Oleh Junaidi Khab*

 

Kebijakan pemerintah mengenai undang-undang pendidikan dan kurikulum sering mengalami pasang-surut serta perombakan. Hal tersebut tak lepas dari upaya pemerintah dalam menjembatani agar proses pendidikan di negeri ini mengalami kemajuan dan keberhasilan, seperti efektifitas belajar bagi murid atau bagi guru. Substansinya, jika kita melihat berbagai perubahan undang-undang pendidikan dan kurikulum, pemerintah masih gagal dalam menjembatani keberhasilan pendidikan di Indonesia. Logikanya, andai undang-undang pendidikan dan kurikulum memang tepat bagi kebutuhan pendidikan, maka tidak akan mengalami berbagai perubahan dan pertentangan dari berbagai kalangan.

Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 bahwa pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar murid secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memeliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Amanat UUD Sisdiknas tahun 2003 tersebut memiliki tujuan dan perencanaan yang memang benar-benar matang. Namun, kenyataan di lapangan berbagai undang-undang pendidikan dan kurikulum baru selalu bermunculan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum berhasil memberikan pelayanan pendidikan yang memadai bagi masyarakat. Berbagai model peraturan pendidikan di Indonesia bukan lagi sebagai upaya memajukan kehidupan bangsa sebagaimana bunyi pembukaan UUD ’45, namun hanya sebagai percobaan dalam menerapkan berbagai aturan baru dari kepala-kepala yang tentunya memiliki pandangan berbeda tentang masa depan pendidikan.

Perubahan menteri dan kabinet kerja pendidikan sebenarnya memiliki pengaruh besar terhadap terombang-ambingnya pendidikan di Indonesia. Undang-undang dan kurikulum tak menentu serta tak jelas arahnya. Padahal sudah jelas tujuan pendidikan tak lain untuk melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat. Sebagaimana diungkapkan oleh Martin Luther (dalam Salahudin dan Irwanto, 2013:42) pendidikan bertujuan untuk melahirkan kecerdasan berkarakter mulia sebagai tujuan akhir pendidikan. Akan tetapi, akibat arah undang-undang pendidikan dan kurikulumnya yang sering mengalami perubahan seiring perubahan menteri dan presiden, sehingga pendidikan di Indonesia mengalami banyak problem di internal sekolah dan perguruan tinggi.

 

Gelas atau Tumbuhan?

Mencermati segala aspek undang-undang pendidikan dan kurikulumnya yang sering mengalami perubahan, hal tersebut tak lain merupakan propaganda pemerintah untuk mengikat instansi-instansi pendidikan agar berada dalam kendalinya. Padahal, kunci pendidikan ada di tangan para guru. Jika para guru melihat lebih tajam dengan instrospeksi diri yang intens untuk memajukan dan mencerdaskan murid berikut dengan kreatifitas yang berangkat dari materi abstrak menjadi riil cukup memberikan ruang gerak bagi murid agar mereka punya ruang untuk menyampaikan ide-ide kreatif yang bersarang di dalam otaknya. Dengan kata lain, guru harus lebih sinergi untuk merangsang para muridnya agar bisa aktif dalam menyampaikan ide-idenya dan pengetahuan yang didapat.

Seperti yang dikatakan oleh Dewey (dalam Hernowo Hasim, 2016:77) bahwa para siswa harus terlibat aktif di dalam pembelajarannya, bukan hanya menerima informasi secara pasif. Begitu pula sebagaimana diilustrasikan dengan gambar oleh Anita Lie (dalam Hernowo Hasim, 2016:82) bahwa murid itu mau dijadikan apa tergantung pada gurunya, baik dijadikan cangkir atau tumbuhan yang disiram dengan air. Dalam hal ini, air sebagai lambang ilmu atau pengetahuan. Air yang dituang ke dalam gelas, bentuknya akan tetap (pasif) tak berubah menjadi hal lain energinya. Tapi, jika air dituang ke tumbuhan, maka air itu akan menjadi hal baru (aktif) untuk menghasilkan sesuatu yang lain seperti buah, bunga, daun yang lebat, atau nektar.

Upaya demikian hanya bisa dilakukan oleh guru tanpa harus terpaku pada undang-undang atau kurikulum pendidikan. Karena hal tersebut sifatnya mengikat dan mengekang daya kreatifitas murid atau guru. Peran guru dengan sinergi yang tinggi sangat diperlukan demi mensukseskan tujuan pendidikan di Indonesia. Memang, kadang para guru yang mengekang muridnya dengan alasan tertentu, sehingga materi pelajaran yang abstrak tak pernah dikembangkan dan dikolaborasikan dengan realita kehidupan yang ada. Jadinya, perkembangan pendidikan di negeri ini masih stagnan.

Mengacu pada apa yang disebutkan oleh Hernowo Hasim (2016:83) bahwa seorang guru dapat memilihkan dan menentukan pada muridnya untuk menjadi tumbuhan apabila dia memiliki kesadaran dalam mengelola pengetahuan. Dia harus sadar bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer bagitu saja bagaikan seseorang sedang menuang air ke cangkir. Segepok pengetahuan baru akan menjadi sebuah ilmu yang bermanfaat jika pengetahuan itu dapat diolah terlebih dahulu. Semua itu memerlukan proses, tidak instan. Murid harus diberi kesempatan merenungkan dan menuliskan (membangun) setiap pengetahuan yang diterima dengan kehidupan riil.

Keberhasilan pendidikan bergantung pada metode pengajaran yang diberikan oleh guru. Bukan bergantung pada undang-undang pendidikan dan kurikulum yang sangat mengikat dunia pendidikan sebagai lembaga di bawah naungan pemerintah. Hal tersebut dengan melibatkan murid dalam berbagai aktifitas dan kreatifitas dengan aktif. Seperti yang diungkapkan oleh Hernowo, murid harus diberi kesempatan untuk mengikat dan mengembangkan ilmu yang didapat dengan praktiknya di lingkungan sosial agar berkembang serta maju. Jadikanlah murid sebagai tumbuhan yang disiram dengan air, bukan cangkir yang dituang dengan air.

 

* Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Tinggal di Yogyakarta.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry