak hanya itu HSN ini menjadi alarm untuk mengingat kembali kiprah perjuangan dan pengorbanan santri dalam kemerdekaan negara tercinta.

Peringatan Hari Santri tahun ini harus lebih istimewa dari sebelumnya, tidak lagi sebatas pada upacara peringatan seremonial semata. Akan tetapi harus menjadi momen kebangkitan para santri, menjadi pelopor dalam berbagai dimensi kehidupan, terutama dalam menata umat serta menjadi motivasi dalam berkiprah di negeri ini.

Apalagi menjelang tahun 2024, di sana ada Pemilu. Kehadiran santri pasti sangat kita nanti, baik menjadi kontestan atau peserta pada Pemilu tersebut maupun menjadi penyejuk di tengah masyarakat. Santri memiliki kapasitas untuk itu, perjuangan dan kiprah santri nasionalismenya sudah terbukti sejak dulu.

Oleh karena itu, kehadiran para santri sangat dirindukan untuk mengabdi kepada ibu pertiwi mencurahkan pikiran dan energinya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum, menjaga keutuhan dan persatuan umat di tengah situasi saat ini yang penuh dengan berbagai fitnah, apalagi menjelang tahun 2024.

Senada dengan tema HSN tahun ini Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan, santri pasti bisa menjadi penggerak dan pionir perdamaian yang menerangi dan penyejuk di tengah masyarakat, menjadi duta moderasi dalam membawa pemahaman agama dan menjadi contoh dalam berpolitik.

Karena santri senantiasa peduli pada urusan masyarakat banyak bahkan hal kecil sekalipun. Seperti petuah yang disampaikan kiai Maimoen Zubair Allah yarham : jika engkau melihat seekor semut terpeleset dan jatuh di air, maka angkat dan tolonglah barangkali itu menjadi penyebab ampunan bagimu di akhirat.

Sejarah telah membuktikan bahwa santri tidak hanya muncul sebagai kaum intelektual, namun juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan. Santri memiliki kemampuan dan skill masing-masing yang dapat mengembangkan sayapnya di tengah-tengah masyarakat.

Hari ini santri telah menunjukkan kiprahnya dalam membangun bangsa, mengambil peran serta posisi penting dan strategis. Tidak hanya sebagai guru agama di pondok pesantren, khatib dan majelis taklim, akan tetapi santri telah mengepak sayapnya ke berbagai stakeholder pemerintahan, BUMN, maupun swasta.

Bahkan sejumlah santri telah  menjelma sebagai pemimpin bangsa, seperti dahulu Allah yarham KH Abdurrahman Wahid atau biasa kita sapa Gus Dur yang menjadi Presiden ke-4 RI. Kini kiprah santri untuk negeri ini terus berlanjut yaitu Wakil Presiden RI, KH Maruf Amin dan juga ada menjadi menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, dan jabatan lainnya.

Begitu juga di Aceh, santri hadir dalam mewarnai pemerintahan, tidak hanya di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), ada sejumlah santri menjadi pimpinan di sebagian kabupaten/kota dan juga legislatif.

Bagi santri, berpolitik dan berdakwah adalah sama-sama pentingnya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi wafat persoalan yang pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal pengangkatan wakil pemimpin negara Madinah pasca-Nabi.

Ini menjadi bukti, bahwa santri tidak alergi dengan politik (siyasah), karena Islam sangat menekankan pentingnya siyasah dalam mengatur segenap urusan umat, kehidupan dunia harus diatur seindah mungkin sehingga manusia bisa mengabdi kepada Allah secara lebih sempurna. Seperti disampaikan ulama bahwa tujuan politik iqamatud din (hirasatud din) wa siyasatud dunya (menegakkan din dan mengatur urusan dunia).

Dari pengalaman sejumlah santri tersebut, kita bisa belajar bahwa ternyata seorang santri selain berpengetahuan tentang agama, juga penting untuk bisa berpolitik, pakar ekonomi, melek hukum serta teknologi dan lainnya.

Seorang santri juga harus mampu menembus batas-batas diri. Karena memiliki bekal dan SDM mumpuni dari kitab turats yang telah mereka pelajari, memahami betul, konsep dan tujuan dari siyasah yang menjadi pondasi dalam berkiprah di dunia perpolitikan di negara ini.

Kehadiran santri dalam berbagai wadah diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu mewarnai perpolitikan dan kekuasaan ke arah lebih indah dan sejuk, menerapkan politik santun dan memikirkan kemaslahatan umat. Tetapi tidak sebaliknya, santri diwarnai dengan oleh sisi gelap perpolitikan.

Sejak dulu, santri dikenal sebagai sosok sederhana, mandiri dan tangguh, rela berjuang, meninggalkan kampung halamannya untuk memperdalam ilmu agama ke pondok pesantren dan kembali mengabdi ke daerahnya.

Momentum Hari Santri Nasional ini merupakan babak baru dalam sejarah umat Islam Indonesia sejak ditetapkan oleh Presiden RI pada tahun 2015, dan pada tahun 2019 santri mendapat kado terindah yaitu disahkan Undang-Undang Pondok Pesantren. Pemerintah terus mendukung penguatan santri dan lembaga pondok pesantren.

Maka, di tengah arus deras perubahan dunia santri menjadi benteng pertahanan atas berbagai serangan pemikiran yang menghancurkan nilai-nilai Islam, santri juga bisa berperan ekstra dalam melakukan ekspansi nilai-nilai yang telah dibangun selama ini ke dalam struktur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tentunya, masyarakat menaruh harapan kepada santri untuk memberikan nuansa religius dan santun dalam berbagai kegiatan perpolitikan. Dengan paradigma tersebut santri kita harapkan bisa menyuarakan kebenaran. Santri senantiasa menebarkan kedamaian, kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Senantiasa memberi pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya yang memahami agama dengan baik.

Para kiai berpesan untuk santri tetap merasa santri, agar tak berhenti berbakti. Tetap merasa santri, agar tak tinggi hati. Tetap merasa santri, agar semangat membangun negeri dan tetaplah merasa santri, agar peduli.

Mulai saat ini, santri harus mampu mewarnai berbagai sisi di negara tercinta, berjuang merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia dan paling penting santri tidak alergi politik. [kemenag.go.id]

Penulis: Muhammad Nasril, Lc, MA (Alumni Ponpes Ruhul Islam Aceh Besar; Penghulu Muda KUA Kuta Malaka)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry