SURABAYA | duta.co – Jika mahasiswa gontok-gontokan, sering kita tolerir sebagai ‘darah muda’. Tetapi, kalau Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama ‘brutal’, lempar kursi dan meja, tentu kelewatan, miris mendengar. Itulah yang sedang viral di media sosial, terkait Kongres XIX Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul Ulama (IPPNU), di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Jumat (12/8/2022).

“Ini peristiwa yang jauh dari nalar kita. Bahwa dalam proses Kongres (XIX) IPPNU dipertontonkan perilaku kekerasan fisik di luar fitrah insan puteri, apalagi para pelajar puteri NU, yang notabene mereka adalah generasi pilihan dari berbagai wilayah Indonesia,” demikian  Prof Dr H Rochmat Wahab, MPd, MA Ketua PWNU DIY masa bakti 2011-2016 kepada duta.co, Selasa (16/8/22).

Menurut Prof Rochmat, ini adalah ‘lonceng bahaya’. Bukan masalah sepele. Artinya, ada masalah serius yang mengancam generasi kita. “Kami melihat ini fenomena bongkahan ‘gunung es’. Kalau tidak segera diatasi, jangan heran kelak akan lebih brutal,” jelas tokoh NU yang juga Ketua Komita Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 besutan almaghfurlah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) ini.

Terlepas dari penyebabnya, tambahnya, kegiatan yang mestinya menggambarkan perilaku kader wanita, dan anak muda NU itu tidak seharusnya demikian. Kader-kader umum, tanpa embel-embel Ormas Islam saja, tidak pantas, apalagi membawa bendera NU. “Sungguh terlalu,” tegasnya.

Senior Perlu Turun

Masih menurut Prof Rochmat, peristiwa ini dapat kita jelaskan melalui beberapa perspektif. Pertama, secara psikologis, pelajar itu berada pada “masa antara” (in between periode). Mereka dalam kritis identitas (antara anak dan orang dewasa), sedang mencari identitas diri. Mereka bisa meniru tokoh yang patut mereka tiru, dan bisa jadi meniru orang yang tidak sepatutnya mereka tiru, sehingga dengan entengnya melakukan kekerasan.

Kedua, secara sosiologis, IPPNU yang seharusnya berusaha keras untuk menunjukkan jati diri sebagai organisasi pelajar, dan issu-issu penting – terkait dengan bagaimana menjadi pelajar dan santri yang sukses serta terhindar dari kenakalan remaja dan perilaku sosial yang menyimpang lainnya, sehingga bisa menjadi agen perubahan, tetapi pada kenyataannya lebih cenderung asyik dengan issu-issu politik dan orang dewasa.

Ketiga, secara manajerial, IPPNU itu seharusnya mengedepankan rekrutmen dan pembibitan kepemimpinan bagi para pelajar, tetapi yang terjadi justru masih didominasi oleh mahasiswa dan sarjana, sehingga kaderisasi NU tidak berjalan dengan baik. “Akibatnya ada semacam kapitalisasi politik. Yang begini ini tidak boleh kita biarkan,” terangnya.

Keempat, secara religius, perilaku berorganisasi IPPNU seharusnya menekankan penanaman akhlaq terpuji, bukan sebaliknya membiarkan akhlaq tercela, dengan membiarkan perilaku kasar (physical  harassment) dalam proses berorganisasi.

Kelima, secara kultural, era dewasa ini IPPNU berada pada era keterbukaan, era global, dan era digital yang membawa dampak kultural, maka, seharusnya IPPNU bisa memanfaatkan kemajuan teknologi, utamanya teknologi informasi untuk kemajuan kaderisasi, bukan menjadi obyek dan korban kemajuan teknologi, sehingga nilai budaya yang tidak baik menguasai prilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi? “Terlepas dari apa pun penyebabnya, para tokoh senior perlu segera turun mendampingi adik-adik, sehingga mereka dapat keluar dari “kultur” yang tidak baik sebagai aktivis organisasi kader. Pembibitan yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula. Saatnya IPPNU dan IPNU kembali ke khitthah, jangan dekat-dekat dengan para politisi, dekatlah dengan para kiai dan Ibu Nyai serta para profesional. In sya Allah IPPNU dan IPNU menjadi organisasi pelajar yang kita rindukan,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry