SURAT RAJA SAUD: Tampak Ustadz Ibrohim Muchlis mencarmati isi surat jawaban Raja Saud. (FT/mky)

SURABAYA | duta.co – Menutup kegiatan belajar, sebanyak 77 santri-santriwati Pondok Pesantren AlIbrohimy, Galis, Bangkalan, Madura berkunjung ke Museum Nahdlatul Ulama (NU) di Jl. Gayungsari Timur 35, Surabaya. Mereka melihat langsung satu persatu peninggalan para masyayikh sampai pada pesan-pesan penting para kiai dan ibu nyai.

Didampingi salah satu pengasuhnya, Ustadz Ibrohim Muchlis, mereka menyisir lorong-lorong Museum NU. “Dalam rangka akhirussanah, santri kita kenalkan lebih dekat lagi dengan sejarah NU. Di sini mereka bisa melihat langsung bagaimana ‘denyut’ perjuangan para kiai, ibu nyai dalam mengawal Islam ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah dan NKRI,” demikian disampaikan Ustadz Ibrohim Muchlis kepada duta.co di tengah-tengah kunjungannya, Jumat (23/4/21).

Para santri laki dan perempuan itu, langsung menyebar ke berbagai galeri sejarah NU. Ada yang sibuk mencermati sejarah pendidikan almaghfurlah KHM Hasyim Asy’ari ketika nyantri di PP Silawanpanji, Sidoarjo. Ada yang melihat-lihat sorban kesayangan almaghuflah KH Abdul Wahab Chasbullah, ada juga yang melihat geliri foto para masyayikh dan almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dibuat secara spesial.

Sebagian santri mencermati kisah Mbah Hasyim nyantri di Pondok Pesantren Siwalanpanji, Sidoarjo. (FT/MKY)

“Ini dokumen i’anah syahriyah atau iuran bulanan warga NU jaman dulu. Betapa rapi dan peduli, sehingga seluruh bantuan nahdliyin terdokumentasi dengan baik. Hebatnya lagi, nahdliyin memiliki semangat yang tinggi untuk menghidupi NU, bukan hidup dari NU,” demikian disampaikan Mokhammad Kaiyis, salah seorang pengurus di Museum NU yang kebetulan berada di lokasi.

Ustadz Ibrohim Muchlis juga mengajak santri-santrinya untuk mencermati perjalanan Komite Hijaz. Sebuah kepanitiaan kecil yang diketuai KH Abdul Wahab Chasbullah. Panitia ini bertugas menemui Raja Ibnu Saud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan. “Ini sebelum NU lahir,” jelas Ustadz Ibrohim Muchlis.

Dalam sejarahnya, Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit ulama dibunuh.

Komite Hijaz berhasil meluluhkan Raja Saud. Permintaan diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, dikabulkan. Bahkan, atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram.

Selain itu, tidak dilarang masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudah terkenal kebenarannya. “Hebatnya Komite Hijaz minta jawaban tertulis. Ini copy surat jawaban Raja Saud,” demikian Ustadz Ibrohim Muchlis bersama pengasuh Ponpes Al-Ibrohimy yang lain sambil melihat copy surat balasan Raja Saud.

Menurut Ustadz Ibrohim Muchlis, adalah penting bagi santri-santriwati mengenal lebih dalam sejarah perjuangan para kiai NU. Termasuk bagaimana kiai-kiai dan Iu Nyai cancut taliwondo berjuang demi kemerdekaan Republik Indonesia.

“Saya tadi sudah ke lantai atas. Melihat foto ibu-ibu muslimat NU sedang latihan menembak. Luar biasa! Termasuk sejarah para kiai dengan resolusi jihadnya. Semangat pengorbanan jamaah muslimat NU dalam mengusir penjajah demi NKRI ini, sangat patut diapresiasi,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry