JAKARTA | duta.co — MUKTAMAR NU ke 34 tinggal seminggu, namun finalisasi kandidat Rais Aam PBNU justru masih remang-remang. Padahal Rais Aam yang secara kelembagaan mempunyai otoritas tertinggi, namun kurang seksi dari perspektif pemberitaan.

“Itu disebabkan oleh menonjolnya peran-peran strategis yang justeru sering dilakukan Ketum PBNU,” ujar Mabroer MS, aktifis NU yang iuga Ketua Konvensi Capres NU 2024, kepada pers kemarin.

Dalam suasana kebatinan Muktamar yang menyedot keprihatinan di kalangan Nahdliyyin karena tarik-ulur kepentingan Calon Ketua Umum tersebut, Mabroer berharap agar sosok Rais Aam bisa menampilkan figur ulama yang kuat, baik secara ke-ilmuan maupun integritas, “Harus teguh memegang prinsip agar bisa menjaga marwah & martabat organisasi,” katanya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah sosok Rais Aam yang ‘sudah selesai dengan urusan diri sendiri maupun keluarga’ agar makin visioner dan independen dalam menahkodai Nahdlatul Ulama.

Mantan pengurus Ansor itu melihat bahwa sosok Rais Aam seperti itulah yang diharapkan bisa mengawal nama besar NU sekaligus kebesaran Nahdliyyin yang jumlahnya hampir mencapai 50% dari populasi umat Islam di Indonesia. Tanpa kepemimpinan yang kuat, “Kebebasan NU hanya akan jadi komoditi belaka, bukan potensi.”

Meski PBNU merupakan simbolisasi Pondok Pesantren, namun dalam kepemimpinan di PBNU perlu ditambahkan adanya ruang manajemen organisasi yang profesional.

“Jika diperlukan, PBNU sudah waktunya menerapkan sistem manajemen berbasis standar manajemen modern, misalnya ISO 9001-2015. Ini bukan kelatahan, tapi sudah harus dijadikan sebagai kebutuhan organisasi. Dengan sistem seperti inilah, maka akuntabilitas & transparan organisasi akan terjaga dengan baik sehingga mempunyai daya imunitas tinggi terhadap berbagai fitnah & nyinyiran yang sering dialamatkan ke NU,” usul Mabroer.

Dengan standar organisasi yang terukur itulah, menurut mantan pengurus PBNU itu, lambat laun trust publik kepada NU kian meningkat sehingga berdampak positif terhadap optimalisasi kinerja organisasi dalam melayani umat. “Dari sinilah akan terbangun rumusan yang tegas dalam bentuk Grand Design tentang posisi NU dalam hubungannya dengan Negara, Bangsa, Agama, dan kemasyarakatan. Apalagi tantangan sekaligus hambatan NU ke depan juga makin komplek seiring dengan kemajuan teknologi informasi serta daya kritis masyarakat Nahdliyyin, khususnya generasi milenial serta generasi Z,” tambah Mabroer.

Jika sosok Rais Aam benar-benar bisa mencerminkan harapan warga Nahdliyyin sekaligus kebesaran populasi warganya, Mabroer menilai bahwa posisi dan eksistensi Ketua Umum Tanfidz beserta jajarannya akan menempati posisi pelaksana kebijakan & keputusan Syuriah. “Bukan malah sebaliknya, Syuriah maunya kemana? Tanfidz geraknya kemana? Secara konseptual, pembagian peran ini sudah sangat tepat & strategis, cuma implementasi-nya acapkali menimbulkan polemik.” (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry