Oleh: Husain Latuconsina*

SAAT Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Anwar Makarim menanggapi permintaan salah satu anggota dewan dari fraksi Partai Gerindra Djohar Arifin Husin, dalam rapat kerja antara Komisi X DPR RI dengan Kemendikbud, agar dosen dibebaskan dari kewajiban publikasi artikel ilmiah hasil riset pada berbagai jurnal internasional bereputasi yang terindeks pengindeks internasional, menurut Mendikbud, searah dengan kebijakan “Kampus Merdeka” yang dasarnya publikasi ilmiah bagi dosen menjadi hak otonom setiap perguruan tinggi untuk mengaturnya.

Kewajiban penerbitan karya ilmiah hasil riset dosen pada berbagai jurnal internasional bereputasi awalnya merupakan kebijakan yang ambisius dari Menristek Dikti era-Muhammad Nasir yang menginginkan Indonesia menempati urutan teratas di kawasan Asia Tenggara untuk publikasi pada jurnal internasional bereputasi terindeks pengindeks internasional terutama Scopus. Meskipun kebijakan ini mendapat pro dan kontra bagi dosen di tanah air namun ternyata berdampak positif, dimana terjadi peningkatan publikasi yang sangat signifikan pada jurnal internasional berputasi oleh dosen di tanah air dalam lima tahun terakhir.

Data Scopus pada November 2018 menunjukkan bahwa publikasi ilmiah internasional dari Indonesia sebanyak 24.883 jurnal, jauh melampaui Singapura (19.767 jurnal) dan Thailand (15.018 jurnal). Meskipun meningkat pesat dalam lima tahun terakhir, ternyata jumlah publikasi ilmiah internasional dari Indonesia belum sebanding dengan jumlah dosen yang tersebar pada 4.607 perguruan tinggi.

Dari sejumlah 177.000 dosen dan peneliti yang terdaftar di Science and Technology Index (Sinta), ternyata hanya menghasilkan 34.732 jurnal terindeks Scopus sampai dengan akhir tahun 2019. Kendati demikian, jumlah publikasi tersebut merupakan yang terbanyak di level Asia Tenggara. Mengungguli capaian Malaysia yang menerbitkan sebanyak 33.386 publikasi jurnal yang terindeks Scopus. Namun ternyata jumlah dosen, peneliti dan perguruan tinggi di negeri jiran serumpun itu masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia. Fenomena ini mengindikasikan bawa belum sebandingnya jumlah dosen aktif di tanah air dengan jumlah dan kualitas publikasi dihasilkan.

Alasan kewajiban publikasi ilmiah hasil riset pada jurnal internasional bereputasi cukup sederhana, karena jurnal internasional bereputasi Quartile 1 dan 2 (impact factor yang tinggi) menjadi sumber rujukan utama para peneliti kelas dunia. Sehingga terbitnya artikel ilmiah hasil riset pada jurnal internasional bereputasi merupakan salah satu prestasi dan kebanggaan yang perlu terus didorong.

Semakin banyak jumlah sitasi dari publikasi hasil riset seorang dosen, maka akan semakin meningkatkan peringkat dosen secara nasional yang terekam pada Science and Technology Index (Sinta), sehingga turut meningkatkan peringkat perguruan tinggi tempatnya berafiliasi. Dimana perengkingan Sinta menjadi salah satu variabel penting bagi pemerintah dalam megevaluasi kinerja dosen, program studi dan institusi, serta dijadikan salah satu indikator dalam penentuan peringkat perguruan tinggi terbaik di tanah air.

Fenomena yang sama juga berlaku bagi badan independen tingkat dunia yang melakukan perengkingan institusi pendidikan tinggi di dunia, dimana variabel dosen dengan berbagai produktivitas publikasi hasil riset dan berbagai kerjasama riset menjadi indikator penting dalam penilaian kinerja sebuah institusi pendidikan tinggi.

Untuk terus mendukung dan memacu staf dosen dalam mempublikasikan hasil risetnya pada jurnal internasional bereputasi, umumnya perguruan tinggi yang telah mapan memberikan kebijakan insentif bagi setiap publikasi yang dihasikan oleh dosen sesuai dengan level jurnal yang dipublikasikannya. Namun fenomena ini tidak berlaku umum, karena tidak semua perguruan tinggi mampu memberikan insentif yang sama.

Jika merujuk pada pernyataan Mendikbud, seharusnya setiap institusi pendidikan tinggi diberikan hak otonom dalam meregulasi kewajiban publikasi hasil riset pada jurnal internasional bereputasi sesuai visi dan misi institusinya yang dapat disinergikan dengan harapan pemerintah. Bagi perguruan tinggi yang ingin terus meningkatkan performa institusinya menuju World Class University, maka publikasi hasil riset berkualitas pada berbagai jurnal internasional bereputasi menjadi suatu keniscayaan.

Publikasi internasional berputasi selama ini masih menjadi kendala umum bagi dosen di Indonesia, namun menjadi standar penilaian penting dalam proses akrediasi oleh Badan Akreditasi Nasional maupun oleh lembaga akreditasi internasional untuk mewujudkan program studi dan institusi pendidikan tinggi yang unggul. Dimana hasil riset yang terpublikasikan pada jurnal internasional bereputasi merupakan manifestasi riset berkualitas, sekaligus bukti pertanggungjawaban keilmuwan seorang dosen untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional.

Untuk meningkatkan riset yang berkualitas dan dapat dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi, maka perlu membangun kerjasama riset jangka panjang dan berkelanjutan antar institusi pendidikan tinggi di dalam dan luar negeri, maupun antar institusi pendidikan tinggi dengan lembaga riset nasional maupun internasional, dan outputnya adalah publikasi ilmiah bersama.

Selain itu, diperlukan pengembangan dan pengelolaan berbagai jurnal nasional terakreditasi Sinta 1 dan 2 untuk mencapai level jurnal internasonal bereputasi. Strategi ini tentunya untuk mengurangi ketergantungan publikasi hasil riset dosen pada berbagai jurnal asing berlabel Internasional bereputasi.

Ketergantungan yang massif terhadap berbagai jurnal asing dalam lima tahun terakhir, dilain pihak justru merugikan Indonesia dalam beberapa hal, di antaranya; 1) dosen di Indonesia wajib menyerahkan naskah hasil riset yang bermutu kepada pihak asing dan akan menjadi hak bagi penerbit jurnal asing, untuk beberapa jurnal asing akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda dengan “menjual” artikel yang telah dipublikasikan melalui akses berbayar, 2) dosen di Indonesia dibebankan membayar biaya administrasi ke pengelola jurnal internasional bereputasi, dimana semakin tinggi level Quartile (Q) menunjukan semakin besar impact factor-nya (IF), dan semakin besar pula biaya andiminstrasi yang dibebankan kepada dosen untuk membayarnya dalam bentuk Dolar US, 3) bermunculannya beragam jurnal asing “berlabel internasional” yang sangat massif namun masuk kategori predator (abal-abal), hanya untuk mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan peluang dari kebijakan pemerintah Indonesia terkait kewajiban publikasi ilmiah internasional bagi dosen.

Jika fenomena ini terus berlanjut, maka dosen di Indonesia akan terus menjadi pendukung tetap sekaligus pendonor potensial bagi keberlanjutan pengelolaan dan pengembangan jurnal asing, sebaliknya berbagai jurnal nasional akan kalah bersaing dan tidak akan mampu mencapai level jurnal internasional bereputasi.

Untuk itu, diharapkan dosen di Indonesia harus lebih selektif dalam memilih dan memilah jurnal asing yang bereputasi dan masuk level Q1 dan Q2 dengan impact factor (IF) yang tinggi sebagai bukti tingginya sitasi pada jurnal dimaksud. Dilain pihak, berbagai jurnal nasional terakreditasi yang telah mencapai level Sinta 1 dan 2 terus didorong pengembangannya untuk masuk pada level jurnal internasional bereputasi Q3 dan Q4 sebagai awal untuk memulai persaingan dalam upaya mencapai level Q1 dan Q2 dengan IF yang tinggi.

Sudah saatnya dosen di Indonesia ikut berperan penting secara massif dalam menentukan arah pengembangan peradaban dunia, melalui penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dukungan riset profesional dan publikasi ilmiah bermutu pada berbagai jurnal internasional bereputasi dengam IF yang tinggi, sebagai wujud nyata kemerdekaan publikasi ilmiah bagi seorang dosen, sehingga dapat berkontribusi positif bagi kemajuan insitusi tempatnya berafiliasi, dan ikut membawa nama baik bangsa dan Negara di pentas dunia.

*Penulis adalah Associate Professor pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Malang

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry