Psikolog Unair, Rudi Cahyono. DUTA/istimewa

SURABAYA | duta.co – Sejak beberapa tahun terakhir fenomena nikah muda kembali populer di kalangan anak muda khususnya mahasiswa. Banyak kampanye nikah muda disuarakan di media sosial.

Psikolog Universitas Airlangga, Rudi Cahyono, tidak ada salahnya menikah muda. Karena dalam Undung-Undang Perkawinan, laki-laki sudah boleh menikah minimal usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun.

“Namun di usia-usia tersebut, secara psikologis belum matang,” ujar Rudi, Jumat (9/8).

Rudi menilai, generasi saat ini memungkinkan menjadikan fenomena menikah muda menjadi sebuah tren karena mereka merasa percaya diri bahwa menikah adalah pilihan terbaik.

Namun, kadang keputusan tersebut tidak diikuti perencanaan yang matang. Tidak jarang, keputusan yang diambil hanya didasarkan pada sugesti dan keyakinan. Misalnya, keyakinan bahwa rejeki pasti ada setelah menikah dan sebagainya.

Begitu juga dengan niat untuk menghindari zina. Niat tersebut dianggap sebagai sebuah niat yang baik, yang pasti akan diikuti oleh dampak yang baik.

Jika keyakinan itu diikuti oleh perencanaan yang baik, maka tidak akan menjadi kendala bagi pelakunya.

Namun jika tidak diikuti dengan perencanaan yang baik, maka kondisi mental yang belum matang akan berakibat kurang baik.

Misalnya dapat membuat tindakan yang dilakukan dalam menghadapi permasalahan ke depan akan cenderung mengedepankan emosi dan kadang bisa tidak rasional.

Tapi memang tak jarang banyak juga pasangan yang berhasil dengan melakukan nikah muda. Namun contoh baik itu harus digunakan secara objektif.

“Kadang, karena seseorang ingin segera menikah, yang dicari adalah contoh-contoh yang berhasil. Ini adalah sebuah kesesatan berpikir yang menggunakan dasar-dasar atau argumen yang mendukung kepentingannya saja,” jelas Rudi.

Pernikahan butuh perencanaan. Ada beberapa perencanaan teknis yang perlu dilakukan. Misalnya tentang kehidupan dan penghidupan.

Penghidupan sudah pasti tidak akan terlepas dari ekonomi atau finansial. Orang yang sudah berumahtangga sewajarnya bersifat otonom dalam mengurus rumah tangganya.

Urusan suami istri, anak, beserta konsekuensi keuangan yang harus dikelola juga menjadi tanggung jawab rumah tangga baru tersebut.

Selain itu, juga perlu mempersiapkan diri secara mental. Usia dewasa muda (19 tahun – 25 tahun) secara alamiah adalah waktu di mana seseorang mencari pasangan dan memikirkan karier secara serius. Karena itu, wajar jika di usia ini orang sudah memikirkan untuk menikah.

Namun, setiap orang punya kedewasaan yang berbeda secara mental, meskipun usianya sama. Perencanaan yang dipersiapkan sebelum menikah dapat mendukung atau menjadi indikasi kematangan mental seseorang.

“Dalam perencanaan itu juga termasuk niat. Untuk apa menikah juga menunjukkan kematangan,” ucap Rudi.

Menurutnya, jika menikah hanya sekadar untuk bersenang-senang atau menghindari sesuatu yang negatif (hubungan diluar nikah), maka pernikahan perlu dipertimbangkan lagi.

Jika antesedennya memang dengan berbagai niat tersebut, maka perlu segera diikuti dengan perencanaan.

Persiapan mental tentunya dapat didukung dengan perencanaan teknis. Misal perencanaan terkait pekerjaan, kapan punya anak, bagaimana pembiayaan untuk kehidupan sehari-hari dan sebagainya.

“Dengan demikian, persiapan yang harus dilakukan adalah menata niat, menyiapkan perencanaan kehidupan dan penghidupan, serta menyiapkan mental,” terang Rudi.

Kepada para pemuda yang berkeinginan untuk menikah muda, Rudi berpesan agar diperhatikan lagi niat untuk menyegerakan menikah. Setelah menyadari niat, baru kemudian melangkah ke tahap perencanaan.

“Meskipun punya keyakinan bahwa Tuhan akan menjamin rezeki orang yang menikah, tetap saja perlu perencanaan. Karena perencanaan adalah bagian dari ikhtiar. Tuhan akan memberikan sesuai dengan usaha yang  dilakukannya,” pungkas Rudi. ril/end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry