“Tidaklah adil dan bijak apabila masalah jihad dan terorisme dalam konteks kekinian hanya dikaji tanpa memandang faktor utama.”

Oleh Dr H. Ahmad Fahrur Rozi*

MASYARAKAT Indonesia kembali dikejutkan oleh berita penangkapan DR ZA anggota komisi Fatwa MUI sebagai tersangka jaringan teroris. Penulis sebagai Wasekjen MUI bidang fatwa, pun ikut terhenyak, kaget.

Meski tidak kenal secara pribadi penulis sempat bertemu beliau seminggu yang lalu saat ijtima ulama nasional MUI di Jakarta. Alumnus Al Azhar itu tampil sederhana saja terkesan santun dan tidak nampak penampilan yang mencurigakan sebagai tersangka terorisme.

Dewan pimpinan MUI juga sudah merespons dengan pernyataan komitmen dukungan terhadap pencegahan terorisme dan menyerahkan urusan hukum tersangka kepada pihak berwenang.

Istilah terorisme berkaitan dengan kata teror dan teroris yang, secara umum belum memiliki definisi yang baku dan universal.

Namun demikian negara-negara internasional bersepakat bahwa istilah tersebut memiliki konotasi negatif yang sekelas atau setara akibatnya dengan istilah “genosida”.

Teror merupakan fenomena yang memiliki umur cukup panjang dalam sejarah. akar kata teror itu sendiri dari Frase bahasa Romawi “Cimbricus teror “ yang berarti “untuk menakut-nakuti”. Menggambarkan kepanikan yang terjadi saat prajurit lawan beraksi sengit dan keras.

Menurut hemat penulis , akar terorisme itu sesungguhnya bukan agama, melainkan ideologi teror yang kadang-kadang diperkuat dengan mispersepsi ajaran agama.

Sedangkan hal hal yang bisa menyebabkan pemicu terorisme adalah antara lain karena ketidakadilan , kekecewaan terhadap pemerintah, ketimpangan hukum, perlakuan aparat, maupun sistem demokrasi yang pincang.

Terorisme juga bisa terjadi karena rendahnya kesejahteraan, faktor sosial sekitar, pengaruh medsos atau hoax pemberitaan sepihak.

Penulis pernah berdialog dengan professor Richard Bonney, direktur studi pluralisme dan sejarah modern di Universitas Leicester Inggris pada tahun 2003. Beliau adalah seorang pendeta dan pemerhati keIslaman yang sedang menulis buku tentang makna jihad dalam Islam yang disalah artikan.

Penulis mengajukan argumen bahwa akar masalah terorisme sesungguhnya adalah ketidakadilan dan hegemoni barat yang berlebihan, disamping ada pula pemahaman sempit terhadap jihad oleh sebagian kecil orang Islam sebagai upaya pembalasan.

Oleh karena itu, tidaklah adil dan bijak apabila masalah jihad dan terorisme dalam konteks kekinian hanya dikaji tanpa memandang faktor utama ekses ketidakadilan dan penindasan koalisi barat di Irak dan Negara Islam lainnya.

Ketika mengikuti program IVLP di AS bulan September tahun 2015 penulis juga sempat mengikuti diskusi bersama Ms. Dr. Katherine Marshall, Senior Fellow di The Berkley Center for religion, Peace And world Affairs Georgetown University. dimana ia memimpin program pusat studi Agama dan Global Development⁹.

Dia seorang Profesor di Universitas Georgetown dan profesor tamu di Sekolah Dinas departeemen Luar Negeri yang juga menjabat sebagai direktur eksekutif Pengembangan Dialog antar Iman dunia

Dalam diskusi terorisme kita memberikan penjelasan bahwa kultur ummat islam Indonesia berbeda dengan Saudi Arabia. Doktrin mayoritas penganut agama islam kaum Nahdliyyin Indonesia sangat moderat dan berbeda jauh dengan doktrin kelompok wahabi salafy yang menjadi akar kekerasan di timur tengah.

Kita menyampaikan adanya ancaman ideologi garis keras terlegitimasi dan mengakar dari kelompok wahabi takfiri dari Timteng yang memperbolehkan untuk membunuh, melakukan kekerasan kepada kelompok lainnya sehingga mereka tidak ragu untuk melakukan aksi teror.

Kelompok ini kemudian membentuk komunitas garis keras sebagai pendukung gerakan radikal yang memberi doktrin kepada pengikutnya baik secara langsung maupun lewat dunia maya dengan propaganda teror .

Saat ini masalah terorisme telah menjadi keprihatinan bagi Indonesia dan juga masyarakat internasional. Terorisme merupakan ancaman serius bukan hanya terhadap perdamaian dan keamanan, namun juga berdampak kepada perkembangan hukum, sosial dan ekonomi. Maka dari itu tindakan terorisme harus dicegah sedini mungkin.

Organisasi keagamaan memiliki peran penting dalam upaya pencegahan terorisme di Indonesia. Salah satu agenda yang perlu dilakukan adalah memperkuat relasi antarkomunitas yang ada dalam bekerjasama merespon persoalan terorisme dengan tujuan membangun ketahanan sosial masyarakat di tengah terpaan pahan dan aksi terorisme, untuk itu penulis menyarankan kepada pemerintah agat terus intens berkolaborasi dengan dengan organisasi Islam moderat semisal Nahdlatul Ulama dan muhammadiyah dalam membangun narasi deradikalisasi dengan konsep kekinian yang mudah diterima masyarakat. Lembaga pendidikan pesantren NU juga bisa dimanfaatkan untuk membantu pembentukan cara pikir Islami yang cinta damai. Dalam perang melawan terorisme diperlukan upaya komperhensif secara lintas instansi dan lintas ormas keagamaan. penanggulangan terorisme tidak hanya dapat dilakukan pemerintah pusat dan daerah tapi juga harus melibatkan ulama dan masyarakat sipil .(*)

Malang , 16 Nopember 2021.

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren ANNUR 1 Bululawang Malang , Wakil ketua PWNU Jatim , Wakil Sekjen DP MUI bidang Fatwa.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry