SURABAYA | duta.co – Klenteng Kwan Sin Bio yang sudah rausan tahun berdiri kokoh di Kabupaten Tuban, terusik. Pemicunya adalah keputusan sepihak Ditjen Bimas Agama Hindu dan Budha yang mengubah status klenteng menjadi Vihara atau tempat ibadah umat Budha pada 27 Juli 2020.

Ironisnya, paska keputusan tersebut ada upaya pengalihan penguasaan secara paksa oleh pihak yang merasa diuntungkan dengan keputusan Ditjen Bimas Agama Hindu dan Budha dengan cara mengembok atau mengunci Klenteng Kwan Sing Bio, padahal masih ada umat Konghucu yang beribadah berada dalam Klenteng.

Tak ayal, Pengurus Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) selaku pengelola Klenteng Kwan Sing Bio pun protes atas perlakukan yang diskriminatif terhadap warga Konghucu. Bahkan pengelola Klenteng Kwan Sing Bio mengajukan gugatan kepada Ditjen Bimas Agama Hindu dan Budha Kementerian Agama ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur pada Jumat (11/9) lalu.

Anggota DPRD Jatim dari dapil Tuban -Bojonegoro, Go Tjong Ping mengaku sangat menyesalkan kejadian tersebut. Bahkan politisi asal PDI Perjuangan ini berharap pemerintah daerah baik Pemkab Tuban maupun Pemprov Jatim ikut memperhatikan nasib umat Konghucu yang telah mendapatan perlakuan tidak adil tersebut.

“Kami berharap kasus ini menjadi perhatian karena warga umat Konghucu merasa terusik bahkan tidak lagi leluasa menjalankan ibadah di Klenteng Kwan Sing Bio,” kata politisi yang juga pengurus TITD Klenteng Kwan Sing Bio saat dikonfirmasi Minggu (13/9/2020).

Lebih jauh Go Tjong Ping menjelaskan bahwa TITD se Jawa Timur pada tahun 1967 silam berkumpul bersama membentuk PTITD se Jawa Timur. Setelah terbentuk dan melihat kebermanfaatannya, kemudian diperluas dengan membentuk PTITD seluruh Indonesia sebagai wadah kebersamaan dalam pembinaan TITD.

Selanjutnya dalam pembinaan keumatan kemudian dibentuk Majelis dengan nama Martrisia (majelis rohaniwan Tri Dharma seluruh Indonesia). Kedua wadah tersebut yakni PTITD dan Martrisia bersama-sama mengembangkan Tri Dharma di Indonesia.

Selanjutnya dalam perkembangannya Martrisia pada tahun 1979 bersama dengan majelis agama Budha lainnya melaksanakan Kongres umat Budha di Yogyakarta yang menghasilkan kriteria agama Budha Indonesia, ikrar umat Budha dan berdirinya Wadah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI).

“Sejak saat itulah PTITD/Martrisia bersatu padu dengan majelis agama Budha lainnya bersama sama turut serta dalam pembangunan manusia seutuhnya dalam wadah WALUBI,” kata Go Tjong Ping.

Ia juga membantah pernyataan Penasehat Hukum (PH) Alim Sugiantoro bahwa Klenteng Kwan Sing Bio Tuban adalah Rumah Ibadah Konghucu. Sebab hasil klarifikasi ke Ditjen Bimas Hindu dan Budha Kemenag tidak demikian adanya.

“Klenteng Kwan Sing bio itu Rumah Ibadah Umat Budha Tri Dharma (TITD), jadi tidak benar penyataan kuasa hukum Alim Sugiantoro,” tegas Go Tjong Ping mengutip penjelasan dari Dirjen Bimas Agama Hindu dan Budha Kemenag Budi Cariadi.

Terpisah, kuasa hukum pengurus Klenteng Kwan Sing Bio,  Farida  Sulistyani menambahkan kasus ini dipicu munculnya surat tanda daftar rumah ibadah Budha yang dikeluarkan Ditjen Bimas Agama Hindu dan Budha Kemenag RI yang menyebut Klenteng Kwan Sing Bio di Tuban sebagai Vihara.

Farida Sulistyani

Padahal sudah 247 tahun lebih, klenteng di Jalan Martadinata Tuban itu digunakan sebagai tempat ibadah umat Konghucu (Klenteng). Akibat perubahan status secara sepihak tersebut timbul polemik karena umat Konghucu seolah tak bebas lagi menjalankan ibadah karena Klenteng Kwan Sing Bio digembok oleh pihak yang mengatasnamakan pengelola sah klenteng tersebut.

“Kami berharap pihak-pihak yang berpolemik saling menghormati dan melestarikan Klenteng terbesar se Asia Tenggara 8tu agar tidak rusak karena polemik ini. Terlebih surat Ditjen Bimas Agama Hindu dan Budha itu juga belum jelas karena tidak ada stempel Kementerian Agama,” pungkas Farida. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry