TANPA 'NGATOK': Presiden Soeharto pun sangat Menghormati Kiai-kiai NU. (FT/IST)

“Kiai As’ad dan Gus Dur saat itu, menjadi simbol perjuangan khittah. Keduanya terkadang berbeda pandangan, namun, silaturrahim terus terjaga dan dilakukan.”

Oleh M Misbahus Salam*

ALHAMDULILLAH! Saya benar-benar bersyukur dapat bertemu langsung denganĀ  banyak kiai yang ikutĀ  dalam proses keputusan Munas dan Muktamar NU Situbondo, tahun 1984 lalu. Saya melihat sendiri beberapa kiai yang menjadi konseptor Khittah NU mengajar dan sering menjadi narasumber di Ma’had Aly Sukorejo Situbondo.

Ada KH Ahmad Shiddiq, KH Abdul Muhith Muzadi, KH Hasan Abdul Wafi, KH Ali Yafi, KHĀ  Mujib Ridwan, KH Yusuf Hasyim, KH Imron Hamzah, KH Wahid Zaini, KH Sahal Mahfudz, KH Maimun Zubair, KH Yusuf Muhammad, KH Khatib Umar, KH Badri Masduki, KH Tholhah Hasan, KH Maksum Syafi’i dan beberapa kiai yang lain.

Dari yang saya dengar, para kiai tersebut selalu mengedepankan perjuangan Islam Aswaja, keilmuan,Ā  pembelaan terhadap kaum dhuafa (lemah), menjaga dan membangun NKRI. Tak satu pun beliau beliau itu berambisi untuk merebut jabatan. Jabatan apa pun. Apalagi dengan cara risywah (suap).

Kiai As’ad dan Gus Dur saat itu, menjadi simbol perjuangan khittah. Keduanya terkadang berbeda pandangan, namun, silaturrahim terus terjaga dan dilakukan. Salah satu kiai dawuh, saya masih ingat: sirrul wali bil wali (yang tahu rahasia waliyullah itu hanya sesama waliyullahnya). Yang tidak wali, seperti saya, tidak tahu sama sekali.

Kepemimpinan Gus Dur di NU, kerap kali menjadi trending topik utama di media. NU pun menjadi daya tarik bagi warga nahdliyin sebagai tempat pengabdian. Warga NU dengan berbagai profesi, sangatĀ  mencintai NU dan mau berkorban untuk NU.

Bahkan para pengamat dalam dan luar negeri, sering menulis tentang NU. Jika PBNU memberikan instruksi, himbauan selalu menjadi rujukan.

Kiai Muhith Muzadi selaku santri KH Hasyim Asy’ari dan sebagai Rais Syuriah PBNU yang dekat dengan anak anak muda NU, selalu mensosialisasikan isi khittah NU. Seakan-akan bukan NU kalau tidak berpedoman pada Khittah NU. Begitu semangat khitthah beliau.

NU, saat itu, betul betul jadi gerakan civil society yang sangat kuat. Pemerintah Orde Baru yang super kuat pun, tak mampu memperdayainya. Gerakan Gus Dur yang zig zag, terkadang merangkul dan, berseberangan dengan pemerintah membuat NU jadi bahan analisis.

Kaum muda NU, para mahasiswa dan NGO NGO (Non-Governmental Organization) nasional dan internasional kerap kali mendiskusikan tentang NU dan Gus Dur.

KH Hasyim Muzadi yangĀ  menjadi Ketua PWNU Jawa Timur, lalu menjadi Ketua Umum PBNUĀ  menata organisasi ini dengan tatanan yang professional, sehingga menambah kekuatan NU di tataran struktural NU. PBNU betul betul berwibawa.

Kiai-kiai yang alim selalu mengadakan bahtsul masail, halaqah, seminar di berbagai daerah. KH Masdar Farid Mas’udi, KH Afifuddin Muhajir,Ā  KH Said Agiel Siroj dan kiai-kiai muda NU sertaĀ  kalangan intelektual kampus, sering bertemu dalam forum forum keilmuan guna menghidupkan wawasan warga NU.

Saya melihat sendiri, Drs Chairul Anam (Cak Anam) sebagai Ketua GP Ansor Jatim yang memiliki media dan Gus Maksum sebagai Ketua Pagar Nusa menjadi kekuatan NU yang sangat disegani.

NU saat itu menjadi kebanggaan, sehingga warga NU yang berada di dalam dan luar negeriĀ mengurus NU dengan penuh keikhlasan.

Nah, semoga Muktamar NU ke-34 yang akan datang dapat mengembalikan Marwah NU. Ya Allah berilah jalan NU untuk kembali menjadi organisasi yang memiliki marwah, berkat syafaat Nabi Muhammad SAW. danĀ  barokah dari para waliyullahĀ serta ulama NU kita terdahulu. Amin. (*)

Jakarta, 2 Desember 2021

KH M Misbahus Salam, MPdI Ā adalah Pengasuh Yayasan Pesantren Raudlah Darus Salam, Sukorejo, Jember.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry