Dr Suparto Wijoyo

Oleh Suparto Wijoyo 

CAK Mispon tersipu ragu, malu tetapi tetap PSBB alias perasaannya berbunga-bunga dikala saya sampaikan ada salam dari Mahasiswa Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga asal lingkup pemda Pamekasan. Melalui tulisan ini saya diminta menyampaikan salam balik dalam situasi ASN yang kena cekal mudik. Selanjutnya Cak Mispon fokus munajat nan mentafakurkan jiwa raganya di sepuluh malam terakhir Ramadhan 1441 H. Lantas dia menuturkan secara serius tentang kesempurnaan ajaran Islam dari aspek yang sangat sederhana selaksa urusan cuci tangan dan mulut sampai pada yang amat kompleks mengenai tatanan bernegara. Islam hadir dengan ajaran memberikan sesi “jeda” untuk berintrospeksi melalui mekanisme puasa Ramadhan. Puasa yang sudah diwajibkan kepada kaum-kaum terdahulu, umat-umat para utusan-Nya sebelum Nabi Muhammad SAW dengan capaian akhir berupa “derajat takwa yang suprematif”.

Pada lingkup itulah ujar Cak Mispon, Allah SWT tidak membiarkan Ramadhan tanpa ornamen yang mengesankan dalam menarik hati hamba-hambanya yang beriman. Puasa sendiri adalah periodesasi spesial yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang beriman dan atas itulah Tuhan menyediakan bonus yang supermewah berupa malam lailatul qodar. Tadarus Alquran semoga sudah sampai pada Surat Al-Qodr, ayat 1-5 yang sudah biasa dingajikan: “innaaa anzalnaahu fil lailatil-qodr, wa maa adrooka maa lailatul-qodr, lailatul-qodri khorum min alfi syahr, tanazzalul-malaa’ikatu war-ruuhu fiihaa bi’izni robbihim, ming kulli amr, salaamun hiya hatta mathla’il-fajr (sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam qadar, dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?, malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan, pada malam itu turun para malaikat dan Roh Jibril dengan izin Tuhannya, sejahteralah malam itu sampai terbit fajar)”.

Subhanallah. Orang-orang beriman berkesempatan meraih kemuliaan yang lebih utama dari seribu bulan (83-84 tahun). Apabila angka itu dikalkulasikan dengan jumlah usia masing-masing orang, maka terdapat beratus-ratus tahun umur hambanya yang “merayakan malam lailatul qodar”. Inilah tonggak optimisme untuk mendapatkan “kemuliaan hidup” dan kini saya menyaksi betapa orang-orang beriman tengah memenuhi “halaman tauhidnya” menjemput malam kemuliaan dengan memakmurkan rumah saat pandemi Covid-19. Malam-malam yang disyukuri dengan berkontemplasi bagi hari esok yang gemilang. Namun kata Cak Mispon tetap saja ada yang terasa hilang, tidak selazimnya, yaitu THR.

Ya THR, Tunjangan Hari Raya. Sebuah “buah” yang dinanti “matangnya” sebagai produk dari keberhasilan menapaki jalan rahmat dan ampunan guna terbebas dari siksa api neraka. Begitulah “prosedur tahapan” dalam Ramadhan: merangkai hari dalam “blok sepuluhan”. Semua pemuasa merasa bahwa THR itu “kado” rutin tahunan yang sudah menjadi “harapan pasti” yang dilamunkan. Para pekerja dan pengusaha acapkali “adu pesona” untuk saling memberikan yang terbaik dengan kinerja tetap tinggi walaupun sedang berpuasa. Dengan “jampi-jampi THR yang ditakdirkan” itulah, Ramadhan senantiasa menjadi areal juang untuk berbagi “atas jerih produktivitasnya”. THR merupakan media menuangkan semangat “rezeki milik bersama” yang diakumulasi dari pundi-pendi “keringat” setahun.

Istilah THR sendiri memiliki daya ledak yang menyemangati siapapun yang hendak mendapatkan “deburan gelombangnya”. THR tampak sangat “mendinginkan suhu badan nasional” karena setiap komponen pengabdi dijadwal memetiknya. PNS dan TNI-Polri mengucapkan syukur sepercikan perkenan atas “terkabulkannya doa” musim puasa. Para pengabdi negeri ini mestinya punya kesibukan baru membuka-buka informasi hendak “dialirkan kemana THR” yang menggerojok itu. Kalau mau berbagi.
Tetapi geliat kegembiraan per-THR-an itu sejatinya tengah berubah menjadi dentuman yang menggegerkan akibat “konser berdamai dengan corona” yang menghasilkan “THR Corona” sekitar 4 M, masih lebih banyak biaya operasional si lembaga mentor yang membuat dasar negara ditafsir sekehendaknya. PSBB yang tidak istiqomah atau penuh kemunafikan dengan gambaran yang sangat kental bahewa rakyat tidak patuh dan penguasa yang tidak bertuah. Kini kepala daerah dibuat punyeng dan seolah ada yang merasa terhempaskan atas hadirnya kebijakan pusat yang “semau gue” dengan menyemburatkan orang untuk berkonser tanpa menaati protokol corona. Hari-hari ini saya menemukan ada pegawai yang merasa diberi PHP oleh “komunitas PHP”. Situasinya dalam setarikan nafas menjadi gelimpangan “korban massal PSBB dan THR PHP”.

Banyak pihak mewanti-wanti bahwa jangankan soal THR, mengenai pencairan dana demi pandemi yang “dihalalkan perppu yang sah oleh parlemen” dengan segala cara, diprediksi sepuluh tahun ke depan, tatkala kaum pejabat itu sudah uzur, akan terseret kasus hukum yang amat pelik. Sementara yang memberikan “woro-woro” tentang THR tetap saja beraktivitas seperti biasa seolah hal itu hanya imaji dari tidur nyenyaknya. Rakyat sekali lagi memetik hikmah tentang kapasitas otoritas yang membopong amanat rakyat yang dipilihnya. Biarlah itu semua berlalu senyampang mudik dilarang sambil diberi alibi tentang covid-19 yang semakin mengganas. Tiada lagi pembeda mana yang sakit dan sehat, sebab yang sehat dipersakitkan ruh jasmaninya, dilockdown agar merasakan sepinya sakit.

Cak Mispon, tetap kagum kepada tukang-tukang dan kuli-kuli bangunan yang rajin bekerja. Mereka tidak gupuh THR sebagaimana para “punggawa demokrasi” yang selama ini dimanja pencitraan. Para pemilik talenta srabutan yang mengerjakan sawah ladang, lahan dan tambak, tampak wajah tulusnya terus memberikan rasa bunga, dan itu menjewer keras tentang pola hidup “di zaman kepura-puraan”: hidup kok sibuk dengan THR, memangnya Ramadhan ini kurang THR? Begitulah bisik mereka yang saya simak dalam diam mengenai makna THR. Rakyat sudah diselimuti THR, alias Tahan Hidup Rekoso, Tahan Haus dan Lapar. Ya Rabb muliakan meraka yang THR-an itu, yang TaHu Rasa itu.

*Akademisi Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry