SURABAYA | duta.co – Redaksi duta.co menerima banyak pertanyaan terkait penjelasan Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Makruf Khozin yang notabene Direkur Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur sebagaimana terunggah nu.or.id bertajuk ‘Viral di Semeru, KH Ma’ruf Khozin Jelaskan Hukum Sesajen dalam Islam’.

“Setelah membaca dengan seksama, kesannya Sesajen itu boleh. Alasannya pelakunya orang Islam. Sembelihannya membaca Bismillah. Lalu, dengan entengnya mengatakan, bahwa makanan (Sesajen) itu, sengaja mereka letakkan di atas gunung, untuk makanan burung. Dengan begitu, tidak masalah, tidak mendatangkan murka Allah. Kok aneh?” demikian salah seorang warga nahdliyin yang juga kader GP Ansor Surabaya kepada duta.co, Selasa (11/1/22).

Warga NU tidak perlu bingung. Karena masalah MEMAHAMI “IBARAH SESAJEN”, sudah ada penjelasan dari KH Abdul Wahab Ahmad, juga anggota LBM (Lembaga Bahtsul Masail) PWNU Jatim, PCNU Jember dan anggota Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Penjelasan ini juga terunggah dalam akun facebooknya, dengan banyak komentar.

Judulnya: MEMAHAMI “IBARAH SESAJEN”. Sebagian kawan menukil beberapa ibarah (kutipan kitab fikih) untuk membenarkan tradisi pemberian Sesajen yang diberikan dengan cara tertentu. To the point, saya secara pribadi mempunyai pemahaman yang berbeda dalam membaca ibarah-ibarah tersebut sehingga bagi saya kurang pas bila itu dijadikan dasar justifikasi sesajen,” demikian kiai muda ini mengawali tulisannya.

Menariknya, tulisan ini naik ke facebook setelah ia berbincang santai via WhatsApp dengan Kiai Ma’ruf Khozin. “Setelah berbincang santai via WhatsApp dengan akhi al-karim senior saya di LBM, Kyai Ma’ruf Khozin, tentang ini, beliau meminta saya untuk menuliskan pemahaman saya,” terangnya.

“Sebagai pasukan beliau di Aswaja NU Center, saya melaksanakan permintaan beliau tersebut sekaligus memohon koreksi pada beliau dan sahabat-sahabat yang lain tentang hasil pembacaan saya,” jelasnya.

Berikut ini di antara ibarah yang dimaksud. Pertama: Ia kutip pendapat Syaikh Abu Bakar Syatha: “Barangsiapa menyembelih hewan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah untuk menghindari petaka dari Jin, maka tidak haram. Jika bertujuan untuk Jin (bukan karena Allah), maka haram… Sebab sembelihannya menjadi bangkai. Bahkan jika bertujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada Jin, maka ia telah berbuat kufur” (Syaikh Abu Bakar Syatha, Ianat ath-Thalibin, 2/397)

Ada dua poin krusial yang perlu dibedakan dengan tegas dalam ibarah di atas, yakni:

1. Menyembelih karena Allah dengan tujuan terhindar dari gangguan jin. Sembelihan semacam ini sama dengan sembelihan pada umumnya yang dilakukan seorang muslim ketika berkorban saat Idul Adha, hanya saja motifnya agak berbeda. Kalau saat idul Adha menyembelih karena Allah dengan motif agar mendapat pahala, dalam kasus ibarah ini motifnya agar tehindar dari jin.

Prakteknya adalah: Seorang muslim menyembelih hewan tertentu yang halal disembelih dengan niat lillahi ta’ala. Setelah itu kemudian dimakan bersama atau disedekahkan sebagian. Jadi ini persis seperti selamatan yang kita kenal. Tujuan sedekah dalam bentuk sembelihan ini agar dia dijaga oleh Allah dari gangguan jin. Hukum tindakan semacam ini diperbolehkan, sama seperti diperbolehkannya seseorang bersedekah daging agar dirinya bebas dari jeratan hutang, agar lancar usahanya dan lain sebagainya. Jadi, ini bukan sesajen tetapi sedekah makanan berupa hewan yang disembelih karena Allah.

2. Menyembelih untuk jin. Yang dimaksud menyembelih untuk jin adalah menyembelih hewan untuk dipersembahkan pada jin. Karena maksud tujuannya adalah jin, maka bangkainya tidak untuk dimakan atau disedekahkan pada manusia tetapi memang diletakkan untuk diberikan pada jin. Inilah yang diharamkan menurut ibarah tersebut. Haram kalau sekedar untuk diberikan pada mereka, apabila disertai niat menyembah mereka maka kufur. Praktek sesajen masuk dalam kategori sembelihan untuk jin ini.

Yang kedua adalah ibarah dari Nihayah berikut: Apa yang terjadi saat ini dengan melempar roti ke laut untuk binatang laut dan ikan adalah tidak haram meskipun memiliki harga sebab hal itu termasuk sedekah kepada hewan (Nihayatul Muhtaj, 7/367)

Ibarah ini bercerita tentang kasus seseorang yang melemparkan makanan ke laut dengan maksud agar dimakan oleh ikan yang ada di sana. Praktek ini diperbolehkan karena sebenarnya ini sedekah juga, namun sedekah pada hewan.

“Perlu dicatat bahwa ikannya memang sudah ada dan yang dilempar adalah memang makanan yang bisa dimakan ikan. Kasusnya sama seperti bila ada kucing yang lewat saat anda makan ayam goreng lalu anda berikan sepotong ayam goreng pada kucing tersebut. Meskipun ayam goreng mempunyai nilai harga, namun anda tidak bisa dibilang menyia-nyiakan harta dengan tindakan tersebut sebab tujuannya jelas agar dimakan hewan, dan ini adalah sedekah,” jelasnya.

Lalu bagaimana bila kasusnya ada seseorang yang membuat wadah makanan dengan komposisi tertentu yang tidak boleh diubah (misalnya harus ada kembangnya, ada berasnya, ada dagingnya, dll yang sudah pakem) lalu meletakkannya di atas gunung dengan maksud agar gunungnya tidak meletus?

“Saya merasa kedua ibarah di atas sangat tidak tepat digunakan sebagai dalil untuk mendukung kasus ini. Dalam kasus tersebut jelas bahwa komposisi yang pakem tersebut (tidak boleh diganti dengan dengan makanan lain menurut selera kita, misalkan diganti konsentrat pakan burung atau semacamnya) menunjukkan bahwa itu adalah sesajen yang sejak awal tidak dimaksudkan sebagai makanan hewan,” urainya.

Selain itu, tambahnya, kalau hendak memakai ibarat kedua di atas, maka harusnya burungnya sudah ada di tempat tersebut lalu diberi makanan. Kalau burungnya masih tidak jelas, maka jelas itu perbuatan tabdzir (menyia-nyiakan harta) yang dilarang oleh agama.

“Ini sama seperti ketika anda meletakkan nasi pecel di atas genteng yang anda tahu kemungkinan kecil akan ada burung lewat di sana, yang terjadi adalah anda sudah membuang-buang nasi secara percuma dan orang-orang yang melihat pasti menyalahkan tindakan anda. Beda ceritanya apabila anda memelihara beberapa merpati lalu anda ambil satu dua sendok nasi putih dari piring sarapan anda untuk dilempar ke merpati tersebut sebagai makanan, maka inilah yang dimaksud tidak haram dalam ibarah tersebut,” jelasnya.

Inilah, tulisnya, yang saya pahami dari ibarah-ibarah di atas yang intinya tidak pas apabila digunakan sebagai pembenar praktek sesajen yang diletakkan di gunung, di sawah, di bawah pohon, di laut atau di mana pun. Pengakuan beberapa pihak bahwa itu hanyalah “sedekah untuk hewan” dapat diketahui benar tidaknya dari berbagai indikasi seperti yang saya tulis di atas. Bila memang tujuannya memberi makan burung, maka menyediakan pakan burung tentu lebih disukai burung daripada pakan manusia.

“Silakan bila ada yang berbeda pendapat tentang pemahaman fiqhiyah ini, ruang diskusi terbuka sangat lebar. Wallahu a’lam,” pungkasnya.

Penjelasan KH Abdul Wahab Ahmad ini mendapat sambutan luar biasa warganet. Herawan Aziz Saleh misalnya, memberikan tanggapan: Menyembelih kan termasuk ibadah, sedang ibadah tidak membutuhkan qiyas di dalamnya. Lagian ngapain nyembelih hewan tertentu agar terhindar dari jin. Ya ta’awudz aja kenapa.

Yusuf Supriatna. Alhamdulillah penjelasan nya lebih gamblang sehingga sedikit kemungkinan untuk di salah fahami. Imam Hanafi juga menulis:  Dirubah (diubah) saja ke semeruh (Semeru) bawah (bawa) makanan lalu di doakan lalu dimakan bersama sama, tanpa menyakiti orang lain.

Sebagian warganet menanyakan, mengapa orang yang menendang Sesajen tidak kita bahas? Bukankah itu tindakan radikal? “Menendang Sesajen, jelas tidak benar, karena bisa menyakiti perasaan orang. Tetapi, Islam juga tidak membenarkan sesembahan berupa Sesajen,” demikian warganet yang lain. (mky)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry